HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Senin, 03 Juni 2013

JUSTICE COLLABORATOR

JUSTICE COLLABORATOR


Pengertian JUSTICE COLLABORATOR - Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu :
  1. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
  2. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.
  3. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
  • Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau
  • Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud
Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Demikianlah Pengertian JUSTICE COLLABORATOR, semoga menambah pengetahuan kita tentang hukum. Sekian dan terimakasih.

PEMERINTAH DAERAH ( PEMDA ) BERDASARKAN UUD YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA

PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UUD YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA


A. UU NO 1 TAHUN 1945 TENTANG KOMITE NASIONAL DAERAH
            Setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945    untuk pertama kalinya oleh PPKI sebagai landasan konstitusional ketatanegaraan.Pada saat itu   struktur dan sistem ketatanegaraan RI masih sangat sederhana bahkan banyak yang belum terbentuk kecuali Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI untuk sementara menetapkan berbagai hal tentang pemerintah daerah :
  1. Untuk sementara waktu, daerah negara Indonesia dibagi dalam 8 propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Propinsi-propinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.
  2. Daerah Propinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh Residen, Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND).
  3. Untuk sementara waktu, kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan sampai sekarang.
  4. Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan sampai sekarang.
Dari konfigurasi tersebut terlihat bahwa struktur dan sistem pemerintah daerah di Indonesia pada awal kemerdekaan masih sangat sederhana yaitu terdiri dari Propinsi, Keresidenan, Kooti, dan Kota ditambah KND.
Untuk mengefektifkan KND dalam membantu pemerintah daerah, pada tanggal 30 Oktober 1945  BP KNP mengeluarkan Rancanngan Undang-Undang (RUU) tentang kedudukan KND melalui pengumuman No. 2 dan disetujui pemerintah tanggal 23 Nopember 1945 yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1945 tentang KND yang hanya berjumlah 6 pasal.

Atas fakta tersebut tidak heran jika terdapat banyak kelemahan didalamnya, antara lain adanya dualistik pemerintah daerah, yaitu :

a.      Jenis pemerintah di daerah
Terdapat dua jenis pemerintah di daerah, yaitu pemerintah di daerah yang memilik KNID dan tanpa KNID.Pemerintah di daerah yang mempunyai KNID adalah pemerintah daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangga daerah (Keresidenan, Pemerintah Kota, Kabupaten dan daerah lain yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri).
Pemerintah di daerah lainnya seperti Propinsi,(kecuali Propinsi Sumatera), Kewedanaan, Kecamatan adalah daerah administratif belaka.


b.      Susunan pemerintah daerah ( otonom )
Ada dua penyelenggara pemerintahan dalam daerah otonom yaitu penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah (KNID, Badan Eksekutif Daerah dan Kepala Daerah) dan penyelenggara urusan pemerintah lainnya yang dilakukan Kepala Daerah.
Sifat dualistik terlihat dalam penjelasan Undang-undang  No. 1 tahun 1945 yang tetap mengakui dan memberlakukan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah (Desentralisasi) Hindia Belanda yang selalu bersifat dualistik yaitu membedakan antara peraturan perundang-undangan untuk Jawa-Madura dan untuk luar Jawa.
Sifat Dualistik ini sangat ditonjolkan sebagai salah satu kelemahan utama Undang-undang No.1 tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Kepala Daerah yang memimpin KNID dan Badan Eksekutif Daerah adalah pejabat pemerintah pusat di daerah.
Dalam penjelasan disebutkan Kepala Daerah adalah Ketua dan anggota badan eksekutif, sedangkan dalam hubungan dengan KNID (Badan Legislatif) Kepala Daerah hanya menjadi Ketua saja.Kedudukan Kepala Daerah dalam dua alat perlengkapan pemerintah daerah tersebut dapat diperkirakan mempengaruhi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena kedua badan (Eksekutif dan Legislatif daerah) berada pada pada satu tangan.
Disamping itu, Kepala Daerah sebagai pejabat pusat juga menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah pusat di daerah. Dengan kata lain bahwa dalam diri Kepala Daerah menyatu tugas, wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan semua urusan, baik urusan rumah tangga daerah maupun  urusan pemerintahan pusat di daerah.
Dengan struktur demikian, jelas kedudukan KDH adalah sangat dominan dan secara teoretik dan praktik penyelenggaraan pemerintahanh dapat dikatakan bergantung kepada kemauan KDH semata, sehingga pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi di daerah masih jauh dari harapan, begitu pula kontrol dari KDH hampir tidak terlihat sama sekali dan sangat lemah.
Oleh karena itu, wajar bila ada yang menyimpulkan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1945 mengandung beberapa hal :
1.   Disamping sifat dualistik dalam lingkungan pemerintahan daerah otonom, juga masalah yang mendasar adalah ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab daerah otonom. Ketidakjelasan urusan rumah tangga daerah otonom ini menyebabkan tidak terwujudnya otonomi Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
2.   Kepala Daerah sebagai pejabat pusat didaerah, juga sebagai kepala badan legislatif daerah / KND dan badab eksekutif daerah mempunyai kedudukan yang sangat dominan untuk mengendalikan pemerintahan daerah otonom agar berjalan sesuai dengan kebijaksanaan pusat.
3.   Dipersatukannya pimpinan pemerintahan otonom dalam diri Kepala Daerah ditambah ketidakjelasan urusan rumah tangga daerah sehingga akan mewujudkan kecenderungan penyelenggaraan  pemerintahan sentralistik dan memudarkan unsur-unsur desentralisasi.
4.   Daerah-daerah menjalankan sistem otonomi formal secara kolegial. Hal itu tersurat dalam ketentuan pasal 2 ”Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersama-sama dengan dan dipimpin Kepala Daerah  menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih luas dari padanya.  
5.   Hubungan antara DPRD dengan Badan Eksekutif Daerah dikepalai oleh Kepala Daerah menunjukkan betapa kuatnya  Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat yang juga mendominasi dua lembaga (organ) daerah lainya (DPRD dan Badan Eksekutif Daerah).        


B.         UU RI NO.22 TAHUN 1948 TENTANG POKOK PEMERINTAH DAERAH
            Menyadari bahwa Undang-undang No.1 tahun  1945 masih jauh dari kesempurnaan dan harapan sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahan daerah yang berkedaulatan rakyat. Hal itu termuat dalam penjelasan umum Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai berikut :
  1. Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat merasa akan pentingnya untuk segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang kolegial berdaswarkan kedaulatan rakyat (Demokrasi) dengan ditentukan batas-batas kekuasaannya.
  2. Karena kesederhanaan Undang-undang No. 1 tersebut, kewajiban dan pekerjaan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengatur rumah tangganya sendiri tidak dapat diatur oleh pemerintah pusat dengan baik. Karena itu DPRD tidak mengetahui batas-batas kewajibannya dan bekerja ke arah yang tidak tentu. Dewan itu lebih memperhatikan soal-soal politik mengenai beleid pemerintah pusat daripada kepentingan daerahnya.
c.   Pemerintah Kabupaten, Kota, Keresidenan dan desa yang berotonomi masih meneruskan seperti era penjajahan, sehingga belum memberikan manfaat yang banyak terhadap kepentingan rakyat / daerahnya.
Didaerah-daerah, pemerintahan daerah masih dualistis sebagaimana pada jaman yang lampau, yang harus selekas mungkin dihindarkan dan pemerintahan kolegial yang berdasarkan kedaulatan rakyat dapat dilahirkan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar bahwa pentingnya Undang-undang No. 22  tahun 1948 tentang
pemerintahan daerah, selain sebagai pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1945 yang sangat sederhana dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda bersifat sentralistis, juga untuk memenuhi tuntutan akan pemerintahan kolegial yang demokratis beserta pengaturan-pengaturan lainnya yang belum sempat diatur dalam UU sebelumnya.
Didalam Undang-undang ini dikenal dua jenis daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah istimewa yang keduanya berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) yang merumuskan bahwa DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dan hal-hal yang masuk urusan rumah tangganya ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya, maka termuat didalamnya tentang kewenangan DPRD Untuk melakukan pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerahnya.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, DPRD mengeluarkan berbagai bentuk produk hukum yaitu ”Putusan”, ”Ketetapan”, ”Peraturan”, ”Pedoman”, ”Usul”, ”Menunjuk”, ”Mengatur dan Mengurus”, ”Mengatur atau Peraturan”, ”Peraturan-Peraturan”, atau ”Peraturan Daerah”, ”Keberatan dan ”Pembelaan”.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang masih ada dari UU tersebut, tetapi dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 merupakan salah satu upaya dalam rangka penataan pemerintahan daerah yang demokratis dibandingkan yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1945.


C.         UNDANG-UNDANG NIT NO. 44 TAHUN 1950 TENTANG PEMERINTAHAN INDONESIA TIMUR
            Beberapa hari sebelum tercapainya persetujuan antara negara RI (Yogyakarta) dengan pemerintah  RIS yang juga bertindak atas nama NIT dan NST untuk membentuk negara kesatuan dan untuk menyesuaikan pemerintahan daerah dengan keadaan yang akan datang pada tanggal 15 Mei 1950 ditetapkan Undang-undang No. 44 tahun 1950 yang disebut dengan nama UU Pemerintahan  Daerah-daerah Indonesia Timur. Undang-undang No. 44 tahun 1950  sengaja dipersiapkan dan ditetapkan untuk menyongsong pembentukan atau reintegrasi Negara Kesatuan terutama penyesuaian bentuk ketatanegaraan  wilayah NIT terhadap bentuk negara kesatuan.
            Berhubung RUU ini disusun  dengan sangat tergesa-gesa dan mengoper saja apa yang terdapat  didalam Undang-undang No. 22 tahun 1948, sehingga isinya tidak jauh berbeda dengan Undang-undang No. 22 tahun 1948 kecuali  terdapat perubahan seperlunya seperti :
1.   Susunan penamaan daerah.
2.   Sebutan  resmi untuk DPD adalah Dewan Pemerintah dan keanggotaannya diambil dari bukan anggota DPRD.
3.   Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk, juga mempertimbangkan  luasnya otonomi, kekuatan keuangan, dan suasana politik.
4.   Penolakan pengesahan terhadap putusan DPRD bagian dan anak bagian, keberatan dapat diajukan  kepada Pemerintah Agung, sedangkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 diajukan kepada DPD setingkat lebih atas dari DPD yang menolak.
5.   Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950 tidak mengatur tentang Sekretaris Daerah dan pegawai daerah, siapa mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan, pajak dan keuangan daerah, sedangkan anggaran pendapatan dan belanja hanya diulas sekilas dalam penjelasan.
      Kemiripan dan kesamaan substansi materi antara dua Undang-undang tersebut terjadi pula dalam hal kewenangan DPRD juga kewenangan Kepala Daerah.


D.         UU NO. 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH 
            Dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UUDS 1950, pemerintah menganggap perlu untuk mengundangkan sebuah peraturan perundang-undangan pemerintah daerah yaitu Undang-undang No. 1tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Dearah. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 131 UUDS 1950 yang berbunyi :
1.   Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang erhak mengurus rumah tangganya sendiri, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan  dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
2.   Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri
3.   Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Pasal 131 UUDS 1950 ini hanya mengatur dasar-dasar desentralisasinya yang tidak bermakna ganda sebagaimana Pasal 18 UUD 1945, yang selain memuat dasar-dasar desentralisasi juga memuat dasar dasar dekonsentrasi, khususnya yang terdapat dalam penjelasannya.
Dalam mewujudkan kedudukan DPRD sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam pemerintahan daerah, DPRD mempunyai beberapa kewenangan.
Berpedoman pada beberapa kewenangan dimaksud, terlihat bahwa kewenangan DPRD berdasrkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 lebih luas bila dibandingkan dengan UU terdahulu. Bahkan didalam UU ini tidak ada pengaturan pengawasan pemerintah terhadap keputusan-keputusan daerah tingkat II dan III sebab MDN hanya dapat mengawasi secara langsung sampai pada batas daerah tingkat I. Akibatnya muncul kekhawatiran akan tumbuh suburnya daerahisme yaitu semangat menempatkan kepentingan daerah diatas kepentingan nasional.
            Selanjutnya kewenangan DPD / Kepala Daerah adalah terletak dalam wilayah kekuasaan eksekutif yang merupakan pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh DPRD. Untuk menjalankan kewenangan tersebut DPD dapat juga diserahi beberapa kewenangan dibidang perundang-undangan dalam rangka menjalankan peraturan daerah, misalnya diberikan pula kewenangan di bidang legislatif , meskipun hanya terbatas pada pembuatan peraturan.
Disamping itu DPD memiliki kewajiban memberikan keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD sebagai konsekwensi dari kewenangan yang telah diberikan oleh DPRD dimaksud. Meskipun Undang-undang No.1 tahun 1957 ini dapat dikatakan sebagai UU yang cukup demokratis dengan meletakkan beberapa kewenangan yang cukup kuat terhadap DPRD,disisi lain DPD diberikan fungsi kontrol yang seakan-akan meniadakan prinsip demokrasi tersebut.


E.         UU RI NO. 18 TAHUN 1965 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DAERAH 
            Undang-undang No. 1 tahun 1957 dan Undang-undang No. 18 tahun 1965 mempunyai persamaan mendasar yang bermaksud melaksanakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Akan tetapi keseluruhan urusan yang diselenggarakan oleh daerah otonomi pada dasarnya bersumber dari penyerahan urusan dari Pusat.Jadi inisiatif daerah dalam mengurus urusan-urusan tertentu hampir dapat dikatakan tidak ada.Hal ini antara lain disebabkan :
1.   Otonomi merupakan sesuatu yang baru bagi rakyat Indonesia.
2.   Kurangnya tenaga terampil dalam penyelenggaraan otonomi
3.   Keuangan daerah tetap bergantung kepada pusat.
Menurut Pasal 5 ayat (1),pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari kepala daerah dibantu oleh wakil kepala daerah dan badan pemerintah harian (BPH).Susunan yang demikian memperlihatkan bahwa didalam UU ini terdapat dua jabatan yang membantu kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari yaitu wakil kepala daerah dan BPH.Walupun keduanya menyandang posisi sebagai pembantu kepala daerah, terdapat perbedaan yang sangat prinsipil yaitu bahwa kata ’dibantu’ pada wakil kepala daerah secara otomatis dapat melakukan kewenangan-kewenangan kepala daerah jika kepala daerah tidak dapat melaksanakan  kewenangannya juga dapat menggantikan posisi kepala daerah  jika kepala daerah meninggal dunia atau diberhentikan (berhalangan tetap) sementara BPH tidak demikian. 
            Sebagai realisasi dari ketentuan yang memberikan pemusatan kewenangan pemerintah daerah
kepada kepala daerah, tentu kepala daerah menjadi pusat daya upaya kegiatan pemerintah daerah yang bergerak dibidang urusan rumah tangga daerah dan menjadi mata rantai yang kuat dalam organisasi pemerintah pusat. Dengan kata lain bahwa kewenangan DPRD tidaklah begitu penting karena UU tersebut menganggap DPRD bukanlah pemegang kekuasaan yang utama dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
            Kedudukan kepala daerah adalah sebagai alat pemerintah pusat dan sebagai alat pemerintah daerah dan mempunyai kewenangan masing-masing.
Dalam melaksanakan kewenangannya, sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). Tugas BPH ini memberikan pertimbangan kepada kepala daerah baik diminta atau tidak, dan menjalankan tugas yang diberikan oleh kepala daerah, sehingga institusi BPH ini hanya bersifat penasehat belaka. Oleh karena itu sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintah daerah baik dibidang urusan rumah tangga daerah maupun dibidang pembantuan.


F.         UU NO. 5 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DI DAERAH
            Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara wilayah NKRI dibagi atas daerah-daerah otonom dan wilayah administratif. Adanya wilayah administratif ditandai dengan adanya/dibentuknya instansi pusat (Kanwil,Kandep) dari level propinsi hingga kabupaten/kota. Susunan teritorial daerah menggunakan sistim daerah bertingkat, Provinsi sebagai Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II.
            Didalam Undang-undang No. 5 tahun 1974, prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya telah ditinggalkan dan diubah menjadi prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dan dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi bukan sekedar pelengkap terhadap asas desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Selain itu yang menarik dari UU ini adalah dari penamaan judul tentang ”Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah”. Penamaan yang terdapat dalam UU pemerintah daerah yang pernah berlaku sejak tahun 1948 bernama UU tentang Pokok Pemerintah Daerah, tanpa imbuhan ”Di” untuk menunjukkan bahwa UU ini tidak semata-mata mengatur mengenai desentralisasi, dengan kata lain tidak hanya mengatur tentang pemerintahan otonom dan medebewind juga mengatur tentang pemerintahan dekonsentrasi.
            Dalam UU ini, yang dimaksud dengan pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan rekyat daerah. Konstruksi yang demikian tercermin bahwa UU ini sebenarnya lebih mengutamakan kepala daerah dibanding DPRD.
Asumsi yang demikian ada benarnya bila dicermati dari esensi Undang-undang No.5 tahun 1974 yang mendudukkan fungsi-fungsi kepala daerah begitu kuat dan dominan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibandingkan DPRD, baik dalam hal proses pencalonan dan pengangkatannya, pertanggungjawaban dan kewenangan-kewenangannya maupun  dalam hal fungsinya sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah Administratif sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 81 yakni sebagai penguasa tunggal.
            Dalam tataran teoretik yuridik memang disebutkan  bahwa antara kedua lembaga tersebut memiliki pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif, tetapi dalam praktiknya ternyata Kepala Daerah lebih mendominasi dan seolah-olah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada DPRD.


G. UU NO. 22 TAHUN  1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
            Undang-undang No. 22 TAHUN 1999 merupakan upaya terus menerus untuk menata sistem pemerintahan di Indonesia yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demoktratisasi di daerah. Oleh sebab itu didalam UU ini terdapat beberapa perbaikan dan perubahan antara lain menguatnya peran dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah terhadap DPRD dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi di daerah.
            Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 menganut paham pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Hal-hal yang bukan merupakan wewenang Pemerintah Pusat dengan sendirinya menjadi wewenang Pemerintahan daerah. Hal tersebut mirip dengan paham negara federal yaitu hal-hal yang bukan kewenangan konstitusional negara federal dengan sendirinya menjadi kewenangan negara bagian.
            Dalam Undang-undang No.22 tahun 1999 menghapus hierarki antara pemerintah kabupaten / kota  dengan propinsi. Pemerintah kabupaten / kota bukanlah daerah bawahan dari propinsi. Penghapusan hierarki ini sekaligus mengikis birokratisasi pelaksanaan pemerintahan yang pada akhirnya akan menciptakan efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Hubungan antara provinsi dengan kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak memiliki hubungan hirarki (tidak bertingkat).
            Undang-undang No. 22 tahun 1999 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah Kabupaten dan Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah propinsi.
            Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan DPRD dan Kepala Daerah yaitu dimulai dari Undang-undang No. 1 tahun 1945 sampai Undang-undang No. 22 tahun 1999 dapat dinyatakan bahwa bila di analisis berdasarkan teori pembagian kekuasaan, terlihat dengan jelas bahwa kewenangan kedua organ pemerintahan daerah tersebut belum seimbang  dan tidak jarang terlihat monopoli salah satu organ atas organ lainnya. Kenyataan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori demokrasi.
Didalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 kewenangan Kepala Daerah mulai dikurangi, bahkan sebaliknya DPRD yang mempunyai kewenangan yang cukup kuat. Namun penguatan peran dan fungsi DPRD yang semula diharapkan dapat menghidupkan demokrasi dan desentralisasi dalam rangka perwujudan otonomi yang seluas-luasnya ternyata disalahtafsirkan serta disalahgunakan oleh sebagian besar para anggota DPRD. Akibatnya demokrasi menjadi kebablasan kearah arogansi, sementara pengawasan yang lemah dari pemerintah pusat terhadap DPRD dan Pemerintah Daerah menambah terbengkalainya program otonomi daerah, sehingga kepentingan rakyat selalu menjadi korban.
Atas pengalaman sejarah yang mengecewakan tersebut terasa betapa urgennya pemahaman dan penerapan pembagian kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan yang demokratis dilaksanakan secara proporsional yang dilandasi dengan semangat keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan setidaknya secara teoretik akan membuka peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus memperkuat pelaksanaan desentralisasi, demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka negara kesatuan yang sejahtera, adil dan teratur.


H.         UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
            Tiga alasan utama mengenai perubahan / revisi secara mendasar terhadap Undang-undang No. 22 tahun 1999 yaitu :
1.   Alasan hukum berupa amandemen kedua, khusus terhadap Pasal 18 UU RI tahun 1945.
2.   Alasan administratif berupa keadaan ”terlampau luasnya rentang kendali antara pemerintah pusat terhadap kabupaten / kota.
3.   Alasan empiris berupa keadaan / kejadian timblnya masalah aktual  yang dapat mengganggu kegiatan berbangsa serta berpemerintahan dengan berbagai problematika Otonomi Daerah.
            Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 mengenal hubungan bertingkat antara provinsi dan kabupaten/kota. Urusan-urusan kabupate/kota juga merupakan bagian dari urusan-urusan provinsi.
            UU ini meletakkan aspek demokrasi dan peran serta masyarakat secara mendasar dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.Karena itu fungsi dan peran DPRD dipisahkan secara tegas dengan fungsi dan peran Pemerintah Daerah, yang mana dengan UU sebelumnya sangat jelas berlawanan. Undang-undang No. 22 tahun 1999 mengatur Kepala Daerah Kabupaten / kota dipilih oleh DPRD tanpa melalui persetujuan Menteri Dalam Negeri dan atau Presiden. Sementara untuk Gubernur karena fungsi gandanya sebagai kepala daerah propinsi dan wakil pemerintah pusat , nama-namacalon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan Presiden. Bupati / Walikota dan Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD dan tidak kepada Menteri Dalam Negeri atau Presiden.
Sementara itu seiring dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 Kepala Daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD  melainkan melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Dengan demikian Kepala Daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD tetapi bertanggungjawab kepada rakyat. Dalam pelaksanaan tugas kepala daerah menyampaikan laporan petanggungjawaban kepada Pemerintah (pusat) dan menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban (LKP) kepada DPRD.
            Demikian pula Undang-undang No.32 tahun 2004 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah Kabupaten dan Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah propinsi. Undang-undang No.32 tahun 2004 tidak lagi mengenal paham pembagian wewenang tetapi penyerahan/pelimpahan tugas dalam bentuk urusan wajib dan urusan pilihan. Dengan demikian semua kewenangan pemerintah daerah dan kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administratif tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah daerah kabupaten dan kota berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri.

HUKUM ACARA PIDANA

Hukum Acara Pidana


Hukum acara pidana dan hukum pidana adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Hukum pidana dapat ditegakkan apabila hukum acara pidana juga dapat diselenggarakan dengan baik. Keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga hukum acara pidana dapat dikatakan sebagai alat untuk menegakkan hukum pidana.

Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara sebagai dasar dan aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur seperti apa sehingga ancaman pidana pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan ketika seseorang telah disangkakan melakukan perbuatan pidana. Pengertian hukum acara pidana tersebut merupakan pengertian hukum acara pidana yang diberikan oleh Prof Mulyatno.
Berdasarkan pengertian hukum acara pidana tersebut, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana keseluruhan ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur penyelesaian suatu perkara pidana, yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan hingga penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan hingga lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan pidana terhadap suatu kasus pidana.

Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana

Hukum acaraa pidana memiliki beberapa fungsi, antara lain adalah fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam hukum acara pidana adalah adanya upaya untuk menegakkan ketentuan pidana dan melaksanakan hukum pidana. Penegakan ketentuan pidana berarti pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam hukum pidana terhadap suatu perbuatan pidana.
Sementara fungsi preventif dalam hukum acarra pidana adalah fungsi pencegahan dan upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi preeventif dalam hukum acara pidana ini dapat berjalan dengan baik apabila seluruh proses hukum acara pidaana dapat diselenggarakan dengan baik pula agar dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam masyarakat.
Tujuan hukum acara piidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum accara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan untuk selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Sabtu, 01 Juni 2013

TATA CARA PENDIRIAN KOPERASI

Tata Cara Pendirian Koperasi

 
TATA CARA
PENDIRIAN KOPERASI
I.      DASAR HUKUM
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akte Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar;
  2. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 01/Per/M.KUKM/I/2006 tanggal 9 Januari 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi;
  3. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 98/Kep/KEP/KUKM/X/2004 tanggal 24 September 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akte Pendirian Koperasi;
TAHAPAN PENGAJUAN KOPERASI YANG BERBADAN HUKUM
  1. RAPAT PEMBENTUKAN
  2. PENGAJUAN BERKAS PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN KOPERASI
  3. PENINJAUAN LAPANGAN
1.      RAPAT PEMBENTUKAN
  • a. Koperasi Primer dihadiri minimal 20 orang, dan untuk Koperasi Skunder minimal 3 (tiga) Koperasi yang telah berbadan hokum yang diwakili oleh kuasanya.
  • b. Dihadiri Pejabat Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Kota Semarang;
  • c. Yang dibahas dalam rapat tersebut antara lain :
  • 1) Nama dan kedudukan koperasi;
  • 2) Keanggotaan;
  • 3) Usaha yang akan dijalankan;
  • 4) Permodalan;
  • 5) Pemilihan Pengurus dan Pengawas;
  • 6) Konsep Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga;
2.      PENGAJUAN BERKAS PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN KOPERASI.
PERSYARATAN :
  • a. Permohonan Pengesahan Akte Pendirian Koperasi bermeterai Rp. 6.000,-
  • b. Petikan Berita Acara Rapat Pendirian/Pembentukan Koperasi;
  • c. Neraca Awal;
  • d. Tanda Bukti Setoran Anggota
  • e. Daftar hadir Rapat Pembentukan.
  • f. Daftar Nama Pendiri;
  • g. Fotokopi KTP Pendiri;
  • h. Akte Pendirian dari Notaris;
  • i. Rencana Awal Kegiatan Usaha;
  • j. Biodata Pengurus dan Penagawas;
  • k. Surat Keterangan status Kantor;
  • l. Daftar Inventaris kantor
3.      PENINJAUAN LAPANGAN.
DICEK KE LAPANGAN (SEKRETARIAT KOPERASI) OLEH TIM BADAN HUKUM KOPERASI
HASIL TIM PENINJAUAN LAPANGAN :
  • a. Apabila sudah memenuhi persyaratan baik administrasi maupun kelengkapan di lapangan maka diterbitkan Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum.
  • b. Apabila ada kekurangan, untuk dilengkapi dahulu, sampai batas waktu paling lama 3 bulan, kalau lebih dari 3 bulan maka berkas dikembalikan kepada Koperasi.
 

Persyaratan Pengurusan SIUP, TDP, TDG & SIUP-MB

Persyaratan Pengurusan SIUP,TDP,TDG & SIUP-MB


A. Persyaratan umum
  1. Mengisi Formulir Surat Permohonan Izin (SPI)
  2. Copy Akte Pendirian Perusahaan & Akte perubahan (jika ada)
  3. Surat Kuasa di atas Materai & Stempel Perusahaan (jika di wakilkan)
  4. Copy KTP Dirut/Pemilik/Penanggung Jawab Perusahaan
  5. Copy NPWP Perusahaan Yang Alamatnya Sesuai Dengan Domosili Camat + Asli diPerlihatkan
  6. Copy Domisili Camat Setempat
  7. Izin Teknis dari Instansi Yang Bersangkutan / Surat Rekomendasi Sesuai Bidang Usahanya ( kecuali untk Siup-MB & TDG)
  8. Surat Ket. Kepemilikan atau Bukti Sewa Tempat Usaha
  9. Denah Lokasi Perusahaan / Tempat Usaha
  10. Neraca Perusahaan Asli + Cap Perusahaan (kecuali untuk TDG)
  11. Pas Photo Warna Ukuran 3 x 4 cm = 4 Lembar (baju kemeja)










PROSEDUR PENGURUSAN SERTIFIKAT TANAH

Prosedur Pengurusan Sertifikat Tanah

prosedurnya adalah sebagai berikut:
-         Anda ke Kantor Pertanahan setempat, dalam hal ini Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan, untuk mengajukan permohonan hak. Dalam hal ini, Anda melampirkan:
  1. identitas diri Anda dan Kakek Anda (KTP, Akta Perkawinan-kalau ada, dan Kartu Keluarga Anda dan kakek Anda),
  2. akta hibah (sebagai bukti peralihan hak),
  3. bukti-bukti penguasaan tanah yang dipunyai kakek Anda dahulu,
  4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
  5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
  6. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
  7. surat keterangan belum bersertipikat, surat keterangan riwayat tanah, dan surat keterangan tidak sengketa, 
-         Kemudian, menandatangani permohonan-permohonan sesuai formulir yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional. Kemudian, karena hibah dilakukan antara keluarga dalam garis lurus (kakek Anda dan Anda), maka untuk menunjukkan hal tersebut sehingga Anda tidak perlu membayar PPh, maka dilampiri;
  1. Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB) dari Kantor Pajak setempat,
  2. Akta Perkawinan kakek Anda,
  3. Akta Perkawinan orang tua Anda,
  4. Akta Kelahiran orang tua Anda, 
  5. Akta Kelahiran Anda,
  6. Apabila permohonan pensertipikatan dilakukan melalui jasa notaris/PPAT, juga melampirkan surat kuasa.
-         Kemudian akan dilakukan pengumpulan dan pengolahan data fisik, seperti pengukuran oleh Kantor Pertanahan setempat. Juga dilakukan pengumpulan dan pengolahan data yuridis oleh Kantor Pertanahan setempat, berdasarkan bukti-bukti yang Anda miliki seperti tersebut di atas.
-         Setelah diukur, diteliti dan dimohon sertipikat, akan keluar Surat Keputusan Pemberian Hak. Pada SK Pemberian Hak tersebut akan dicantumkan bahwa untuk tanah Anda akan diberikan status sebagai tanah hak milik, harus membayar pemasukan kepada negara, dan mungkin juga membayar PPh dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sesuai yang tercantum dalam SK. Untuk Adapun besarnya pemasukan kepada negara adalah 2% x Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah.
-         Setelah ketentuan dalam SK Pemberian Hak dipenuhi, maka Kantor Pertanahan akan menerbitkan sertipikat.

 
Dasar hukum:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
  2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional
  4. Peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan, seperti peraturan mengenai pajak.


    Semoga Bermanfaat :)