HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Jumat, 26 April 2013

   S E L A M A T    D A T A N G



Ini adalah blog education di peruntukkan untuk saling belajar dan bertukar pikiran dan pendapat..

 

Semoga bisa bermanfaat bagi seluruh pengguna dunia maya terlebih bagi pengunjung blog saya ini..

 

Demikian perkenalan blog hukum ini, saya ucapkan terima kasih bagi pengunjung yang berkenan mampir membaca di blog saya ini...









GIRIK YANG TELAH MENJADI WARKAH


                                                   
                                                   BADAN PERTANAHAN NASIONAL



Pertanyaan Contoh:
AYAH kami mempunyai sebidang tanah seluas sekitar 5.000 m2 di wilayah Jakarta Selatan dengan bukti surat berupa surat girik. Setahun yang lalu ayah kami menjual sebagian tanah tersebut, seluas 3.000 m2. Untuk keperluan persertipikatan tanah yang dijual, maka girik tersebut pinjamkan kepada si pembeli tanah dan sampai saat ini girik tersebut belum dikembalikan.
Tiga bulan yang lalu ayah kami meninggal dunia menyusul ibu kami yang telah lama meninggal.  Sebagai ahli waris, saya anak tertua dari 4 bersaudara, wajib mengurus tanah keluarga kami.
Namun sewaktu saya tanyakan kepada si pembeli tanah tersebut tentang girik itu, ia mengatakan telah diserahkan ke kantor pertanahan. Saya kemudian menanyakan ke kantor pertanahan dan dikatakan oleh petugas, bahwa girik tersebut telah menjadi warkah dan tidak dapat dikeluarkan.
Kami juga mencoba menanyakan ke kantor kelurahan setempat bagaimana prosedur pengurusan hak atas tanah tersebut, malah dijawab jika ingin mensertipikatkan tanah tersebut luasnya tinggal 1.000 m2, karena ada rencana pembukaan jalan.
Saya bertambah bingung, adik-adik saya menginginkan dibagi saja tanah tersebut namun bagaimana caranya, mohon bantuan Pak Erwin Kallo memberikan petunjuk praktis menyelesaikan masalah kami ini. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih.
Mansyur Safri, Jakarta Selatan (DKI Jakarta)

Jawaban:
MENYIMAK persoalaan Bapak, maka dapat kami uraian beberapa permasalahan dan cara menyelesaikannya sebagai berikut:
  1. Tentang bukti hak atas tanah, di mana girik yang dapat menjadi dasar permohonan hak (sertifikasi) telah dijadikan warkah dari sertipikat yang telah diterbitkan atas tanah yang terjual. Benar bahwa segala dokumen yang berkaitan dengan suatu permohonan hak atas tanah (girik, akta jual-beli/pelepasan hak dan lain-lain) tidak dapat ditarik kembali atau dikeluarkan dari warkah. Namun hal itu dapat diatasi dengan mengajukan permohonan ke kantor pertanahan (BPN) yang bersangkutan, agar dapat mengeluarkan surat keterangan, bahwa dalam girik tersebut masih terdapat sisa tanah yang tidak termasuk di dalam sertipikat sebelumnya, dengan menyertakan bukti (foto copy surat pelepasan hak dan dirik tersebut) yang dapat dimintakan kepada pembeli sebelumnya atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang membuat akta pelepasan tersebut. Kemudian dengan dasar Surat Keterangan tersebut dapat diajukan permohonan hak atas tanah yang masih tersisa tersebut.
  2. Tentang kepemilikan tanah, dengan meninggalnya ayah Anda, maka secara otomatis tanah tersebut menjadi tanah warisan (budel). Untuk itu diperlukan terlebih dahulu adalah Fatwa Waris yang dapat diajukan pada Pengadilan Agama, jika keluarga anda beragama Islam atau penetapan waris pada Pengadilan Negeri setempat untuk menentukan siapa-siapa ahli waris yang sah dan bagian-bagiannya. Setelah itu para ahli waris dapat menunjuk dengan surat kuasa kepada salah seorang ahli waris untuk mengurus baik persetipikatan transaksi jual beli, jika ingin dijual.
  3. Tentang luas tanah berkurang, yang pertama-tama harus dilakukan yaitu memastikan letak batas-batas tanah tersebut. Benar  bahwa jika terdapat rencana jalan, maka luas tanah di dalam persertipikatan tersebut akan berkurang. Namun  demikian tanah yang menjadi jalan tersebut tetap akan memperoleh ganti rugi dari instansi yang berwenang. Sebaiknya hal ini Anda pastikan dengan memohon penerbitan advis planning dari Dinas Tata Kota setempat. Jika benar maka rencana jalan tersebut akan tergambar di dalam advis planning tersebut.
  4. Tentang pembagian tanah waris, itu dapat saja dilakukan dengan terlebih dahulu disertipikatkan secara keseluruhan (Sertipikat Induk) lalu diajukan pemecahan sertipikat sesuai bagian warisnya masing-masing. Namun sebelumnya harus ada kesepakatan para ahli waris mengenai letak bidang-bidang tanah yang dibagi tersebut. Tetapi saya usulkan, agar lebih praktis dan adil, sebaiknya tanah tersebut disertipikatkan secara keseluruhan terlebih dahulu lalu dijual. Kemudian  hasil penjualan itu dibagi secara proporsional sesuai hak waris masing-masing. Dengan cara ini dapat mencegah perselisihan masalah letak bidang tanah yang akan dibagi.

Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim



Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim
(Lanjutan : UPAYA PERDAMAIAN)

Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Sesungguhnya tanpa harus menunggu permohonan hak ingkar dari pihak yang berperkara maupun dari ketua pengadilan, hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipuntelah bercerai. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak.
Apabila diketahui hakim yang akan menyidangkan terkait hubungan-hubungan sebagai mana tersebut di atas dengan pihak-pihak yang berperkara dan tidak mengundurkan diri, maka Ketua Pengadilan Agama harus memerintahkan hakim tersebut untuk mundur. Apabila hakim tersebut adalah ketua pengadilan sendiri, maka perintah pengunduran dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding, apabila hakim yang seharusnya mengundurkan diri masih tetap melakukan pemeriksaan dan sampai pada putusan, maka perkara harus segera diperiksa dan diputus ulang dengan susunan majelis yang berbeda, dan putusan yang telah terlanjur diucapkan menjadi batal demi hukum.

F. 3. Perubahan Gugatan
Perubahan bias berarti menambah, mengurangi bahkan bias jadi mencabut gugatan. Hal ini bias dilakukan penggugat, dengan ketentuan harus diajukan pada sidang pertama yang dihadiri pihak tergugat dalam persidangan, namun demikian harus ditawarkan kepada pihak tergugat untuk melindungi haknya, dikecualikan dalam hal pencabutan, yakni gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa, tetapi jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberikan jawaban, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat.
Perubahan yang bersifat menyempurnakan, menegaskan atau menjelaskan surat gugatan adalah diperbolehkan, demikian juga dalam hal mengurangi tuntutan, menurut putusan kasasi Nomor 209 K/Sip/1970 tanggal 6 Maret 1971, bahwa perubahan gugatan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum perdata, dengan catatan tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil, walaupun tidak ada tuntutan subsider.

Beberapa kemungkinan melakukan perubahan dalam suatu gugatan adalah meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Perubahan Total, gugatan diubah baik mengenai positanya maupun petitumnya, hal ini tidak dibenarkan karena mengakibatkan tergugat merasa dirugikan haknya untuk membela diri.
2) Perbaikan, maksudnya adalah melakukan perbaikan surat gugatan yang menyangkut hal-hal yang tidak prinsip hanya terbatas mengenai format, titik, koma atau kata.
3) Pengurangan, mengurangipada bagian-bagian tertentu dalam posita ataupun petitumnya, hal ini diperbolehkan, sebagai contoh semula penggugat menuntut nafkah madhiyah dalam komulasi perkara perceraian, namun hal tersebut dihilangkan karena tidak inginberbelit-belit.
4) Penambahan, melakukan penambahan dalam positaatau petitumnya, hal ini sering terjadi di mana dalam positanya telah diungkap panjang lebar, namun pada petitumnya tidak terdapat tuntutan.

Perubahan gugatan bila dilakukan secara tertulis jugabisa dengan lisan di muka persidangan majelis hakim, perubahan bisa dilakukan sepanjang tergugat belum memberikan jawaban, apabila sudah memberikan jawabannya, maka tergugat berkesempatan untuk setuju atau tidak setuju. Perubahan tidak dibenarkan dilakukan setelah pembuktian, dimana tinggal menunggu putusan majelis hakim.
Apabila penggugat bersikukuh mempertahankan gugatanatau permohonan yang diajukan dan tidak melakukan perubahan dalam surat gugatannya serta tidak mau berdamai, maka sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.

F. 4. Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat bisa dilakukan secara tertulis dan bisa dilakukan secara lisan. Di dalam mengajukan jawaban, tergugat bisa hadir secara pribadi atau mewakilkan kepada kuasa hukumnya. Ketidakhadiran tergugat secara pribadi atau wakilnya dalam sidang, walaupun mengirimkan surat jawaban, maka dalam hal seperti ini hakim harus mengenyampingkannya, kecuali dalam hal jawaban berupa eksepsi atau tangkisan bahwa pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara itu.

Pada tahap jawaban tergugat, ada beberapa kemungkinan yang bias dilakukan tergugat, yakni :
a. Eksepsi
Adalah sanggahan atau perlawanan yang dilakukan pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak mengenai pokok perkara dengan maksud agar hakim menetapkan gugatan dinyatakan tidak diterima atau ditolak.
Penggugat yang mengajukan eksepsi disebut “excipien”. Ada 2 (dua) bentuk eksepsi, yakni dalam bentuk “prosesual eksepsi” (eksepsi formil) yakni eksepsi yang berdasar hukum formil dan dalam bentuk “materiil eksepsi” yaitu eksepsi dalam bentuk materiil.

b. Mengakui Sepenuhnya
Apabila seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan penggugat diakui sepenuhnya dalam tahap jawaban tergugat di persidangan, maka perkara dianggap telah terbukti dan gugatan dapat dikabulkanseluruhnya, dikecualikan dalam hal gugatan perceraian.
Khusus perkara perceraian, meskipun mungkin tergugat telah mengakui sepenuhnya mengenai alasan-alasan cerai yang diajukan penggugat, namun hakim tidak serta merta menerimanya, hakim harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai tersebut dengan alat bukti yang memadai. Hal ini mengingat bahwa :
1) Perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah. Karena meskipun perceraian itu telah mencapai suatu kondisi hukum yang halal karena telah mempunyai alasan-alasan yang cukup namun tetap dibenci oleh Allah SWT. Apalagi perceraian yang makruh lebih-lebih yang haram.
2) Undang-undang Perkawinan mempunyai prinsip mempersulit perceraian, karena begitu beratnya akibat perceraian yang terjadi baik bagi bekas suami maupun bekas isteri dan terutama bagi anak-anak mereka.
3) Untuk menghindari adanya kebohongan-kebohongan besar dalam hal perceraian tersebut.

c. Mengingkari Sepenuhnya
Jika tergugat dalam jawabannya mengingkari sepenuhnya dalam alasan-alasan yang diajukan penggugat dalam surat gugatannya, maka pemeriksaan dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai dapat dibuktikan sebaliknya.

d. Mengakui dengan Klausula
Jika alasan-alasan atau sebagian alasan gugatan diakui tergugat, maka pengakuan itu harus seutuhnya diterima dan hakim tidak boleh memisah-misahkan, dan pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana biasa.

e. Jawaban Berbelit-belit (Referte)
Jika tergugat memberikan jawaban berbelit-belit atau menyerahkan sepenuhnya (tidak mengingkari juga tidak mengakui) kebijakan majelis hakim, maka pemeriksaan berlanjut sebagaimana biasa.

f. Rekonvensi
Diantara hak tergugat dalam berperkara di muka sidang adalah hak mengajukan gugat balik (rekonvensi) terhadap penggugat. Dalam hal demikian kedudukan tergugat dalam konvensi berubah menjadi penggugat dalam rekonvensi, sebaliknya penggugat dalam konvensi juga berubah menjadi tergugat dalam rekonvensi.


F. 5. Replik Penggugat
Tahapan berikutnya setelah tergugat menyampaikan jawabannya adalah menjadi hak pada pihak penggugat untuk memberikan tanggapan (replik) atas jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya. Kemungkinan dalam tahap ini penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau kemungkinan juga penggugat mengubah sikap dengan membenarkan jawaban atau membantah jawaban tergugat.

F. 6. Duplik Tergugat
Apabila penggugat telah menyampaikan repliknya, dan tergugat dalam tahap ini diberikan kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Isinya membantah jawaban sekaligus replik penggugat. Yang perlu diketahui bahwa acara jawab menjawab (replik-duplik) dapat diulangi sampai ada titik temu atau titik perselisihan antara penggugat dan tergugat, sebagai masalah pokok yang akan dibawa ke tahap pembuktian.

F. 7. Pembuktian
Pada tahap pembuktian, kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti diberikan kepada pihak penggugat maupun tergugat secara berimbang, biasanya dalam praktik perkara perceraian beban pembuktian lebih ditekankan ke[ada pihak penggugat / pemohon dimaksudkan untuk menguatkan gugatannya atau permohonannya.

F. 8. Kesimpulan (Konklusi) Para Pihak
Pada tahap kesimpulan (konklusi), baik pihak penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat sebagai kata akhir dalam proses pemeriksaan, kesimpulan tersebut sesuai dengan pandangan masing-masing pihak, disampaikan dengan singkat.

F. 9. Putusan atau Penetapan Hakim
Setelah melalui tahapan-tahapan dalam pemeriksaan, maka pada tahap akhir yang ditunggu-tunggu kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat adalah adanya putusan atau penetapan. Pada tahap ini hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertimbangan hukum (berdasar pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasan dan dasar hukumnya.

OBJEK HAK TANGGUNGAN



Hak Milik

          Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”. Sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”, maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh Pengaturan mengenai hak milik tercantum dalam Pasal 20-27 UUPA. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Yang dapat menjadi subjek hak milik:
a.    WNI;
b.    Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh pemerintah;
c.    Orang-orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan.

Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu bisa terjadi karena Penetapan Pemerintah atau ketentuan Undang-Undang. Setiap peralihan, hapusnya dan pembeban hak milik dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Hak milik hapus bila:
a.    Tanahnya jatuh kepada negara,
karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;
karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
karena ditelantarkan;
karena ketentuan pasal ayat (3) dan 26 ayat (2).
b.    Tanahnya musnah.


 Hak Guna Usaha (HGU)

          Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk  mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan HGU terdapat pada Pasal 28-34 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 2-18.
Peralihan Hak Guna Usaha terjadi karena:

a.    jual beli;
b.    tukar menukar;
c.    penyertaan dalam modal;
d.    hibah;
e.     pewarisan.

Subjek HGU:
a.    WNI;
b.    Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Terjadinya hak guna usaha karena penetapan Pemerintah.

Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah:
a)    Tanah negara;
b)   Tanah negara yang merupakan kawasan hutan, setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan;
c)    Tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak Guna Usaha diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat  diperpanjang paling lama 25 tahun. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGU diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf  a, yaitu :
“Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun”.

Hak guna usaha hapus karena:
a.    Jangka waktunya berakhir
b.    Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.    Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.   Dicabut untuk kepentingan umum;
e.    Ditelantarkan;
f.     Tanahnya musnah;
g.    Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960.




 Hak Guna Bangunan (HGB)

            Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Tidak mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik seseorang. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan mengenai HGB terdapat dalam Pasal 35-40 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 19-38.

Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena:
a.    jual beli;
b.    tukar menukar;
c.    penyertaan dalam modal;
d.   hibah;
e.    pewarisan.

Subjek HGB:
a.    WNI;
b.    Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah:
a.    Tanah negara;
b.    Tanah hak pengelolaan;
c.    Tanah hak milik.

Hak guna bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGB diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf b, yaitu:
“Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun”.

Hak guna bangunan hapus karena:
a.    Jangka waktunya berakhir;
b.    Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.    Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.   Dicabut untuk kepentingan umum;
e.    Ditelantarkan;
f.     Tanahnya musnah;
g.    Ketentuan dalam pasal 36 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960.

 Hak Pakai

            Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No. 5 Tahun 1960. Pengaturan mengenai Hak Pakai terdapat dalam Pasal 41-43 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 39-59.

Hak Pakai diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Mengenai peralihan hak:
o  Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang;
o  Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

Subjek hak pakai:
a.    WNI;
b.    Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.    Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.   Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
e.    Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
f.     Badan-badan keagamaan dan sosial;
g.    Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
h.    Terjadinya hak pakai karena pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah.

Hak Pakai Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah:
a.    Tanah negara;
b.    Tanah hak pengelolaan;
c.    Tanah hak milik.

Jangka waktu:
a.    Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu;
b.    Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada:
• Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
• Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;
• Badan Keagamaan daan badan sosial.

Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu Hak Pakai diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf c, yaitu:
“Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun”.

Hak pakai hapus karena:
a.    Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
b.    Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang HakMilik sebelum jangka waktunya berakhir karena:
c.    tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52; atau
tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang
dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau
d.   putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
e.    Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
f.     dicabut berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 1961;
g.    Ditelantarkan;
h.    Tanahnya musnah;
i.      Hapus karena hukum (pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat subyek yang berhak/dapat memegang Hak Pakai).


Hak Atas Satuan Rumah Susun

            Dalam pasal 12 ayat 1 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985, ditetapkan bahwa rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Ketentuan tersebut mengatur hal baru karena sebelum adanya UURS, objek utama dari hak jaminan adalah tanah. Dalam keadaan tertentu, jika dikehendaki para pihak, hak jaminan yang dibebankan atas suatu bidang tanah dapat meliputi juga bangunan yang ada di atasnya.
Dalam Pasal 12 tersebut, yang merupakan obyek pokok hak jaminan yang dibebankan bukan tanahnya, melainkan bangunan rumah susunnya. Pasal 12 UURS juga memuat ketentuan yang penting bagi Hukum Jaminan Indonesia, bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan atas tanah dimana rumah susun itu dibangun beserta rumah susun yang akan dibangun, sebagai jaminan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.
Keistimewaan lembaga ini adalah bahwa bangunan yang pada saat hak tanggungan dibebankan belum ada dapat ikut terbebani hak tanggungan, masuk akal kiranya bahwa yang sudah ada juga dapat ikut terbebani. Tetapi semuanya itu dapat diperjanjikan secara tegas dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, karena tidak terjadi dengan sendirinya seperti dalam hukum yang menggunakan asas pendekatan (accessie).

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa hukum tanah kita menggunakan asas pemisahan horizontal, sehingga selain harus diperjanjikan, bangunan yang dapat ikut terbebani hak tanggungan tersebut, menurut kenyataannya harus bersifat permanen dan milik dari yang punya tanah.
Hak milik atas satuan rumah susun juga dapat dijadikan jaminan kredit. Kemungkinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 13 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang menyatakan, bahwa hal milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan jika tanahnya hak milik atau Hak Guna Bangunan, atau Fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah negara.

Dari ketentuan tersebut dapat dibaca bahwa yang menjadi obyek pokok jaminan Hak Tanggungan bukan tanahnya melainkan hak milik atas satuan rumah susunnya, sehingga Hak Tanggungan atau Fidusia yang dibebankan meliputi selain satuan rumah susun yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun yang dijaminkan.

Ketentuan ini diadakan untuk memungkinkan diperolehnya Kredit Pemilik Rumah (KPR) guna membayar lunas harga satuan rumah susun yang dibeli pengembaliannya dapat dilakukan secara angsuran KPR tersebut baru dapat diberikan setelah rumah susun yang bersangkutan selesai dibangun dan telah pula dilakukan pemisahan dalam satuan – satuan rumah susun yang bersertifikat.
Menurut ketentuan Pasal 12 dan 13 Undang – Undang No.16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (“UURS”) bahwa rumah susun dan satuan rumah susun dapat dijadikan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. Mengenai tata cara pembebanan dan penerbitan tanda buktinya, diuraikan sebagai berikut.

Pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam pasal 14 dan 15 UURS, dimana dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dan wajib didaftarkan pada Kantor Agraria (sekarang kantor pertanahan) Kabupaten / Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak bersangkutan. Tata caranya sama dengan pembebanan Hak Tanggungan yang obyek pokoknya tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang belaku.
Selanjutnya pembebanan Hak Tanggungan tersebut dalam rangka memenuhi syarat publisitas, yang merupakan salah satu syarat bagi yang sahnya dan kelahiran Hak Tanggungan yang diberikan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

Berdasarkan Pasal 13 ayat 2 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (“UUHT”) juncto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendafataran Tanah, maka PPAT yang membuat pembebanan Hak Tanggungan tersebut selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya pembebanan Hak Tanggungan tersebut, wajib menyampaikan APHT yang dibuatnya berikut dokumen – dokumen yang bersangkutan seperti sertifikat tanahnya (kalau yang dijaminkan rumah susun atau tanah tempat akan dibangunnya rumah susun) atau sertifikat HMSRS (kalau yang dijaminkan satuan rumah susunnya) kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Dan PPAT wajib menyampaikan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan. Pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pambuatan Buku Tanah Hak Tanggungannya, diikuti dengan penerbitan sertifikat Hak Tanggungan serta pencatatan adanya Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan sertifikat tanah rumah susun atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (“HMSRS”) yang dijadikan jaminan.

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan tersebut Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT, yang membuktikan pemberian Hak Tanggungan tersebut.

Kecuali diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah atau HMSRS yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah / pemegang HMSRS yang bersangkutan. Sedangkan sertifikat hak tanggungannya diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.