HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Selasa, 18 September 2012

Prosedur dan Syarat Sah Jual Beli Tanah



Prosedur dan Syarat Sah Jual Beli Tanah.

Jual beli hak atas tanah merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu. Jual beli ini didasarkan pada hukum Adat, dan harus memenuhi syarat-syarat seperti: Terang, Tunai dan Rill. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, Tunai artinya di bayarkan secara tunai, dan Rill artinya jual beli dilakukan secara nyata. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli sebagaimana dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari:

1.    PPAT sementara yakni Camat yang oleh karena jabatannya dapat melaksanakan tugas PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. Camat disini diangkat sebagai PPAT untuk daerah terpencil atau daerah – daerah yang belum cukup jumlah PPAT nya.

2.    PPAT yakni Pejabat Umum yang diangkat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta jual beli yang bertugas untuk wilayah kerja tertentu.
Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut:

1.    Akta Jual Beli (AJB) Bilamana sudah tercapai kesepakatan mengenai harga tanah termasuk didalamnya cara pembayaran dan siapa yang menangung biaya pembuatan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak penjual dan pembeli, maka para pihak harus datang ke kantor PPAT untuk membuat akta jual beli tanah.

2.    Persyaratan Akta Jual Beli (AJB) Hal-hal yang diperlukan dalam membuat Akta Jual Beli tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut:

•    Syarat-syarat yang harus dibawa penjual:
1.    Asli sertifikat hak atas tanah yang akan dijual;
2.    Kartu Tanda Penduduk;
3.    Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sepuluh tahun terakhir;
4.    Surat persetujuan suami isteri serta kartu keluarga bagi yang telah berkeluarga.

•    Syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli:
1.    Kartu Tanda Penduduk
2.    Kartu Keluarga
3.    Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT



•    Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses jual beli:
1.    Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat termaksud di kantor Pertanahan untuk mengetahui status sertifikat saat ini seperti keasliannya, apakah sedang dijaminkan kepada pihak lain atau sedang dalam sengketa kepemilikan, dan terhadap keterangan sengketa atau tidak, maka harus disertai surat pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut

2.    Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut

3.    Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum

4.    Penjual diharuskan membayar Pajak Penghasilan (Pph) sedangkan pembeli diharuskan membayar bea perolehan hak atas tanah dan anggunan (BPHTB) dengan ketentuan berikut ini: Pajak Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 % Pajak Pembeli (BPHTB) = {NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%

•    Pembuatan Akta Jual Beli
1.    Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis

2.    Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi

3.    PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah sendiri

4.    Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor PPAT dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor pertanahan setempat untuk keperluan balik nama atas tanah, sedangkan salinannya akan diberikan kepada masing-masing pihak.

•    Setelah Pembuatan Akta Jual Beli
1.    Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan berkas tersebut ke kantor pertanahan untuk balik nama sertipikat; dan

2.    Penyerahan akta harus dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatangani, dengan berkas-berkas yang harus diserahkan antara lain: surat permohonan balik nama yang telah ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT, Sertipikat hak atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah pihak, Bukti lunas pembayaran Pph, serta bukti lunas pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

•    Proses di Kantor Pertanahan
1.    Saat berkas diserahkan kepada kantor pertanahan, maka kantor pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutkan akan diberikan kepada pembeli;
2.    Nama penjual dalam buku tanah dan sertipikat akan docoret dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;

3.    Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru akan ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk; dan

4.    Dalam waktu 14 (empat belas) hari pembeli berhak mengambil sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor pertanahan setempat.

PERANAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 KUHAP

PERANAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 K U H A P.

PROPOSAL
PERANAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 KUHAP 

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi).

A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun pemberantasan ataupun penindakan setelah terjadinya pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Dan apabila Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan dari falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan dari tindak acara pidana adalah untuk mencapai dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.

Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dahulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang di sebut sebagai pembuktian, apa saja jenis tindak pidananya pastilah melewati proses pembuktian. Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP yang masih menganut Sistem Negatif  Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. hal ini didalam pembuktian pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian.

Sehingga dalam hal pembuktian adanya peranan barang bukti khususnya kasus-kasus pidana yang pada dewasa ini semakin beragam saja, sehingga perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini. Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.

Barang bukti tersebut antara lain meliputi benda yang merupakan objek-objek dari tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan benda-benda lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Untuk menjaga kemanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang[1].

Pasal-pasal KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa diatur didalam Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP yang berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan hak asasi manusia  bagi seorang dan setiap warga negara yang didakwakan telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan pasal 183 KUHAP di atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :
1. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang.
Yang disebut pertama dan kedua satu sama lainnya berhubungan sedemikian rupa, dapat dikatakan bahwa yang disebut kedua dilahirkan dari yang pertama, sesuai dengan hal ini maka kita juga mengatakan bahwa adanya keyakinan hakim yang sah adalah keyakinan hakim yang di peroleh dari alat-alat bukti yang sah jadi dapat dikatakan bahwa suatu keyakinan hakim dengan alat-alat bukti yang sah merupakan satu kesatuan.[2]
Dengan suatu alat bukti saja umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari dari alat-alat bukti yang sah.
Sedangkan yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut :
  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa.
Mengenai alat-alat bukti ini sebelum KUHAP diatur didalam Pasal 295 R.I.D dan seterusnya yaitu :  kesaksian-kesaksian, surat-surat, pengakuan, petunjuk-petunjuk.

Seperti diketahui bahwa didalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Bahwa semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran tentang sesuatu yang selalu tidak pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka sebagian besar dari pelaku tindak pidana tidaklah dapat di hukum, pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang telah di dakwakan sedangkan ketidaksalahannya walaupun selalu ada kemungkinan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima.

Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang selalu yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah dalam hal tersebut yang bersalah (guilty), maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan[3]. Dan dalam hal pembuktian pidana kita mengenal istilah yang berbunyi : “Tidak dipidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa Belanda :“Geen straf zonder schuld” disinilah letak pelunya pembuktian tersebut apakah seseorang benar-benar bersalah menurut apa yang diatur dalam Undang-undang yang ditujukan kepadanya.
Dalam hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak mencukupi. Umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi saja ataupun karena keyakinan tentang tindak pidana itu sendiri tidak ada. Maka haruslah ketentuan yang menjadi keharusan didalam Pasal 183 KUHAP tersebut terpenuhi keduanya.

Hakim tidak boleh memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahui dari luar persidangan. Tetapi haruslah memperoleh dari bukti yaitu dari alat-alat bukti yang sah dan adanya tambahan dari keterangan barang bukti yang terdapat di dalam persidangan, sesuai dengan syarat-syarat yang di tentukan Undang-undang, umpama dalam hal terdakwa tidak mengakui dari atau dengan kesaksian sekurang-kurangnya dua orang saksi yang telah di sumpah dengan sah dimuka pengadilan.

Apabila hakim dari alat-alat bukti yang sah tidak memperoleh keyakinan maka ia berwenang untuk menjatuhkan putusan bebas dari segala tuntutan. Dengan demikian walaupun lebih dari dua orang saksi menerangkan di atas sumpah bahwa mereka telah melihat seseorang telah melakukan tindak pidana, maka hakim tidaklah wajib menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, jika hakim tidak yakin bahwa ia dengan kesaksian oleh lebih dari dua orang saksi tersebut benar-benar dapat dipercaya dan oleh karena tujuan dari proses pidana adalah untuk mencari kebenaran materil, maka hakim akan membebaskan terdakwa dalam hal ini.

Maka haruslah diingat bahwa keyakinan hakim tersebut bukanlah timbul dengan sendirinya saja, tetapi haruslah timbul dari alat-alat bukti yang sah yang telah disebutkan didalam Undang-undang, dan tidak dari keadaan-keadaan lain. Tidaklah dapat di pertanggung jawabkan suatu keputusan walaupun sudah cukup  alat-alat bukti yang sah hakim begitu saja mengatakan bahwa ia tidak yakin dan karena itu ia membebaskan terdakwa, tampa menjelaskan lebih lanjut apa sebab-sebab ia tidak yakin. Keyakinan Hakim disini tidak saja terhadap alat-alat bukti yang di tentukan didalam Pasal 184 KUHAP saja tetapi adanya peranan dari barang-barang bukti yang di temukan di tempat kejadian perkara seperti pisau atau peluru yang dipakai untuk membunuh dan mencelakai orang lain, sebagaimana yang dijelaskan didalam Pasal 39 KUHAP ayat (1) yang berhubungan dengan barang bukti sebagai hasil dari penyitaan dan barang-barang yang dapat disita yang dilakukan penyidik dalam menjalankan fungsinya.
 
Jadi walaupun barang bukti tidak diatur didalam Pasal 183 KUHAP atau didalam pasal tersendiri didalam KUHAP sebagai salah satu syarat dalam pembuktian namun barang bukti menurut saya mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal juga bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktik peradilan, barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dalam pembuktian.

Dari uraian dan konsep-konsep yang dikemukakan di atas akan timbul pertanyaan, kenapa hakim sampai membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum, sementara segala bukti yaitu yang berasal dari alat-alat bukti yang sah telah mencukupi bukti minimum. Atau sebaliknya hakim dapat menghukum seseorang yang kalau dilihat dari sudut yuridis, kenyataannya tidak bersalah. Jadi secara fungsional kegunaan barang-barang bukti dalam suatu pembuktian pidana adalah ada hubunannya dengan alat-alat bukti dan keyakinan hakim dalam suatu pembuktian pidana di Indonesia sehingga timbulnya suatu putusan hakim (sentencing)  yang setidak-tidaknya mendekati kebenaran Materil.

Maka akhirnya timbulah keinginan penulis untuk mengetahui lebih jauh tentang hal-hal tersebut diatas dalam sebuah tulisan atau skripsi dengan judul : “PERANAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 KUHAP (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi).”

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, dapat di kemukakan permasalahan sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah peranan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana di Pengadilan Negeri kelas 1B Bukittinggi ?
  2. Bagaimanakah tahap-tahap pengumpulan barang bukti serta apakah yang menjadi kendala-kendala dalam peninjauan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana dipengadilan negeri kelas 1B  Bukittinggi?
  3. Bagaimanakah status barang bukti setelah adanya putusan hakim pada Pengadilan Negeri kelas 1B Bukittinggi ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini secara umum bertujuan untuk memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa Fakultas Hukum yang akan menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum, sedangkan kalau dilihat dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah :
  1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimanakah peranan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana.
  2. Untuk mengetahui bagaimanakah tahap-tahap pengumpulan barang bukti serta kendala-kendala dalam peninjuan barang bukti pembuktian perkara pidana di Pengadilan?
  3. Untuk mengetahui dan menjelaskan status barang bukti setelah adanya putusan hakim.
D. Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
  1. Manfaat Teoritis
    1. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk tulisan yang diharapkan dapat diterima sebagai sumbangan pemikiran serta menambah bahan bacaan di perpustakaan.
    2. Menerapkan teori-teori yang diperoleh dibangku perkuliahan dan menghubungkannya dengan praktek di lapangan.
    3. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penulis baik dibidang hukum pada umumnya maupun dibidang hukum keperdataan, bidang hukum ekonomi dan bidang hukum lain pada khususnya.
    4. Dapat digunakan sebagai salah satu kelengkapan dalam persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Bukittinggi.
  1. Manfaat Praktis
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri serta seluruh pihak-pihak yang terkait dalam hal ini baik masyarakat, pemerintah, penegak hukum, khususnya pihak-pihak yang ada kaitanya dengan permasalahan yang dikaji.
E. Kerangka Teoritis dan kerangka konseptual
Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia yang masih menganut sistem pembuktian secara Negatief Wettelijk dalam pembuktian sebuah perkara pidana di Indonesia yang pada dasarnya adalah demi mencari kebenaran materil dan kepastian hukum pidana yang semakin nyata dibutuhkan di dalam suatu masyarakat. Hal ini haruslah dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang telah dibuat, yaitu aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, serta menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. [4]
Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dijelaskan secara eksplisif mengenai pengertian pembuktian dalam pasal-pasal tertentu, namun mengenai pengertian pembuktian ini tersebar pada satu bab khusus mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu yang terdapat di dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 202 KUHAP. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya pembuktian didalam penyelesaian suatu perkara pidana di Indonesia.
Suatu pembuktian menurut hukum merupakan suatu proses menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang dalam hubungannya didalam perkara pidana. Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian.
Di dalam Pasal 183 KUHAP menjelaskan tentang apa apa yang diharuskan di dalam suatu pembuktian perkara pidana di Indonesia diantaranya perlunya minimal dua alat bukti yang sah yang memperoleh keyakinan hakim bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya, hal ini sangat penting karena menjadi patokan dalam proses pembuktian di Indonesia, gunanya adalah tidak lain dari untuk mencari suatu kebenaran materil. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum acara pidana yang antara lain dapat dibaca didalam pedoman pelaksanan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman sebagai berikut : [5]
“ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelangaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat di persalahkan.”

Prinsip batas minimal pembuktian yang terdiri sekurang-kurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi di tambah satu alat bukti yang lain, hal ini merupakan batasan pembuktian yang lebih ketat dari pada dahulu yang di atur di dalam HIR yaitu pada Pasal 292 sampai dengan Pasal 322 tentang permusyawaratan, bukti dan putusan hakim, hal ini sangat berdampak pada suasana penyidikan yang tidak lagi main tangkap dulu baru nanti di pikirkan pembuktian, namun metode kerja penyidik menurut KUHAP haruslah di balik yaitu lakukan penyidikan dengan cermat dengan teknik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti yakni alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP dan termasuk bukti lain yang berasal dari barang-barang bukti hasil kejahatan[6]. Dari bukti bukti tersebut baru dilakukan pembuktian.
Mengenai barang-barang bukti yang dimaksud yaitu diatur didalam Pasal 39 KUHAP tentang apa apa yang dapat dikenakan tidakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara yang dapat dikatakan sebagai barang bukti. Di pengadilan barang bukti tersebut dipergunakan pada saat pemeriksaan barang bukti guna dilakukanya pengesahan terhadap barang bukti tersebut yang dilakukan dengan cara memperlihatkan langsung kepada terdakwa maupun saksi, lalu diberikan pertanyaan baik kepada terdakwa maupun saksi yang berhubungan dengan barang bukti yang dihadirkan didalam persidangan guna terang dan ditemukannya fakta-fakta mengenai kesalahan terdakwa atau ketidaksalahan tedakwa sendiri (guilty or not guilty). Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya adanya pemeriksaan barang bukti di pengadilan guna mengungkapkan suatu peristiwa pidana.

Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran suatu peristiwa tersebut. Dalam proses acara pidana sangat diperlukan adanya pembuktian yang memegang peranan penting didalam sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Bahwa di dalam Pasal 183 KUHAP ini diisyaratkan pula bahwa segala pembuktian haruslah didasarkan atas adanya keyakinan hakim terhadap minimum alat bukti yang diatur di dalam undang-undang ini. Pembuktian ini juga diatur di dalam aturan yang dahulu diatur HIR pada Pasal 294 yaitu sebagai berikut :
“Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar  telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu.”

Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa didalam sistem pumbuktian di Indonesia baik dahulu yang di atur di dalam HIR maupun sekarang yang diatur di dalam KUHAP mengisyaratkan pentingnya keyakinan hakim dalam pembuktian perkata pidana.

“Menurut Subekti, ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willekeur) akan timbul apabila hakim, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, diperbolehkan menyandarkan putusan hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti”.[7]

Kerangka konseptual
Kerangka konseptual merupakan suatu kerangka yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan tertentu dan juga berisikan defenisi-defenisi yang dijadikan pedoman dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis akan menguraikan secara singkat tentang maksud dalam pemilihan judul dalam skripsi ini :
  1. Barang Bukti
“Barang bukti : benda-benda yang dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang di tuduhkan.”[8]
  1. Pembuktian
Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “membuktikan” diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti,  sedangkan kata “pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.[9]
“M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa” [10]
  1. Tindak Pidana
“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan sebagai subjek tindak pidana.”[11]
  1. Hukum Pembuktian
“keseluruhan aturan atau peraturan Undang-undang mengenai setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang di duga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap saran bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.”[12]
Hukum pembuktian dalam arti luas  adalah keseluruhan hukum yang mengatur proses pembuktian suatu kasus pidana berdasarkan alat-alat bukti menurut Undang-undang dan barang bukti yang ditemukan. Sedangkan hukum pembuktian dalam arti sempit adalah keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur proses pembuktian suaru kasus pidana didepan pengadilan berdasarkan alat bukti menurut undang-undang dan barang bukti yang ada
  1. Putusan hakim
Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP adalah :
“Putusan pegadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur didalam Undang-undang”.
F. Metode Penelitian
Adapun metode yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:
  1. Metode Pendekatan Masalah.
Pendekatan masalah yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bersifat yuridis sosiologis[13] (Sosiologis Research). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendekatan Undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual[14]. Menekankan praktek dilapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan objek penelitian yang dibahas dan melalui norma-norma yang berlaku kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat.
  1. Sifat Penelitian.
Bahwa penelitian ini bersifat Deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan data tentang sesuatu atau gejala-gejala sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis tentang objek yang akan diteliti.
  1. Jenis dan Sumber Data
Dalam penulisan ini sumber data yang di pergunakan adalah:
  1. Data primer
Data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan, dalam hal ini penulis dapat memperoleh data primer dari Pengadilan Negeri kelas 1B Bukittinggi.
  1. Data sekunder
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research) yang ada berupa bahan hukum, data tersebut terdiri dari :
1.  Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan yang terkait untuk itu.
2.  Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang dapat menunjang bahan hukum primer dan dapat membantu penulis dalam menganalisa dan memahami bahan hukum primer seperti : Literatur atau hasil penulisan yang berupa hasil penelitian, Peraturan Perundang-undangan, Buku-buku, Makalah, Majalah, Tulisan lepas, Artikel dan Rancangan Undang-undang seperti Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional.
3.  Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar bahasa indonesia.
  1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian lapangan dilakukan di Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi. Bahwa di dalam penelitian lapangan ini, dalam hal memanfaatkan data yang ada maka dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut:
  1. Studi Dokumen
Melakukan infentarisasi terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan, seperti : bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier. Melakukan pencatatan dan pembuatan daftar ikhtisar yang berisikan berbagai pengertian dan pendapat para ahli tentang penulisan skripsi ini.
  1. Wawancara (interview)
Wawancara ini dilakukan secara semi struktur dengan menggunakan teknik dan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan dengan beberapa orang hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi, dengan menggunakan metode Non Probability Sampling dalam bentuk Purpose Sampling.
  1. Metode Pengolahan dan Analisa Data
  1. Pengolahan Data
Pengolahan data disusun secara sistematis melalui proses editing, yaitu penulis akan merapikan kembali data yang telah diperoleh dengan memilih data yang sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian, sehingga didapat suatu kesimpulan akhir secara umum yang nantinya akan dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan yang ada.
  1. Analisis Data
Setelah data primer dan data sekunder diperoleh selanjutnya dilakukan analisis dari data yang di dapat dengan mengungkapkan kenyataan-kenyataan dalam bentuk kalimat. Terhadap semua data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut, penulis mengunakan Metode analisis secara kualitatif yaitu uraian terhadap data yang terkumpul dengan tidak mengunakan angka-angka tetapi berdasarkan peraturan perundang-undang, pandangan pakar dan pendapat penulis sendiri.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih terarahnya penulisan ini dan agar pembahasan yang dibicarakan akan lebih terfokus pada topik pembahasan maka sistematika penulisan ini tergambar dalam kerangka sebagai berikut yang terdiri atas 4 Bab yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Dimana pada bab ini merupakan pengantar guna membahas bab-bab berikutnya. Dalam bab ini akan di bahas materi-materi seperti : latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUKTIAN
Dimana bab ini sebagai pedoman atau sebagai dasar utama untuk membahas bab-bab berikutnya, dengan sub bahasan antara lain : pengertian barang bukti dan pembuktian, teori pembuktian, macam-macam barang bukti, sistem pembuktian menurut KUHAP, dan alat- alat bukti.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dimana pada bab ini akan berisikan materi-materi yang merupakan hasil dari penelitian di lapangan serta pembahasan dari materi materi tersebut yang didalamnya memaparkan tentang peranan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana, apa saja tahap-tahap pengumpulan barang bukti dan apa yang menjadi kendala-kendala dalam peninjauan barang-barang bukti dalam pembuktian perkara pidana, dan bagaimana status barang bukti setelah adanya keputusan hakim.
BAB IV PENUTUP
Dimana pada bab ini menjadi penutup dari penulisan skripsi tentang peranan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana menurut pasal 183 kuhap yang di dalamnya penulis mencoba menarik kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, serta memberi saran yang mungkin dapat berguna oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khsusnya yang berhubungan dengan tema yang menjadi kajian didalam skripsi ini.

[1] Ratna Nurul Afiah, 1988, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Penaerbit Sinar Grafiaka, Jakarta, Hlm.254.
[2] LKHT FH UI, “ASPEK PEMBUKTIAN”,  www.lkhtnet.com, diakses pada tanggal 12 Maret 2009.
[3] Karim Nasution, 1986, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana, Jakarta Sinar Grafika, hlm.71 dst.
[4] Moeljatno, 1993, Asas – asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, Hlm. 1
[5] Andi Hamzah, 2002,Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan kedua, Jakarta : Sinar Grafika, Hlm. 8
[6] M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 271
[7] Subekti, 1995, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 2
[8] J.C.T.Simorangkir,dkk, 2004, Kamus Hukum,(cetakan kedelapan), Jakarta : Sinar Grafika Offset, hal.14.
[9] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1987, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka Indonesia, hlm.133.
[10] M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 273
[11] Wijono Projodikoro, 1986,  Asas-asas Hukum PIdana Indonesia, Bandung : Erisko Bandung, hal.55.
[12] Bambang Poernomo, 1986 Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia dan Retributif , Jakarta : Sinar  Grafika.
[13] Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, IV Pressindo, Jakarta, hlm. 53
[14] Petermahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,hlm.119