HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Jumat, 14 Desember 2012

Tentang Putusan P T U N



Putusan   P T U N
1.         Proses memutuskan sengketa tata usaha negara
Putusan pengadilan harus mencerminkan 4 (empat) kriteria pokok dari asas-asas  peradilan yang baik sebagaimana diutarakan oleh de Waard (dalam Sidharta,1996: 332-333):

1)         Decisie bentrisel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang pantas. Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan gugatan (perkara), dan larangan bagi hakim untuk menolak mengadili/memeriksa perkara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

2)         Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak yang  berperkara berhak atas kesempatan membel diri dan bahwa kedua belah pihak juga.harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian dan memperoleh informasi..

3)         Onpgrtijdigheids beginsel (no bias), asas bahwa putusan dijatuhkan secara obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau anggota-anggota instansi peradilan, ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifat zakeiijk, ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari salah satu pihak atau di luar perkara dengan hakim, sehingga menyimpang dari prosedur semestinya.

4)         Motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision), .asas bahwa putusan hakim harus memuat.alasan-alasan hukum yang jelas dan.dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada kebebasan dan diskresi untuk menentukan dan menjatuhkan putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti (controleerbaarheid).

Metode yang dipergunakan dalam musyawarah majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut adalah sebagai berikut (Pasal 97 ayat (3), (4), dan (5)):

1. Prinsipnya adalah bahwa putusan yang dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, dengan perkecualian, jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat putusan diambil dengan suara terbanyak.

2. Apabila musyawarah. majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, maka. permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majeiis berikutnya.

3. Apabila musyawarah-majelis betikutnya tidak dapat diambil suara terakhir Hakim Ketua.Majelis yang.menentukan.

Putusan yang harus dihasilkan nmelalui musyawarah dengan prinsip Permufakatan bulat berkaitan dengan segi objektivitas putusan. Sudikno (1998: 54) berpendapat bahwa apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaidah hukum; maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).
Sebelum putusan dihasilkan, harus dicermati pula kemungkinan adanya Perubahan keadaan yang terjadi selama proses berjalan, yang sedikit banyak kiranya ada pengaruhnya terhadap putusan yang, akan dijatuhkan Pengaruh tersebut dapat diklasifikasikan atas (Indroharto, 1993: 120-121):

1.         Pengaruh penrbahan-perubahan keadaan tersebut terhadap penilaian atau pengujian yang harus dilakukan Pengadilan mengenai keputusan TUN yang digugat
2.         Pengaruh perubahan-perubahan keadaan tersebut terhadap putusan diktum yang dijatuhkan oleh Pengadilan.

Mengenai perubahan-perubahan keadaan tersebut perlu dibedakan antara:
1.         Perubahan mengenai peraturan yang berlaku  .
2.         Perubahan mengenai posisi-posisi hukum serta situasi kepentingan-kepentingan tertentu.
3.         Perubahan dalam kebijaksanaan Tergugat.
Pengertian istilah ruang tertutup untuk musyawarah majelis Hakim tersebut (Pasal 97 ayat 1), kiranya harus ditafsirkan demi objektivitas dan kemandirian Pengadilan dan tidak diartikan tertutup terhadap perkembangan keadaan sehubungan dengan sengketa yang akan diputus.

Sehubungan dengan upaya menemukan atau mencari hukumnya, tidak sekedar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret yang dicarikan hukumnya. Kegiatan tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Guna mencari atau menemukan hukumnya atau undang¬undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, perisHwa korilcrit itu hams diarahkan kepada undang-undangnya,sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan pedstiwanya yang konkrit (Mertokosumu, 1988: 60).

Diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dalam pembuatan putusan di PTUN, mengingat asas setiap putusan PTUN mempunyai kekuatan mengikat erge omnes, sesuai dengan karakter hukum publik sengketa tata usaha negara.

Prinsip penting yang harusdiperhatikan mengenai prosedur putusan pengadilan adalah putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat 1). Sanksi terhadap tidak dipenuhinya prinsip tersebut, putusan Pengadilan tersebut menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 108 ayat 3).

Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang, salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.

Ditinjau dari prosesnya, putusan pengadilan dapat diklasifikasikan atas (bandingkan Pasa1185 ayat (1) HIR):
1.         Putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.

Putusan akhir ini terdiri dari:  .           . .         . .
a. Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir). Putusan cundemnatair adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi: memberi, berbuat, dan tidak berbuat.

b. Putusan akhir yang bersifat menciptakan. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan keadaan hukum.

c. Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.


2. Putusan sela atau putusan antara (interlocutair vonis). “Putusan yang fungsinya adalah untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Macam-macam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah (Pasa97 ayat 7):

a. Gugatan ditolak
Menolak gugatan berarti memperkuat keputusan badan atau pejabat administrasi negara.

b. Gugatan dikabulkan    .
Mengabulkan gugatan. berarti tidak membenarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara, baik seluruhnya atau sebagian.

c. Gugatan tidak diterima
Tidak menerima gugatan berarti gugatan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

d. Gugatan gugur
Gugatan gugur, apabila (para) pihak atau (para) kuasanya, kesemuanya tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan dan telah dipanggil secara patut.  ,
Putusan akhir tersebut di atas, menurut sifatya dapat dibagi dalam 3
jenis, yaitu:

1. Putusan yang bersifat pembebanan (condemnatoir). Putusan yang mengan-
dung pembebanan.
Misalnya.tergugat dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat. tergugat dibebani membayar ganti rugi atau melakukan rehabilitasi (Pasal 9 ayat 9 butir huruf a, b, q Pasai 47 ayat 10 dan 11).Contoh: surat pemberhentian pegawai dibatallcan dan melakukan rehabilitasi.

2. Putusan yang bersifat pemyataan (declaratoir).          .
Putusan yang hanya menegaskan suatu keadaan hukum yang sah. Misalnya: penetapan dismisal (Pasa162). Contoh gugatan tidak diterima atau tidak berdasarkan. Penetapan perkara diperiksa dengan acara cepat (Pasal 48). Beberapa perlu digabungkan atau dipisah-pisahkan dan lain-lain.

3. Putusan yang bersifat penciptaan (constifutif).
Putusan yang melenyapkan suatu keadaan hukum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Misalnya tergugat selain dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat, juga dibebani kewajiban yang hams dilakukan oleh tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru (Pasal 97 ayat 9 huruf b).

Ditinjau dan kekuatan putusan. maka terdapat tiga macam kekuatan yang, terdapat pada putusan Hakim. yaitu:
-  kekuatan mengikat
Putusan Hakim yang telah bersifat tetap, tidak dapat digunakan upaya hukum lagi atau telah pasti memiliki kekuatan mengikat. Putusan Hakim di Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan mengikat erga omnes, artinya dapat berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

-  kekuatan eksekutorial .
Putusan Hakim yang telah berkekuatan tetap pada umumnya dapat dijalankan, sehingga disebut.. telah memiliki kekuatan eksekutorial.

-  kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuklian putusan Pengadilan itu sejajar dengan akta otentik, sehingga selalu diakui kebenarannya sepanjang telah berkekuatan hukum tetap.

II.Pertimbangan tentang hukumnya
a. Analisis logika deduktif
b. Memuat penilaian/pengujian yuridis hakim atas obyek sengketa.
c. Merupakan sikap/pendirian hakim berdasarkan keyakinannya terhadap suatu sengketa tata usaha negara tertentu
d. Konklusi dari perbedaan pendapat para pihak tentang legalitas Keputusan TUN.    .
e. Didasari asas ius curia novit
f. Dapat mengandung identifikasi AAUPB
g. Merupakan penilaian tentang hubungan yuridis antara Keputusan TUN dengan kerugian yang ditimbulkannya. Hakim harus menentukan  batas-batas korelasi antara KTUN dengan kepentingan penggugat.
h. Didalamnya mengandung prinsip pembebanan pembuktian.

III. Bab Mengadili
a.   Bersifat declaratoir dalam hal: 1). Penerimaan atau penolakan gugatan
dan Penilaian keabsahan Keputusan TUN obyek sengketa.

b. Bersifat candemnatoir terhadap: 1). Keberlakuan Keputusan TUN: kewajiban-tergugat untuk mencabut Keputusan TUN; 2). Pemberian ganti rugi dan/atau rehabilitasi; 3). Biaya perkara yang hams ditanggung oleh salah satu pihak dalam sengketa yang dikalahkan.

Berkaitan dengan metode pengingkaran tersebut, Malt sebagaimana dikurip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa Through disavowal, the court may avoid the feeling of doing politics, and may aid in keeping conflicts, also of values alive. But what it does is also in a away to close its eyes to the problem. A variant of the lex specialis principle will often be involved in the argumentation.

Bila diterjemahkan maknanya adalah melalui pengingkaran, pengadilan dapat membantu dalam mempertahankan pertentangan, juga terhadap nilai-nilai, tetapi, apa yang dilakukan juga berada dalam suatu cara untuk menghindari permasalahan. Berbagai prinsip lex specialis akan sering terlibat dalam argumentasi.

Penafsiran kembali (reinterpretation) adalah langkah untuk mengatasi terjadinya antinomi/konflikantar norma hukum dengan cara hakim menafsirkan kembali suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penetapan suatu KTUN untuk memberikan solusi hukum atas terjadinya sengketa tata usaha negara. Sehubungan dengan penafsiran kembali (reinterpretation) tersebut, Malt sebagainiana dikutip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa this possibility has already been, mentioned several times before. A (hard) conflict, both logical and a pragmatical one, established after primary interpretation of the conflicting rules, can often be solved through a reinterpretation of the conflicting rules. Terjemahannya adalah bahwa sebuah konflik terbentuk setelah menafsirkan aturan-aturan utama yang berkonflik sering dapat dipecahkan melalui penafsiran kembali aturan-aturan itu.

Sehubungan pengertian pembatalan (invalidation), Malt sebagaimana dikutip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa invalidation as positively chosen solution is most practical as a result of applying the lex superior principle. Maknanya pembatalan yang dipilih secara positif karena paling prakfis sebagai suatu akibat penetapan pdnsip lex superior. Berdasarkan prinsip pembatalan tersebut, hakim tata usaha negara dapat membatalkan berlakunya suatu KTUN, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pembatalan atas KTUN yang diuji di Peradilan TUN- tersebut dimaksudkan agar KTUN itu dapat disinkronisasikan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tinggi.oleh badan atau pejabat TUN yang membuat KTUN itu.

2. Elemen-elemen Yang Harus Ada Pada Putusan
Sebagai syarat imperatif. Putusan Pengadilan harus memuat (Pasal 104 ayat 1);
a. Kepala Putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Hal ini karena menumt Pasal 4 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004, peradilan dilakukan sesuai dengan bunyi rumusan kepala putusan tersebut. Title tersebut yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan sehingga dapat dilaksanakan.

b. Nama, jabatan, Kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa.

c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas ini membuktikan bahwa argumen-argumen yang dikemukakan kedua belah pihak sesuai dengan asas audi et alteram partem telah menjadi bagian dari putusan, dan secara adil serta objektif dijadikan dasar pertimbangan putusan.

d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Pertimbangan (konsiderans) merupakan dasar dan putusan. Pertim-bangan dapat meliputi pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Sifat aktif Hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara tampak pada penilaian alat bukti sesuai dengan, asas pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 100 dan Pasal 107). Fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan selama pemeriksaan sengketa, juga memiliki relevansi terhadap penimbangan Hakim.        .

e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Harus dicantumkan argumen yuridis sehubungan dengan sengketa yang diperiksa. Pasal 14 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dad putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUNo. 48 Tahun 2009 diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion). Dissenting opinion merupakan perpaduan konsep rechtsstaat dengan angle saxon, karena semula hal itu bertumbuh dari konsep anglo saxon.

f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
Amar (diktum) putusan merupakan tanggapan atau jawaban petitum. Amar putusan di Peradilan Tata Usaha Negara mengacu pada Pasa197 ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11) UU  Peradilan TUN.

g. Closing statement
Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus nama panitem serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak. Selambat-lambatnya 30 hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan. Putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang. ApabiIa Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.

Kamis, 25 Oktober 2012

AKTA HIBAH



AKTA HIBAH

Hibah diatur oleh Pasal 1666 KUHPerdata, dan merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Undang-undang tidak mengakui hibah yang terjadi diantara orang-orang yang masih hidup. Akta hibah berdasarkan Pasal 1682 harus dibuat di muka Notaris
Hibah diatur dalam KUHPerdata Bab X Buku III tentang Perikatan 

Bagian 1. Ketentuan ketentuan Umum.

Pasal 1666.
Penghibahan adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.
Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orangorang yang masih hidup. (KUHPerd. 170, 172 dst., 179, 913, 1314, 1675, 1683, 1688.) 

Pasal 1667
Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barangbarang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada. (KUHPerd. 169, 178, 966 dst., 1157, 1471.)
Pasal 1668.
Penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan itu; penghibahan demikian, sekedar mengenai barang itu, dipandang sebagai tidak sah. (KUHPerd. 171, 1256, 1666, 1671.) 

Pasal 1669.
Penghibah boleh memperjanjikan, bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang tak bergerak yang dihibahkan, atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain; dalam hal demikian, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan Bab X Buku Kedua kitab undangundang ini. (KUHPerd. 124, 756 dst., 785, 883, 922.) 

Pasal 1670.
Suatu penghibahan adalah batal, jika dilakukan dengan membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar yang dilampirkan. (KUHPerd. 1256, 1688-lo.) 

Pasal 1671.
Penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia akan tetap menguasai penggunaan sejumlah uang yang ada di antara barang yang dihibahkan.
Jika ia meninggal dunia sebelum menggunakan uang itu, maka barang dan uang itu tetap menjadi milik penerima hibah. (KUHPerd. 1668.) 

Pasal 1672
Penghibah boleh memberi syarat, bahwa barang yang dihibahkannya itu akan kembali kepadanya bila orang yang diberi hibah atau abli warisnya meninggal dunia lebih dahulu dan penghibah, tetapi syarat demikian hanya boleh untuk kepentingan penghibah sendiri. (KUHPerd. 174, 178, 879, 1675.)
Pasal 1673.
Akibat dari hak mendapatkan kembali barang-barang yang dihibahkan ialah bahwa pemindahan barang barang itu ke tangan orang lain, sekiranya telah terjadi, harus dibatalkan, dan pengembalian barang-barang itu kepada penghibah harus bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan pada barang itu sewaktu ada di tangan orang yang diberi hibah. (KUHPerd. 948, 1093, 1169, 1209.) 

Pasal 1674.
Penghibah tidak wajib menjamin orang bebas dari gugatan pengadilan bila kemudian barang yang dihibahkan itu menjadi milik orang lain berdasarkan keputusan pengadilan. (KUHPerd. 1491 dst.)
Pasal 1675.
Ketentuan-ketentuan pasal 879, 880, 881, 882, 884, 894 dan akhimya juga Bagian 7 dan 8 dari Bab XIII Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini berlaku pula terhadap hibah. (KUHPerd. 1679.) 

Bagian 2. Kemampuan Untuk Memberikan dan Menerima Hibah.

Pasal 1676.
Semua orang boleh memberikan dan menerima hibah, kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu. (KUHPerd. 108, 124, 896, 1320, 1330, 1677 dst.)
Pasal 1677.
Anak-anak di bawah umur tidak boleh menghibahkan sesuatu, kecuali dalam hal yang ditetapkan pada Bab VIl Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini. (KUHPerd. 139, 151, 897, 904 dst., 1330-10, 1676, 1681.) 

Pasal 1678.
Penghibahan antara suami-istri, selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang.
Tetapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud, yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besamya kekayaan penghibah. (KUHPerd. 119, 149, 168 dst., 1467, 1601, 1687.)
(1) Berlaku juga bagi golongan Tionghoa, tetapi tidak bagi golongan Timur Asing lainnya. (Bagi golongan terakhir ini berlaku S. 1924-556 pasal 2 alinea keenam dan ketujuh.)
Pasal 1679.
Supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang dihibahkan, orang yang diberi hibah harus sudah ada di dunia atau, dengan memperhatikan aturan dalam pasal 2, sudah ada dalam kandurgan ibunya pada saat penghibahan dilakukan. (KUHPerd. 174, 178, 836, 899, 1675.)
Pasal 1680.
(s.d.u. dg. S. 1937-572.) Hibah-hibah kepada lembaga umum atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika Presiden atau pembesar yang ditunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut untuk menerimanya. (KUHPerd. 900, 1653 dst.) 

Pasal 1681.
(s.d.u. dg. S. 1872-11.) Ketentuan-ketentuan ayat (2) dan terakhir pada pasal 904, begitu pula pasal 906, 907, 908, 909 dan 91 1, berlaku terhadap penghibahan. (KUHPerd. 973 dst., 1679.) 

Bagian 3. Cara Menghibahkan Sesuatu.

Pasal 1682.
Tiada suatu penghibahan pun, kecuali penghibahan termaksud dalam pasal 1687, dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris, dan bila tidak dilakukan demikian, maka penghibahan itu tidak sah. (KUHPerd. 1893 dst.; Not. 39.)
Pasal 1683.
Tiada suatu penghibahan pun mengikat penghibah atau mengakibatkan sesuatu sebelum penghibahan diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakunya yang telah diberi kuasa olehnya untuk menerima hibah yang telah atau akan dihibahkan itu.

Jika penerimaan itu tidak dilakukan dengan akta hibah itu, maka penerimaan itu dapat dilakukan dengan suatu akta otentik kemudian, yang naskah aslinya harus disimpan oleh notaris, asal saja hal itu terjadi waktu penghibah masih hidup; dalam hal demikian, bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya. (KUHPerd. 170, 177, 1666, 1796; Not. 30 dst., 35.) 

Pasal 1684.
Hibah yang diberikan kepada seorang wanita yang masih bersuami tidak dapat diterima selain menurut ketentuan-ketentuan Bab V Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini. (KUHPerd. 108, 167, 1330-30, 1678.) 

Pasal 1685.
(s.d. u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah kekuasaan orang tua, harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orang tua itu.

Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh pengadilan negeri.

Jika pengadilan itu memberi kuasa termaksud, maka hibah itu tetap sah, meskipun penghibab telah meninggal dunia sebelum terjadi pmaberian kuasa itu. (KUHPerd. 300, 307, 330 dst., 370, 385, 402, 452, 1330, 1448.) 

Pasal 1686.
Hak milik atas barang-barang yang dihibahkan, meskipun diterima dengan sah, tidak beralih kepada orang yang diberi hibah, sebelum diserahkan dengan cara penyerahan menurut pasal 612, 613, 616 dst. (Ov. 26; KUHPerd. 1459, 1475, 1666) 

Pasal 1687.
Hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak memerlukan akta notaris dan adalah sah, bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hadiah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah. (KUHPerd. 613, 1354 dst., 1682, 1792.) 

Bagian 4. Pencabutan dan Pembatalan Hibah.
Pasal 1688.
Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal,-hal berikut: (KUHPerd. 172, 179, 920, 924, 1666, 1692; F. 43 dst.)
10. jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh pencrima hibah; (KUHPerd. 1317, 1689.)
20. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah; (KUHPerd. 1690.)
30. jika penghibah jatuh miskin, sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya. (KUHPerd. 324, 1690.)
Pasal 1689.
Dalam hal yang pertama, barang yang dihibahkan tetap tinggal pada penghibah; atau, ia boleh meminta kembali barang itu, bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan atas barang itu oleh penerima hibah, serta hasil dan buah yang telah dirdkmati oleh penerima hibah sejak ia alpa dalam memenuhi syarat-syarat penghibahan itu.

Dalam hal demikian, penghibah boleh menjalankan hak-haknya terhadap pihak ketiga yang memegang barang tak bergerak yang telah dihibahkan, sebagaimana terhadap penerima hibah sendiri. (KUHPerd. 928, 1093, 1209, 1236, 1673, 1797.) 

Pasal 1690.
Dalam kedua hal terakhir yang disebut pada pasal 1688, barang yang telah dihibahkan tidak boleh diganggu gugat jika barang itu hendak atau telah dipindahtangankan, dihipotekkan atau dibebani dengan hak kebendaan lain oleh penerima hibah, kecuali kalau gugatan untuk membatalkan penghibahan itu sudah diajukan kepada dan didaftarkan di pengadilan dan dimasukkan dalam penghibahan tersebutt dalam pasal 616. Semua pemindahtanganan, pengwpotekan atau Pembebanan lain yang dilakukan oleh penerima hibah sesudah pendaftaran tersebut adalah batal, bila gugatan itu kemudian dimenangkan. (Ov. 26; KUHPerd. 1454.) 

Pasal 1691.
Dalam hal tersebut pada pasal 1690, peneriina hibah wajib mengembaukan apa yang dihibahkan itu bersama dengan buah dan hasilnya, terhitung sejak hari gugatan diajukan kepada pengadilan; sekiranya barang itu telah dipindahtangankan, maka wajiblah dikembalikan harganya pada saat gugatan diajukan, bersama buah dan hasil sejak saat itu.
Selain itu, ia wajib membayar ganti rugi kepada penghibah atas hipotek dan beban lain yang telah diletakkan olehnya di atas barang tak bergerak yang dihibahkan itu, termasuk yang diletakkan sebelum gugatan diajukan. (KUHPerd. 1236, 1391 dst., 1444.) 

Pasal 1692.
Gugatan yang disebut dalam pasal 1691, gugur setelah lewat satu tahun, terhitung dari hari peristiwa yang menjadi alasan gugatan itu terjadi dan dapat diketahui oleh penghibah.

Gugatan itu tidak dapat diajukan oleh penghibah terhadap ahli waris orang yang diberi hibah itu; demikian juga, ahli waris si penghibah tidak dapat mengajukan gugatan terhadap orang yang mendapat hibah, kecuali kalau gugatan itu telah mulai diajukan oleh penghibah atau penghibah ini meninggal dunia dalam tenggang waktu satu tahun sejak terjadinya peristiwa yang dituduhkan itu. (KUHPerd. 1688-20 dan 30.) 

Pasal 1693.
Ketentuan-ketentuan bab irli tidak mengurangi apa yang sudah ditetapkan pada Bab VII dari Buku Pertama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini. (KUHPerd. 139 dst., 168 dst., 176 dst.)