HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Senin, 03 Juni 2013

JUSTICE COLLABORATOR

JUSTICE COLLABORATOR


Pengertian JUSTICE COLLABORATOR - Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu :
  1. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
  2. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.
  3. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
  • Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau
  • Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud
Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Demikianlah Pengertian JUSTICE COLLABORATOR, semoga menambah pengetahuan kita tentang hukum. Sekian dan terimakasih.

PEMERINTAH DAERAH ( PEMDA ) BERDASARKAN UUD YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA

PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UUD YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA


A. UU NO 1 TAHUN 1945 TENTANG KOMITE NASIONAL DAERAH
            Setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945    untuk pertama kalinya oleh PPKI sebagai landasan konstitusional ketatanegaraan.Pada saat itu   struktur dan sistem ketatanegaraan RI masih sangat sederhana bahkan banyak yang belum terbentuk kecuali Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI untuk sementara menetapkan berbagai hal tentang pemerintah daerah :
  1. Untuk sementara waktu, daerah negara Indonesia dibagi dalam 8 propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Propinsi-propinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.
  2. Daerah Propinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh Residen, Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND).
  3. Untuk sementara waktu, kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan sampai sekarang.
  4. Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan sampai sekarang.
Dari konfigurasi tersebut terlihat bahwa struktur dan sistem pemerintah daerah di Indonesia pada awal kemerdekaan masih sangat sederhana yaitu terdiri dari Propinsi, Keresidenan, Kooti, dan Kota ditambah KND.
Untuk mengefektifkan KND dalam membantu pemerintah daerah, pada tanggal 30 Oktober 1945  BP KNP mengeluarkan Rancanngan Undang-Undang (RUU) tentang kedudukan KND melalui pengumuman No. 2 dan disetujui pemerintah tanggal 23 Nopember 1945 yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1945 tentang KND yang hanya berjumlah 6 pasal.

Atas fakta tersebut tidak heran jika terdapat banyak kelemahan didalamnya, antara lain adanya dualistik pemerintah daerah, yaitu :

a.      Jenis pemerintah di daerah
Terdapat dua jenis pemerintah di daerah, yaitu pemerintah di daerah yang memilik KNID dan tanpa KNID.Pemerintah di daerah yang mempunyai KNID adalah pemerintah daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangga daerah (Keresidenan, Pemerintah Kota, Kabupaten dan daerah lain yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri).
Pemerintah di daerah lainnya seperti Propinsi,(kecuali Propinsi Sumatera), Kewedanaan, Kecamatan adalah daerah administratif belaka.


b.      Susunan pemerintah daerah ( otonom )
Ada dua penyelenggara pemerintahan dalam daerah otonom yaitu penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah (KNID, Badan Eksekutif Daerah dan Kepala Daerah) dan penyelenggara urusan pemerintah lainnya yang dilakukan Kepala Daerah.
Sifat dualistik terlihat dalam penjelasan Undang-undang  No. 1 tahun 1945 yang tetap mengakui dan memberlakukan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah (Desentralisasi) Hindia Belanda yang selalu bersifat dualistik yaitu membedakan antara peraturan perundang-undangan untuk Jawa-Madura dan untuk luar Jawa.
Sifat Dualistik ini sangat ditonjolkan sebagai salah satu kelemahan utama Undang-undang No.1 tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Kepala Daerah yang memimpin KNID dan Badan Eksekutif Daerah adalah pejabat pemerintah pusat di daerah.
Dalam penjelasan disebutkan Kepala Daerah adalah Ketua dan anggota badan eksekutif, sedangkan dalam hubungan dengan KNID (Badan Legislatif) Kepala Daerah hanya menjadi Ketua saja.Kedudukan Kepala Daerah dalam dua alat perlengkapan pemerintah daerah tersebut dapat diperkirakan mempengaruhi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena kedua badan (Eksekutif dan Legislatif daerah) berada pada pada satu tangan.
Disamping itu, Kepala Daerah sebagai pejabat pusat juga menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah pusat di daerah. Dengan kata lain bahwa dalam diri Kepala Daerah menyatu tugas, wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan semua urusan, baik urusan rumah tangga daerah maupun  urusan pemerintahan pusat di daerah.
Dengan struktur demikian, jelas kedudukan KDH adalah sangat dominan dan secara teoretik dan praktik penyelenggaraan pemerintahanh dapat dikatakan bergantung kepada kemauan KDH semata, sehingga pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi di daerah masih jauh dari harapan, begitu pula kontrol dari KDH hampir tidak terlihat sama sekali dan sangat lemah.
Oleh karena itu, wajar bila ada yang menyimpulkan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1945 mengandung beberapa hal :
1.   Disamping sifat dualistik dalam lingkungan pemerintahan daerah otonom, juga masalah yang mendasar adalah ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab daerah otonom. Ketidakjelasan urusan rumah tangga daerah otonom ini menyebabkan tidak terwujudnya otonomi Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
2.   Kepala Daerah sebagai pejabat pusat didaerah, juga sebagai kepala badan legislatif daerah / KND dan badab eksekutif daerah mempunyai kedudukan yang sangat dominan untuk mengendalikan pemerintahan daerah otonom agar berjalan sesuai dengan kebijaksanaan pusat.
3.   Dipersatukannya pimpinan pemerintahan otonom dalam diri Kepala Daerah ditambah ketidakjelasan urusan rumah tangga daerah sehingga akan mewujudkan kecenderungan penyelenggaraan  pemerintahan sentralistik dan memudarkan unsur-unsur desentralisasi.
4.   Daerah-daerah menjalankan sistem otonomi formal secara kolegial. Hal itu tersurat dalam ketentuan pasal 2 ”Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersama-sama dengan dan dipimpin Kepala Daerah  menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih luas dari padanya.  
5.   Hubungan antara DPRD dengan Badan Eksekutif Daerah dikepalai oleh Kepala Daerah menunjukkan betapa kuatnya  Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat yang juga mendominasi dua lembaga (organ) daerah lainya (DPRD dan Badan Eksekutif Daerah).        


B.         UU RI NO.22 TAHUN 1948 TENTANG POKOK PEMERINTAH DAERAH
            Menyadari bahwa Undang-undang No.1 tahun  1945 masih jauh dari kesempurnaan dan harapan sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahan daerah yang berkedaulatan rakyat. Hal itu termuat dalam penjelasan umum Undang-undang No. 22 tahun 1948 sebagai berikut :
  1. Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat merasa akan pentingnya untuk segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang kolegial berdaswarkan kedaulatan rakyat (Demokrasi) dengan ditentukan batas-batas kekuasaannya.
  2. Karena kesederhanaan Undang-undang No. 1 tersebut, kewajiban dan pekerjaan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengatur rumah tangganya sendiri tidak dapat diatur oleh pemerintah pusat dengan baik. Karena itu DPRD tidak mengetahui batas-batas kewajibannya dan bekerja ke arah yang tidak tentu. Dewan itu lebih memperhatikan soal-soal politik mengenai beleid pemerintah pusat daripada kepentingan daerahnya.
c.   Pemerintah Kabupaten, Kota, Keresidenan dan desa yang berotonomi masih meneruskan seperti era penjajahan, sehingga belum memberikan manfaat yang banyak terhadap kepentingan rakyat / daerahnya.
Didaerah-daerah, pemerintahan daerah masih dualistis sebagaimana pada jaman yang lampau, yang harus selekas mungkin dihindarkan dan pemerintahan kolegial yang berdasarkan kedaulatan rakyat dapat dilahirkan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar bahwa pentingnya Undang-undang No. 22  tahun 1948 tentang
pemerintahan daerah, selain sebagai pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1945 yang sangat sederhana dan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda bersifat sentralistis, juga untuk memenuhi tuntutan akan pemerintahan kolegial yang demokratis beserta pengaturan-pengaturan lainnya yang belum sempat diatur dalam UU sebelumnya.
Didalam Undang-undang ini dikenal dua jenis daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah istimewa yang keduanya berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) yang merumuskan bahwa DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dan hal-hal yang masuk urusan rumah tangganya ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya, maka termuat didalamnya tentang kewenangan DPRD Untuk melakukan pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerahnya.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, DPRD mengeluarkan berbagai bentuk produk hukum yaitu ”Putusan”, ”Ketetapan”, ”Peraturan”, ”Pedoman”, ”Usul”, ”Menunjuk”, ”Mengatur dan Mengurus”, ”Mengatur atau Peraturan”, ”Peraturan-Peraturan”, atau ”Peraturan Daerah”, ”Keberatan dan ”Pembelaan”.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang masih ada dari UU tersebut, tetapi dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 merupakan salah satu upaya dalam rangka penataan pemerintahan daerah yang demokratis dibandingkan yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1945.


C.         UNDANG-UNDANG NIT NO. 44 TAHUN 1950 TENTANG PEMERINTAHAN INDONESIA TIMUR
            Beberapa hari sebelum tercapainya persetujuan antara negara RI (Yogyakarta) dengan pemerintah  RIS yang juga bertindak atas nama NIT dan NST untuk membentuk negara kesatuan dan untuk menyesuaikan pemerintahan daerah dengan keadaan yang akan datang pada tanggal 15 Mei 1950 ditetapkan Undang-undang No. 44 tahun 1950 yang disebut dengan nama UU Pemerintahan  Daerah-daerah Indonesia Timur. Undang-undang No. 44 tahun 1950  sengaja dipersiapkan dan ditetapkan untuk menyongsong pembentukan atau reintegrasi Negara Kesatuan terutama penyesuaian bentuk ketatanegaraan  wilayah NIT terhadap bentuk negara kesatuan.
            Berhubung RUU ini disusun  dengan sangat tergesa-gesa dan mengoper saja apa yang terdapat  didalam Undang-undang No. 22 tahun 1948, sehingga isinya tidak jauh berbeda dengan Undang-undang No. 22 tahun 1948 kecuali  terdapat perubahan seperlunya seperti :
1.   Susunan penamaan daerah.
2.   Sebutan  resmi untuk DPD adalah Dewan Pemerintah dan keanggotaannya diambil dari bukan anggota DPRD.
3.   Jumlah anggota DPRD tidak semata-mata berdasarkan jumlah penduduk, juga mempertimbangkan  luasnya otonomi, kekuatan keuangan, dan suasana politik.
4.   Penolakan pengesahan terhadap putusan DPRD bagian dan anak bagian, keberatan dapat diajukan  kepada Pemerintah Agung, sedangkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 diajukan kepada DPD setingkat lebih atas dari DPD yang menolak.
5.   Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950 tidak mengatur tentang Sekretaris Daerah dan pegawai daerah, siapa mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan, pajak dan keuangan daerah, sedangkan anggaran pendapatan dan belanja hanya diulas sekilas dalam penjelasan.
      Kemiripan dan kesamaan substansi materi antara dua Undang-undang tersebut terjadi pula dalam hal kewenangan DPRD juga kewenangan Kepala Daerah.


D.         UU NO. 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH 
            Dalam rangka menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UUDS 1950, pemerintah menganggap perlu untuk mengundangkan sebuah peraturan perundang-undangan pemerintah daerah yaitu Undang-undang No. 1tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Dearah. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 131 UUDS 1950 yang berbunyi :
1.   Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang erhak mengurus rumah tangganya sendiri, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan  dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
2.   Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri
3.   Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Pasal 131 UUDS 1950 ini hanya mengatur dasar-dasar desentralisasinya yang tidak bermakna ganda sebagaimana Pasal 18 UUD 1945, yang selain memuat dasar-dasar desentralisasi juga memuat dasar dasar dekonsentrasi, khususnya yang terdapat dalam penjelasannya.
Dalam mewujudkan kedudukan DPRD sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam pemerintahan daerah, DPRD mempunyai beberapa kewenangan.
Berpedoman pada beberapa kewenangan dimaksud, terlihat bahwa kewenangan DPRD berdasrkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 lebih luas bila dibandingkan dengan UU terdahulu. Bahkan didalam UU ini tidak ada pengaturan pengawasan pemerintah terhadap keputusan-keputusan daerah tingkat II dan III sebab MDN hanya dapat mengawasi secara langsung sampai pada batas daerah tingkat I. Akibatnya muncul kekhawatiran akan tumbuh suburnya daerahisme yaitu semangat menempatkan kepentingan daerah diatas kepentingan nasional.
            Selanjutnya kewenangan DPD / Kepala Daerah adalah terletak dalam wilayah kekuasaan eksekutif yang merupakan pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah ditetapkan oleh DPRD. Untuk menjalankan kewenangan tersebut DPD dapat juga diserahi beberapa kewenangan dibidang perundang-undangan dalam rangka menjalankan peraturan daerah, misalnya diberikan pula kewenangan di bidang legislatif , meskipun hanya terbatas pada pembuatan peraturan.
Disamping itu DPD memiliki kewajiban memberikan keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD sebagai konsekwensi dari kewenangan yang telah diberikan oleh DPRD dimaksud. Meskipun Undang-undang No.1 tahun 1957 ini dapat dikatakan sebagai UU yang cukup demokratis dengan meletakkan beberapa kewenangan yang cukup kuat terhadap DPRD,disisi lain DPD diberikan fungsi kontrol yang seakan-akan meniadakan prinsip demokrasi tersebut.


E.         UU RI NO. 18 TAHUN 1965 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DAERAH 
            Undang-undang No. 1 tahun 1957 dan Undang-undang No. 18 tahun 1965 mempunyai persamaan mendasar yang bermaksud melaksanakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Akan tetapi keseluruhan urusan yang diselenggarakan oleh daerah otonomi pada dasarnya bersumber dari penyerahan urusan dari Pusat.Jadi inisiatif daerah dalam mengurus urusan-urusan tertentu hampir dapat dikatakan tidak ada.Hal ini antara lain disebabkan :
1.   Otonomi merupakan sesuatu yang baru bagi rakyat Indonesia.
2.   Kurangnya tenaga terampil dalam penyelenggaraan otonomi
3.   Keuangan daerah tetap bergantung kepada pusat.
Menurut Pasal 5 ayat (1),pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari kepala daerah dibantu oleh wakil kepala daerah dan badan pemerintah harian (BPH).Susunan yang demikian memperlihatkan bahwa didalam UU ini terdapat dua jabatan yang membantu kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari yaitu wakil kepala daerah dan BPH.Walupun keduanya menyandang posisi sebagai pembantu kepala daerah, terdapat perbedaan yang sangat prinsipil yaitu bahwa kata ’dibantu’ pada wakil kepala daerah secara otomatis dapat melakukan kewenangan-kewenangan kepala daerah jika kepala daerah tidak dapat melaksanakan  kewenangannya juga dapat menggantikan posisi kepala daerah  jika kepala daerah meninggal dunia atau diberhentikan (berhalangan tetap) sementara BPH tidak demikian. 
            Sebagai realisasi dari ketentuan yang memberikan pemusatan kewenangan pemerintah daerah
kepada kepala daerah, tentu kepala daerah menjadi pusat daya upaya kegiatan pemerintah daerah yang bergerak dibidang urusan rumah tangga daerah dan menjadi mata rantai yang kuat dalam organisasi pemerintah pusat. Dengan kata lain bahwa kewenangan DPRD tidaklah begitu penting karena UU tersebut menganggap DPRD bukanlah pemegang kekuasaan yang utama dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
            Kedudukan kepala daerah adalah sebagai alat pemerintah pusat dan sebagai alat pemerintah daerah dan mempunyai kewenangan masing-masing.
Dalam melaksanakan kewenangannya, sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH). Tugas BPH ini memberikan pertimbangan kepada kepala daerah baik diminta atau tidak, dan menjalankan tugas yang diberikan oleh kepala daerah, sehingga institusi BPH ini hanya bersifat penasehat belaka. Oleh karena itu sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintah daerah baik dibidang urusan rumah tangga daerah maupun dibidang pembantuan.


F.         UU NO. 5 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DI DAERAH
            Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara wilayah NKRI dibagi atas daerah-daerah otonom dan wilayah administratif. Adanya wilayah administratif ditandai dengan adanya/dibentuknya instansi pusat (Kanwil,Kandep) dari level propinsi hingga kabupaten/kota. Susunan teritorial daerah menggunakan sistim daerah bertingkat, Provinsi sebagai Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II.
            Didalam Undang-undang No. 5 tahun 1974, prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya telah ditinggalkan dan diubah menjadi prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dan dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi bukan sekedar pelengkap terhadap asas desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Selain itu yang menarik dari UU ini adalah dari penamaan judul tentang ”Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah”. Penamaan yang terdapat dalam UU pemerintah daerah yang pernah berlaku sejak tahun 1948 bernama UU tentang Pokok Pemerintah Daerah, tanpa imbuhan ”Di” untuk menunjukkan bahwa UU ini tidak semata-mata mengatur mengenai desentralisasi, dengan kata lain tidak hanya mengatur tentang pemerintahan otonom dan medebewind juga mengatur tentang pemerintahan dekonsentrasi.
            Dalam UU ini, yang dimaksud dengan pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan rekyat daerah. Konstruksi yang demikian tercermin bahwa UU ini sebenarnya lebih mengutamakan kepala daerah dibanding DPRD.
Asumsi yang demikian ada benarnya bila dicermati dari esensi Undang-undang No.5 tahun 1974 yang mendudukkan fungsi-fungsi kepala daerah begitu kuat dan dominan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibandingkan DPRD, baik dalam hal proses pencalonan dan pengangkatannya, pertanggungjawaban dan kewenangan-kewenangannya maupun  dalam hal fungsinya sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah Administratif sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 81 yakni sebagai penguasa tunggal.
            Dalam tataran teoretik yuridik memang disebutkan  bahwa antara kedua lembaga tersebut memiliki pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif, tetapi dalam praktiknya ternyata Kepala Daerah lebih mendominasi dan seolah-olah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada DPRD.


G. UU NO. 22 TAHUN  1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
            Undang-undang No. 22 TAHUN 1999 merupakan upaya terus menerus untuk menata sistem pemerintahan di Indonesia yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demoktratisasi di daerah. Oleh sebab itu didalam UU ini terdapat beberapa perbaikan dan perubahan antara lain menguatnya peran dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah terhadap DPRD dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi di daerah.
            Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 menganut paham pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Hal-hal yang bukan merupakan wewenang Pemerintah Pusat dengan sendirinya menjadi wewenang Pemerintahan daerah. Hal tersebut mirip dengan paham negara federal yaitu hal-hal yang bukan kewenangan konstitusional negara federal dengan sendirinya menjadi kewenangan negara bagian.
            Dalam Undang-undang No.22 tahun 1999 menghapus hierarki antara pemerintah kabupaten / kota  dengan propinsi. Pemerintah kabupaten / kota bukanlah daerah bawahan dari propinsi. Penghapusan hierarki ini sekaligus mengikis birokratisasi pelaksanaan pemerintahan yang pada akhirnya akan menciptakan efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Hubungan antara provinsi dengan kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak memiliki hubungan hirarki (tidak bertingkat).
            Undang-undang No. 22 tahun 1999 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah Kabupaten dan Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah propinsi.
            Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan DPRD dan Kepala Daerah yaitu dimulai dari Undang-undang No. 1 tahun 1945 sampai Undang-undang No. 22 tahun 1999 dapat dinyatakan bahwa bila di analisis berdasarkan teori pembagian kekuasaan, terlihat dengan jelas bahwa kewenangan kedua organ pemerintahan daerah tersebut belum seimbang  dan tidak jarang terlihat monopoli salah satu organ atas organ lainnya. Kenyataan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori demokrasi.
Didalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 kewenangan Kepala Daerah mulai dikurangi, bahkan sebaliknya DPRD yang mempunyai kewenangan yang cukup kuat. Namun penguatan peran dan fungsi DPRD yang semula diharapkan dapat menghidupkan demokrasi dan desentralisasi dalam rangka perwujudan otonomi yang seluas-luasnya ternyata disalahtafsirkan serta disalahgunakan oleh sebagian besar para anggota DPRD. Akibatnya demokrasi menjadi kebablasan kearah arogansi, sementara pengawasan yang lemah dari pemerintah pusat terhadap DPRD dan Pemerintah Daerah menambah terbengkalainya program otonomi daerah, sehingga kepentingan rakyat selalu menjadi korban.
Atas pengalaman sejarah yang mengecewakan tersebut terasa betapa urgennya pemahaman dan penerapan pembagian kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan yang demokratis dilaksanakan secara proporsional yang dilandasi dengan semangat keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan setidaknya secara teoretik akan membuka peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus memperkuat pelaksanaan desentralisasi, demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka negara kesatuan yang sejahtera, adil dan teratur.


H.         UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
            Tiga alasan utama mengenai perubahan / revisi secara mendasar terhadap Undang-undang No. 22 tahun 1999 yaitu :
1.   Alasan hukum berupa amandemen kedua, khusus terhadap Pasal 18 UU RI tahun 1945.
2.   Alasan administratif berupa keadaan ”terlampau luasnya rentang kendali antara pemerintah pusat terhadap kabupaten / kota.
3.   Alasan empiris berupa keadaan / kejadian timblnya masalah aktual  yang dapat mengganggu kegiatan berbangsa serta berpemerintahan dengan berbagai problematika Otonomi Daerah.
            Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 mengenal hubungan bertingkat antara provinsi dan kabupaten/kota. Urusan-urusan kabupate/kota juga merupakan bagian dari urusan-urusan provinsi.
            UU ini meletakkan aspek demokrasi dan peran serta masyarakat secara mendasar dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.Karena itu fungsi dan peran DPRD dipisahkan secara tegas dengan fungsi dan peran Pemerintah Daerah, yang mana dengan UU sebelumnya sangat jelas berlawanan. Undang-undang No. 22 tahun 1999 mengatur Kepala Daerah Kabupaten / kota dipilih oleh DPRD tanpa melalui persetujuan Menteri Dalam Negeri dan atau Presiden. Sementara untuk Gubernur karena fungsi gandanya sebagai kepala daerah propinsi dan wakil pemerintah pusat , nama-namacalon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan Presiden. Bupati / Walikota dan Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD dan tidak kepada Menteri Dalam Negeri atau Presiden.
Sementara itu seiring dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 Kepala Daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD  melainkan melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh masyarakat. Dengan demikian Kepala Daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD tetapi bertanggungjawab kepada rakyat. Dalam pelaksanaan tugas kepala daerah menyampaikan laporan petanggungjawaban kepada Pemerintah (pusat) dan menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban (LKP) kepada DPRD.
            Demikian pula Undang-undang No.32 tahun 2004 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah Kabupaten dan Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah propinsi. Undang-undang No.32 tahun 2004 tidak lagi mengenal paham pembagian wewenang tetapi penyerahan/pelimpahan tugas dalam bentuk urusan wajib dan urusan pilihan. Dengan demikian semua kewenangan pemerintah daerah dan kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administratif tetapi dalam konteks politis, dimana pemerintah daerah kabupaten dan kota berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri.

HUKUM ACARA PIDANA

Hukum Acara Pidana


Hukum acara pidana dan hukum pidana adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Hukum pidana dapat ditegakkan apabila hukum acara pidana juga dapat diselenggarakan dengan baik. Keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga hukum acara pidana dapat dikatakan sebagai alat untuk menegakkan hukum pidana.

Pengertian Hukum Acara Pidana

Hukum acara pidana adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara sebagai dasar dan aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur seperti apa sehingga ancaman pidana pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan ketika seseorang telah disangkakan melakukan perbuatan pidana. Pengertian hukum acara pidana tersebut merupakan pengertian hukum acara pidana yang diberikan oleh Prof Mulyatno.
Berdasarkan pengertian hukum acara pidana tersebut, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum acara pidana keseluruhan ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan pidana serta prosedur penyelesaian suatu perkara pidana, yang meliputi proses pelaporan dan pengaduan hingga penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan hingga lahirnya putusan pengadilan dan pelaksanaan suatu putusan pidana terhadap suatu kasus pidana.

Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana

Hukum acaraa pidana memiliki beberapa fungsi, antara lain adalah fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam hukum acara pidana adalah adanya upaya untuk menegakkan ketentuan pidana dan melaksanakan hukum pidana. Penegakan ketentuan pidana berarti pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam hukum pidana terhadap suatu perbuatan pidana.
Sementara fungsi preventif dalam hukum acarra pidana adalah fungsi pencegahan dan upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi preeventif dalam hukum acara pidana ini dapat berjalan dengan baik apabila seluruh proses hukum acara pidaana dapat diselenggarakan dengan baik pula agar dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam masyarakat.
Tujuan hukum acara piidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum accara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan untuk selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Sabtu, 01 Juni 2013

TATA CARA PENDIRIAN KOPERASI

Tata Cara Pendirian Koperasi

 
TATA CARA
PENDIRIAN KOPERASI
I.      DASAR HUKUM
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akte Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar;
  2. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 01/Per/M.KUKM/I/2006 tanggal 9 Januari 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi;
  3. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 98/Kep/KEP/KUKM/X/2004 tanggal 24 September 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akte Pendirian Koperasi;
TAHAPAN PENGAJUAN KOPERASI YANG BERBADAN HUKUM
  1. RAPAT PEMBENTUKAN
  2. PENGAJUAN BERKAS PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN KOPERASI
  3. PENINJAUAN LAPANGAN
1.      RAPAT PEMBENTUKAN
  • a. Koperasi Primer dihadiri minimal 20 orang, dan untuk Koperasi Skunder minimal 3 (tiga) Koperasi yang telah berbadan hokum yang diwakili oleh kuasanya.
  • b. Dihadiri Pejabat Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Kota Semarang;
  • c. Yang dibahas dalam rapat tersebut antara lain :
  • 1) Nama dan kedudukan koperasi;
  • 2) Keanggotaan;
  • 3) Usaha yang akan dijalankan;
  • 4) Permodalan;
  • 5) Pemilihan Pengurus dan Pengawas;
  • 6) Konsep Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga;
2.      PENGAJUAN BERKAS PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN KOPERASI.
PERSYARATAN :
  • a. Permohonan Pengesahan Akte Pendirian Koperasi bermeterai Rp. 6.000,-
  • b. Petikan Berita Acara Rapat Pendirian/Pembentukan Koperasi;
  • c. Neraca Awal;
  • d. Tanda Bukti Setoran Anggota
  • e. Daftar hadir Rapat Pembentukan.
  • f. Daftar Nama Pendiri;
  • g. Fotokopi KTP Pendiri;
  • h. Akte Pendirian dari Notaris;
  • i. Rencana Awal Kegiatan Usaha;
  • j. Biodata Pengurus dan Penagawas;
  • k. Surat Keterangan status Kantor;
  • l. Daftar Inventaris kantor
3.      PENINJAUAN LAPANGAN.
DICEK KE LAPANGAN (SEKRETARIAT KOPERASI) OLEH TIM BADAN HUKUM KOPERASI
HASIL TIM PENINJAUAN LAPANGAN :
  • a. Apabila sudah memenuhi persyaratan baik administrasi maupun kelengkapan di lapangan maka diterbitkan Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum.
  • b. Apabila ada kekurangan, untuk dilengkapi dahulu, sampai batas waktu paling lama 3 bulan, kalau lebih dari 3 bulan maka berkas dikembalikan kepada Koperasi.
 

Persyaratan Pengurusan SIUP, TDP, TDG & SIUP-MB

Persyaratan Pengurusan SIUP,TDP,TDG & SIUP-MB


A. Persyaratan umum
  1. Mengisi Formulir Surat Permohonan Izin (SPI)
  2. Copy Akte Pendirian Perusahaan & Akte perubahan (jika ada)
  3. Surat Kuasa di atas Materai & Stempel Perusahaan (jika di wakilkan)
  4. Copy KTP Dirut/Pemilik/Penanggung Jawab Perusahaan
  5. Copy NPWP Perusahaan Yang Alamatnya Sesuai Dengan Domosili Camat + Asli diPerlihatkan
  6. Copy Domisili Camat Setempat
  7. Izin Teknis dari Instansi Yang Bersangkutan / Surat Rekomendasi Sesuai Bidang Usahanya ( kecuali untk Siup-MB & TDG)
  8. Surat Ket. Kepemilikan atau Bukti Sewa Tempat Usaha
  9. Denah Lokasi Perusahaan / Tempat Usaha
  10. Neraca Perusahaan Asli + Cap Perusahaan (kecuali untuk TDG)
  11. Pas Photo Warna Ukuran 3 x 4 cm = 4 Lembar (baju kemeja)










PROSEDUR PENGURUSAN SERTIFIKAT TANAH

Prosedur Pengurusan Sertifikat Tanah

prosedurnya adalah sebagai berikut:
-         Anda ke Kantor Pertanahan setempat, dalam hal ini Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan, untuk mengajukan permohonan hak. Dalam hal ini, Anda melampirkan:
  1. identitas diri Anda dan Kakek Anda (KTP, Akta Perkawinan-kalau ada, dan Kartu Keluarga Anda dan kakek Anda),
  2. akta hibah (sebagai bukti peralihan hak),
  3. bukti-bukti penguasaan tanah yang dipunyai kakek Anda dahulu,
  4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
  5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
  6. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
  7. surat keterangan belum bersertipikat, surat keterangan riwayat tanah, dan surat keterangan tidak sengketa, 
-         Kemudian, menandatangani permohonan-permohonan sesuai formulir yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional. Kemudian, karena hibah dilakukan antara keluarga dalam garis lurus (kakek Anda dan Anda), maka untuk menunjukkan hal tersebut sehingga Anda tidak perlu membayar PPh, maka dilampiri;
  1. Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB) dari Kantor Pajak setempat,
  2. Akta Perkawinan kakek Anda,
  3. Akta Perkawinan orang tua Anda,
  4. Akta Kelahiran orang tua Anda, 
  5. Akta Kelahiran Anda,
  6. Apabila permohonan pensertipikatan dilakukan melalui jasa notaris/PPAT, juga melampirkan surat kuasa.
-         Kemudian akan dilakukan pengumpulan dan pengolahan data fisik, seperti pengukuran oleh Kantor Pertanahan setempat. Juga dilakukan pengumpulan dan pengolahan data yuridis oleh Kantor Pertanahan setempat, berdasarkan bukti-bukti yang Anda miliki seperti tersebut di atas.
-         Setelah diukur, diteliti dan dimohon sertipikat, akan keluar Surat Keputusan Pemberian Hak. Pada SK Pemberian Hak tersebut akan dicantumkan bahwa untuk tanah Anda akan diberikan status sebagai tanah hak milik, harus membayar pemasukan kepada negara, dan mungkin juga membayar PPh dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sesuai yang tercantum dalam SK. Untuk Adapun besarnya pemasukan kepada negara adalah 2% x Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah.
-         Setelah ketentuan dalam SK Pemberian Hak dipenuhi, maka Kantor Pertanahan akan menerbitkan sertipikat.

 
Dasar hukum:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
  2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional
  4. Peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan, seperti peraturan mengenai pajak.


    Semoga Bermanfaat :)

Kamis, 30 Mei 2013

Penyertaan Dalam Hukum Pidana ( Deelneming )

Penyertaan Dalam Hukum Pidana ( Deelneming )

Dalam Hukum Pidana, diatur Pasal 55 dan 66 KUH Pidana:
1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.
 
1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
 
2. Doen Plegen
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.

3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.

 4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).

Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator

Istilah whistle blower dan justice collaborator kini kerap muncul dalam penanganan kasus korupsi di KPK. Istilah keduanya dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Dalam SEMA disebutkan, whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.

Dalam SEMA dijelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu tersebut. Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.

Sedangkan Ayat (3) pasal tersebut adalah, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.

Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes). Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi UU No. 7 Tahun 2006 dan meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional menjadi UU No. 5 Tahun 2009.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, menjadi whistle blower maupun justice collaborator memiliki perlindungan berbeda satu sama lain. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal itu menyebutkan, whistle blower atau saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikan. Sedangkan justice collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya.

Untuk menyamakan visi dan misi mengenai whistle blower dan justice collaborator, dibuatlah Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peraturan Bersama tersebut mengatur tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Menurut Denny, terdapat empat hak dan perlindungan yang diatur dalam peraturan bersama ini. Pertama, perlindungan fisik dan psikis bagi whistle blower dan justice collaborator. Kedua, perlindungan hukum. Ketiga penanganan secara khusus dan terakhir memperoleh penghargaan.

Untuk penanganan secara khusus, terdapat beberapa hak yang bisa diperoleh whistle blower atau justice collaborator tersebut. Yakni, dipisahnya tempat penahanan dari tersangka atau terdakwa lain dari kejahatan yang diungkap, pemberkasan perkara dilakukan secara terpisah dengan tersangka atau terdakwa lain dalam perkara yang dilaporkan.

Kemudian, dapat memperoleh penundaan penuntutan atas dirinya, memperoleh penundaan proses hukum seperti penyidikan dan penuntutan yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan atau kesaksian yang diberikannya. Serta bisa memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau menunjukkan identitasnya.

Selain penanganan secara khusus, saksi sekaligus pelaku tindak pidana tersebut bisa memperoleh penghargaan berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk tuntutan hukuman percobaan. Serta memperoleh pemberian remisi dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila saksi pelaku yang bekerjasama adalah seorang narapidana. Semua hak ini bisa diperoleh oleh whistle blower atau justice collaborator dengan persetujuan penegak hukum.

Dalam kasus korupsi yang ditangani di KPK, setidaknya ada dua orang yang sudah disebut sebagai justice collaborator. Pertama, mantan Anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno yang divonis bersalah menerima suap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004. Agus sendiri sudah memperoleh pembebasan bersyarat sejak akhir Oktober tahun lalu.

Selain itu, Agus, mantan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang juga memperoleh label justice collaborator. Rosa sendiri telah divonis bersalah karena menyuap Sesmenpora Wafid Muharram dalam proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Kini, Rosa tengah menunggu pembebasan bersyarat. Sebelumnya, LPSK bersama KPK mengajukan permohonan agar Rosa diberikan pengurangan hukuman (remisi) yang diharapkan bisa berujung ke pembebasan bersyarat.

Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Parpol

Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Parpol
Yenti Garnasih ;  Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti
 
KORUPSI hampir selalu di lanjutkan dengan pencucian uang. Pemberitaan tentang penanganan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga dikaitkan dengan penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) No 8 Tahun 2010 semakin marak. Kasus demi kasus muncul, semakin menguatkan dugaan bahwa selalu ada praktik pencucian uang dalam perkara korupsi selama hasil korupsi telah dimanfaatkan atau dialirkan. Pelaku korupsi selalu menggunakan uang hasil korupsi untuk berbagai kegiatan, yang dalam konteks teoretis maupun konsep (ketentuan undang undang/UU) perbuatan mengalirkan hasil kejahatan inilah yang disebut sebagai tindak pidana pencucian uang.
Dalam hal terjadi tindak pidana pencucian uang terkait dengan korupsi, UU tidak hanya menjerat orang yang mengalirkan, tetapi juga pihak lain yang menerima. Dengan kata lain, dalam tindak pidana pencucian uang terdapat dua kriteria pelaku, yaitu pelaku aktif yaitu pihak yang mengalirkan hasil kejahatan (korupsi), dan pelaku pasif sebagai pihak yang menerima hasil korupsi. Pelaku aktif akan dijerat dengan Pasal 3 atau Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 3: Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua pu luh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4: Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Adapun pelaku pasif, yaitu orang yang menerima hasil kejahatan, akan terjerat Pasal 5 (1) yang berbunyi: Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

TPPU di partai?
Kasus dugaan korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan beberapa orang, baik dari partai, pengusaha, maupun pihak yang disebut sebagai makelar, membuat KPK memeriksa orang-orang yang diduga menerima dana aliran hasil korupsi. Hiruk pikuk pemberitaan proses hukum kasus tersebut bukan hanya karena dikaitkan dengan sejumlah orang yang menerima aliran dana dari Ahmad Fathanah, melainkan juga ada pengakuan dia dalam persidangan di pengadilan tipikor, yang menyatakan pernah menyumbangkan dana untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tentu saja pengakuan itu langsung disangkal sejumlah kader PKS, yang meyakini bahwa dana yang ada di partai ialah dana yang halal dan mereka tidak menerima sumbangan dari hasil korupsi. Namun, Ketua DPP PKS Mahfud Siddik mempersilakan proses hukum membuktikan ada tidaknya sumbangan itu, dan apakah masuk ke kas partai atau tidak.
Terlepas apakah ada bukti atau tidak bahwa ada dana Fathanah yang berasal dari hasil korupsi yang disumbangkan ke PKS, penting dipahami bahwa apabila suatu partai politik (parpol) ternyata terbukti menerima dana dari hasil korupsi, artinya parpol tersebut telah terlibat tindak pidana pencucian uang dan dapat dijerat dengan Pasal 5. Sebetulnya polemik sebelumnya juga sempat muncul ketika mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin menyatakan bahwa ada dana yang mengalir untuk suatu kegiatan pemiihan ketua umum.
Bila ada bukti adanya aliran dana hasil korupsi ke parpol, KPK harus memeriksa partai. Tidak mungkin KPK menyatakan akan memproses oknum saja, kecuali memang tidak ada bukti keterlibatan partai. KPK tidak bisa menyatakan hanya akan memproses oknum, bukan terhadap partai, kalau ternyata ada dana yang mengalir ke partai. Hal demikian karena UU TPPU mengatur korporasi sebagai subjek hukum, kecuali memang tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa ada dana yang masuk ke kas partai.
Ketentuan yang menyatakan bahwa korporasi ialah subjek hukum UU TPPU terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka ketentuan Pasal 1 angka 9: Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara itu, keterkaitan partai sebagai korporasi tercantum dalam Pasal 1 angka 10: Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa parpol merupakan subjek hukum dari UU TPPU. Dengan demikian, kalau ada bukti permulaan yang cukup bahwa ada aliran dana hasil korupsi yang masuk ke parpol, penyidik seharusnya memproses secara hukum. Sebetulnya ketentuan bahwa korporasi bisa menjadi subjek hukum bukan hanya dalam UU TPPU. Banyak UU yang mengatur hal tersebut, seperti UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Lingkungan Hidup. Bahkan UU No 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi sudah mengatur ten tang korporasi se bagai subjek hu kum pidana.

Harus didalami
KPK seharusnya mendalami semua informasi yang didapatkan. KPK juga harus mencari bukti-bukti penerimaan ke partai seperti yang dikatakan Fathanah, siapa yang menerima, bagaimana kapa sitas yang me nerima, apakah dia seorang pengurus yang dalam UU TPPU disebut sebagai pengendali korporasi, dan dia menerima sesuai dengan fungsinya sebagai pengurus partai itu (apakah posisi yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk mencari dana partai, hal ini bisa dilihat dalam AD/ ART, apa tugas pokoknya), apakah penerimaan sesuai dengan tujuan atau program partai, dan yang paling penting ialah apakah dana itu berasal dari korupsi.
Ketentuan yang harus diikuti dalam mencari atau mendalami ada tidaknya keterlibatan partai (parpol apa pun) dalam penerimaan dana hasil korupsi, sebagaimana telah diuraikan tadi, diatur dalam Pasal 6 ayat (2) yang berisi bahwa pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang: a) dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi; b) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; c) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
Apakah parpol dapat dibubarkan kalau terlibat TPPU? Bagaimana kalau suatu parpol ternyata terbukti di pengadilan menerima dana hasil korupsi (Pasal 5), atau bahkan terlibat ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4? Dalam Pasal 6 jelas diatur bahwa korporasi (parpol) dapat dijatuhi sanksi pidana. Hal itu tercantum sebagai berikut. (1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personel pengendali korporasi.
Bagaimana bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, itu dicantumkan dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Kemudian, apakah korporasi (dalam hal ini parpol) dapat dibubarkan, hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d. Dengan demikian, apakah parpol akan dijatuhi sanksi berupa pembubaran sangat bergantung pada putusan hakim. Sebab, penjatuhan pidana berupa pembubaran dan/atau pelarangan korporasi merupakan pidana tambahan yang bisa dijatuh kan bersamaan dengan pidana pokok sesuai ayat (1) tersebut.
Secara keseluruhan, pidana tambahan tersebut, seperti yang tercantum pada Pasal 6 ayat (2), yaitu selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a) pengumuman putusan hakim; b) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; c) pencabutan izin usaha; d) pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; e) perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau f) pengambilalihan korporasi oleh negara.
Bahkan terkait dengan sanksi korporasi yang melakukan TPPU, perlu juga diperhatikan ketentuan Pasal 9 ayat (1): Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personel pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. 2) Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personel pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Dari ketentuan tersebut, seharusnya dipahami bahwa para pengurus korporasi (dalam hal ini parpol) yang terlibat TPPU akan terancam juga oleh sanksi pidana yang cukup berat.

Perlu diwaspadai
Negara harus mewaspadai pendanaan parpol dari praktik pencucian uang. Kita harus ingat bahwa hasil korupsi di negara ini yang ‘masih beredar’ sangat tinggi. Kerugian negara mencapai triliunan rupiah, dan yang sudah dirampas negara jumlahnya masih sangat kecil ketimbang yang dikorupsi. Dana tersebut sangat mungkin masuk pendanaan pemilu atau kegiatan parpol, dan ini sangat berbahaya bagi tegaknya demokrasi. Kalau itu terjadi, artinya kegiatan parpol digunakan sebagai sarana pencucian uang.
Kekhawatiran itu bukan sesuatu yang mengada-ada, karena kewaspadaan adanya hasil korupsi masuk kegiatan parpol sudah sering dibicarakan dan harus diantisipasi. Misalnya saja seperti yang ditekankan pada suatu strategi internasional yang tertuang dalam Common Rules against Corruption in the Funding of Political Parties and Electoral Campaigns, atau Framework Principles on Promoting Good Governance and Combating Corruption.
Dari dua dokumen tersebut diingatkan betapa berbahayanya bila hasil korupsi masuk kas keuangan parpol. Selain itu, di dalamnya terdapat imbauan untuk melarang penggunaan hasil kejahatan, termasuk korupsi masuk kas partai dan juga harus ada konsep tentang transparansi penggunaan dana dan pembatasan jumlah sumbangan, serta adanya akses untuk menjamin keterbukaan pada publik (proscribe the use of funds acquired through illegal and corrupt practices to finance political parties and enshrine the concept of transparency in the funding of political parties by requiring the declaration of donation exceeding a specified limit).
Prakarsa internasional itu berangkat dari pemikiran bahwa biaya kampanye bisa sedemikian tinggi, dan hal itu juga mendorong parpol untuk tidak terlalu menghiraukan dari mana datangnya sumbangan. Selain itu, dana besar yang berasal dari hasil kejahatan juga akan memengaruhi sikap berpolitik para pelaku parpol.

Bila kita ingin pemerintahan negara ini bersih karena terbentuk melalui pemilu yang jurdil dan dibiayai dengan dana dari sumber yang bersih pula, tidak ada pilihan lain kecuali hukum harus ditegakkan, termasuk bila ada dana yang mengalir ke parpol.

ISTILAH P18, P19, P21 didalam PERKARA PIDANA

ISTILAH P18, P19, P21 didalam perkara pidana

               Didalam dunia hukum khususnya Pidana, sering kita mendengar istilah kode P18, P19 ataupun P21 baik di media masa maupun Media Elektronik. Kadang-kadang orang yang tidak mengerti arti dari kode-kode tersebut diatas hanya bertanya-tanya, dalam hal ini kami akan jelaskan  tentang kode-kode yang seringkali kita mendengarnya berdasarkan Peraturan Hukum yang berlaku. 
 
                Kode-kode tersebut didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Kode-kode tersebut adalah “ kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana.”
Lebih lengkapnya rincian dari kode-kode Formulir Perkara adalah:
P-1         Penerimaan Laporan (Tetap)
P-2         Surat Perintah Penyelidikan
P-3         Rencana Penyelidikan
P-4         Permintaan Keterangan
P-5         Laporan Hasil Penyelidikan
P-6         Laporan Terjadinya Tindak Pidana
P-7         Matrik Perkara Tindak Pidana
P-8         Surat Perintah Penyidikan
P-8A      Rencana Jadwal Kegiatan Penyidikan
P-9         Surat Panggilan Saksi / Tersangka
P-10       Bantuan Keterangan Ahli
P-11       Bantuan Pemanggilan Saksi / Ahli
P-12       Laporan Pengembangan Penyidikan
P-13       Usul Penghentian Penyidikan / Penuntutan
P-14       Surat Perintah Penghentian Penyidikan
P-15       Surat Perintah Penyerahan Berkas Perkara
P-16       Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan       Perkara Tindak Pidana
P-16A    Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
P-17       Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan
P-18       Hasil Penyelidikan Belum Lengkap
P-19       Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi
P-20       Pemberitahuan bahwa Waktu Penyidikan Telah Habis
P-21       Pemberitahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap
P-21A    Pemberitahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap
P-22       Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-23       Surat Susulan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-24       Berita Acara Pendapat
P-25       Surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara
P-26       Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
P-27       Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penuntutan
P-28       Riwayat Perkara
P-29       Surat Dakwaan
P-30       Catatan Penuntut Umum
P-31       Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa (APB)
P-32       Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat (APS) untuk Mengadili
P-33       Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara APB / APS
P-34       Tanda Terima Barang Bukti
P-35       Laporan Pelimpahan Perkara Pengamanan Persidangan
P-36       Permintaan Bantuan Pengawalan / Pengamanan Persidangan
P-37       Surat Panggilan Saksi Ahli / Terdakwa / Terpidana
P-38       Bantuan Panggilan Saksi / Tersngka / terdakwa
P-39       Laporan Hasil Persidangan
P-40       Perlawanan Jaksa Penuntut Umum terhadap Penetapan Ketua PN / Penetapan Hakim
P-41       Rencana Tuntutan Pidana
P-42       Surat Tuntutan
P-43       Laporan Tuntuan Pidana
P-44       Laporan Jaksa Penuntut Umum Segera setelah Putusan
P-45       Laporan Putusan Pengadilan
P-46       Memori Banding
P-47       Memori Kasasi
P-48       Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan
P-49       Surat Ketetapan Gugurnya / Hapusnya Wewenang Mengeksekusi
P-50       Usul Permohanan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
P-51       Pemberitahuan Pemidanaan Bersyarat
P-52       Pemberitahuan Pelaksanaan Pelepasan Bersyarat
P-53       Kartu Perkara Tindak Pidana
Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat bagi rekan-rekan yang membacanya juga untuk menambah pengetahuan bagi rekan-rekan semuanya.
Terima kasih

Selasa, 21 Mei 2013

SOSIOLOGI HUKUM


Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.
Menurut Brade Meyer
  • Sociology af the law – Menjadikan hukum sebagai alat pusat penelitian secara sosiologis yakni sama halnya bagaimana sosiologi meneliti suatu kelompok kecil lainnya. Tujuan penelitian adalah selain untuk menggambarkan betapa penting arti hukum bagi masyarakat luas juga untuk menggambarkan proses internalnya hukum.
  • Sociology in the law – Untuk memudahkan fungsi hukumnya, pelaksanaan fungsi hukum dengan dibantu oleh pengetahuanatau ilmu sosial pada alat-alat hukumnya.
  • Gejala social lainnya – Sosiologi bukan hanya saja mempersoalkan penelitian secara normatif (dassollen) saja tetapi juga mempersoalkan analisa-analisa normatif didalam rangka efektifitas hukum agar tujan kepastian hukum dapat tercapai.
Sejarah Lahirnya Sosiologi Hukum Sebagai Mata Kuliah
Sebelum tahun 1976 di Unpad lahir suatu mahzab yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja yang waktu itu sebagai Menteri Kehakiman dan Guru Besar Unpad diminta menyusun konsep hukum yang mendukung pembangunan oleh Bapenas, maka dari itu kemudian lahirlah konsep pembinaan hukum. Konsep pembinaan hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja diantaranya yaitu :
  1. Hukum tidak meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses didalam mewujudkan kaedah itu dalam kenyataan.
  2. Hukum adalah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya hukum.
Penjelasan :
  • Pada pengertian yang pertama kata kaedah mengandung makna yaitu Undang-undang Normatif Positivisme
  • Kata asas dan kaedah menggambarkan hukum sebagai gejala normative (hukum alam)
  • Kata lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai gejala social (sociological yurispudence)
  • Gejala social adalah gejala-gejala yang terdapat dalam masyarakat yang berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia (kemakmuran, kekuasaan, kedudukan, keadilan, kepastian, kegunaan dan kebahagiaan).
GBHN 1973 : Hukum tidak boleh menghambat proses pembangunan yang merupakan suatu proses yang menyangkut seluruh aspek-aspek kehidupan manusia.
GBHN 1978 : Hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan
Ex : Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat atau melarang adanya perkawinan anak-anak, hal tersebut merubah pemikiran masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.
GBHN 1983 : Hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat
Ex : Dalam Undang-Undang Hak Cipta, dimana hal tersebut merubah pemikiran masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.

Soiologi Hukum Sebagai Ilmu
Pada lahirnya sosiologi hukum dipengaruhi oleh 3 (tiga) disiplin ilmu, yaitu filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yang berorientasi dibidang hukum.
1Filsa. fat hukum
Konsep yang dilahirkan oleh aliran positivisme (Hans Kelsen) yaitu “stufenbau des recht” atau hukum bersifat hirarkis artinya hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya yaitu :
-          Grundnorm (dasar social daripada hukum)
-          Konstitusi
-          Undang-undang dan kebiasaan
-          Putusan badan pengadilan
Dalam filsafat hukum terdapat beberapa aliran yang mendorong tumbuh dan berkembangnya sosilogi hukum, diantaranya yaitu
  1. Mazhab sejarah, tokohnya Carl Von Savigny (hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh da berkembang bersama-sama masyarakat). Hal tersebut merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat, perkembangan hukum dari statu ke control sejalan dengan perkembangan masyarakat sederhana ke masyarakat modern.
  2. Mazhab utility, tokohnya Jeremy Bentham (hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia). Dimana manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan dan pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga-warga masyarakat secara individual). Rudolph von Ihering (social utilitarianism yaitu hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuan)
  3. Aliran sociological jurisprudence, tokohnya Eugen Ehrlich (hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat atau living law)
  4. Aliran pragmatical legal realism, tokohnya Roscoe Pound (law as a tool of social engineering), Karl Llewellyn, Jerome Frank, Justice Oliver (hakim-hakim tidak hanya menemukan huhum akan tetapi bahkan membentuk hukum)
2. Ilmu hukum
Yang mendukung ilmu soiologi hukum adalah ilmu hukum yang menganggap bahwa hukum itu adalah gejala social.
3. Sosiologi yang berorientasi dibidang hukum
Menurut Emile Durkhain mengungkapkan bahwa dalam masyarakat selalu ada solideritas social yang meliputi :
-          Solideritas social mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana dimana kaidah hukumnya bersifat represif (yang diasosiasikan dalam hukum pidana)
-          Solideritas social organis yaitu terdapat dalam masyarakat modern dimana kaidah hukumnya bersifat restitutif (yang diasosiasikan dalam hukum perdata).
Max Weber dengan teori ideal type, mengungkapkan bahwa hukum meliputi :
-          Irasionil materil (pembentuk undang-undang mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidahpun)
-          Irasionil formal (pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah diluar akan, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan)
-          Rasional materil (keputusan-keputusan para pembentuk undang-undnag dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa atau ideologi)
-          Rasional formal (hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum)

Kedudukan dan Letak Sosiologi Hukum Dibidang Ilmu Pengetahuan
Sosiologi adalah merupakan cabang dari ilmu hukum
Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum adalah cabang ilmu hukum yaitu ilmu hukum tentang kenyataan. Pendapat ini didasarkan pada pengertian tentang disiplin yaitu suatu ajaran tentang kenyataan yang meliputi :
-   Disiplin analitis : sosiologi, psikologi
-   Disiplin hukum (perspektif): ilmu hukum normative dan kenyataan (ilmu hukum kenyataan, sosiologi hukum, antropologi hukum
Hukum secara sosiologi  merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu himpunan nilai nilai, kaidah kaidah dari pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan kebutuhan pokok manusia dan saling mempengaruhi. Sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran pemikiran tersebut.
  • Aliran hukum alam (Aristoteles, Aquinas, Grotius)
−  Hukum dan moral
−  Keepastian hukum dan keadilan sebagai tujuan dari sistem hukum
  • Madzhab formalisme (austin, kelsen)
−   Logika hukum
−   Fungsi keajegan dari pada hukum
−   Peranan formal dari petugas hukum
  • Mazhab kebudayaan dan sejarah (Carl von savigny, Maine)
−   Kerangka budaya dari hukum, termasuk hubungan antara hukum dan sistem nilai nilai
−   Hukum dan perubahan perubahan social
  • Aliran utilitarianisme dan sociological jurisprudence (J. Bentham, Jhering, Eurlich, Pound)
−    Konsekuensi konsekuensi sosial dari hukum ( w. Friedman )
−    Penggunaan yang tidak wajar dari pembentuk undang undang
−    Klasifikasi tujuan tujuan mahluk hidup dan tujuan tujuan  social
  • Aliran sociological jurisprudence (Eurlich, Pound) dan legal realism (holmes, llewellyn, frank)
−    Hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial
−    Faktor faktor politis dan kepentingan dalam hukum, termasuk hukum dan stratifikasi sosial
−    Hubungan antara kenyataan hukum dengan hukum yang tertulis
−    Hukum dan kebijaksanaan kebijaksanaan hukum
−    Segi perikemanusiaan dari hukum
−    Studi tentang keputusan keputusan pengadilan dan pola pola perikelakuannya
Sosiologi hukum adalah merupakan cabang sosiologi
Menurut Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa sosiologi hukum adalah merupakan cabang sosiologi yaitu sosiologi bidang hukum.
Ilmu yang mempelajari fenomena hukum, dari sisinya tersebut dibawah ini disampaikan beberapa karakteristik dari studi hukum secara sosiologis
  • Memberikan penjelasan mengenai praktik praktik hukum baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat. Apabila praktik praktik tersebut dibedakan ke dalam pembuatan peraturan perundang undangan, penerapan dan pengadilan, maka sosiologi hukum juga mempelajari, bagaimana praktik yang terjadi pada masing masing kegiatan hukum tersebut.
  • Senantiasa menguji keabsahan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, apabila hal itu dirumuskan dalam suatu pertanyaan, pertanyaan itu adalah : bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?, apakah kenyataan memang seperti tertera pada bunyi peraturan? Terdapat suatu perbedaan yang bvesar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis yaitu bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada aturan hukum, sedang yang kedua senantiasa menguji dengan data empiris.
  • Berbeda dengan ilmu hukum, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Perilaku yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatian yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap penjelasan terhadap objek yang dipelajari. Sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata
Konsep-Konsep Sosiologi Hukum
1. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Control (Pengendalian Sosial)
Hukum sebagai sosiol control : kepastian hukum, dalam artian UU yang dilakukan benar-benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat
Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.

Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.

2. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering
Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.

Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.

3. Wibawa Hukum
Melemahnya wibawa hukum menurut O. Notohamidjoyo, diantaranya karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum Negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum.
Dalam artian sebagai berikut :
  • Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
  • Norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
  • Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
  • Pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum negara itu
  • Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hkum yang berlaku
4. Ciri-ciri Sistem Hukum Modern
Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan  prosedur yang ditentukan. Hukum yang baik harus dapat dimengerti atau dipahami oleh para pihak yang diaturnya.
Ciri ciri hukum modern :
−   Terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam
−   Sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin
−   Bersifat universal dan dilaksanakan secara umum
−   Adanya hirarkis yang tegas
−   Melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur
−   Rasional
−   Dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman
−   Spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian
−   Hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat
−   Penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya negara memonopoli kekuasaan
−   Perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga negara (eksekutif – legislative – yudicatif)
Ciri manusia modern :
-    Rasional
-    Jujur
-    Tepat waktu
-    Efisien
-    rientasi ke masa depan
-    Tidak status symbol (gengsi)

5. Suatu kenyataan bahwa hukum hanya diperlukan untuk mereka yang stratanya rendah sedangkan strata tinggi seolah kebal hukum.
Hingga saat ini banyak pelaku kejahatan kelas atas atau yang disebut kejahatan Kerah Putih (White Colour Crime) yang dihukum sangat ringan bahkan tidak sedikit yang divonis bebas, karena mereka memegang kekuasaan dan wewenang yang dapat mengintervensi para penegak hukum, hal ini berakibat bahwa mereka yang berstrata tinggi seolah kebal hukum dan sebaliknya hukum hanya dipergunakan untuk mereka yang berstrata rendah.

6. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi
Merupakan naskah yang berisikan sorotan sosial hukum terhadap peranan sanksi dalam proses efektivikasi hukum. Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Suryono efektifitas dari hukum diantaranya :
a. Hukum itu harus baik
-    Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat)
-   Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang bidang hukum tertentu harus sinkron)
-   Secara filosofis
b. Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku.
c. Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
d. Kesadaran hukum masyarakat
Syarat kesadaran hukum masyarakat :
  • Tahu hukum (law awareness)
  • Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)
  • Paham akan isinya (law acqium tance)
  • Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)
e. Budaya hukum masyarakat
Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku
Cara mengatasinya :
  1. Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
  2. Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
  3. Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan terhadap kerja lembaga lembaga negara.
7. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum
Sadar : dari hati nurani
Patuh : Takut sanksi yang negatif
Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.
Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.
  • kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Indicator kesadaran hukum :
  1. pengetahuan hukum
  2. pemahaman hukum
  3. sikap hukum
  4. pola perilaku hukum
  • kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengannn dukungan sosial
Faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum :
  • Compliance, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.
  • Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut
  • Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.
  • Kepentingan-kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada
Faktor penghambat perkembangan sosiologi hukum
  • Tidak samanya bahasa kerangka pemikiran yang digunakan antara ahli sosiologi dengan ahli hukum
  • Sulitnya bagi para sosiologi hukum untuk menempatkan dirinya dialam yang normatif
  • Pada umumnya para sosiolog dengan begitu saja menerima pendapat bahwa hukum merupakan himpunan peraturan-peraturan yang statis.
  • Kadangkala seorang sosiolog merasakan adanya kesulitan-kesulitan untuk menguasai keseluruhan data tentang hukum yang demikian banyaknya yang pernah dihasilkan oleh beberapa generasi ahli-ahli hukum
  • Para ahli hukum lebih memusatkan perhatian pada kejadian-kejadian konkret sedangkan para sosiolog menganggap kejadian konkret tersebut sebagai refleksi dari gejala-gajala atau kecenderungan-kecenderungan umum
Cabang Sosiologi Hukum (Soeryono)
  1. Paradigma (the genetic sociology of law)
−        Sampai sejauh mana hukum dapat mempengaruhi tingkah laku manusia
−        Bagaimanakah cara yang paling efektif dari hukum dala pembentukan perilaku
−        Apakah hukum yang membentuk perilaku atau sebaliknya
Contoh : UU Nomor 1 tahun1974 (kawin muda), UU Narkotika (orang tua diajak berpikir rational, petani diajak berpikir rational)
  1. Soiologi Teoritis dan Praktis
Sosiologi praktis
−        Sosiologi teoritis yaitu meneliti dasar sosial dari hukum positif tertulis
−        Mempelajari tentang tumbuh dan berkembangnya hukum positif tertulis
−        Lebih ditekankan pada penelitian bertujuan untuk mneghasilkan generalisasi atau hipotesa
Contoh : UU bagi hasil

Sosiologi praktis
−        Sosiologi praktis yaitu meneliti efektifitas dari hukum dalam masyarakat
−        Dapat menganalisa konstruksi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat
Contoh : Kasus pungutan liar, UU tentang pungutan tidak jalan
Hukum-gejala social yaitu UU Penanaman Modal
Hukum-politik yaitu UU Pemilu
Hukum-budaya yaitu UU Peerguruan Tinggi

2. Soiologis Empiris
Yaitu hipotesa dicocokan dengan keadaan yang sebenarnya atau melihat hukum yang erat kaitannya dengan gejala sosial lainnya.
Contoh : UU Nomor 1 tahun1974 pasal 2
UU Narkotika
UU Lingkunga hidup

Ruang lingkup Sosiologi Hukum
Dasar sosial dari hukum dengan anggapan bahwa hukum timbul dan tumbuh dari proses sosial lainnya (the genetic sociology of law)
Efek hukum terhadap gejala-gejala social lain (the operational sociology of law)
  • Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan modern sesuai dengan budaya masing-masing
  • Psikologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan jiwa manusia dengan tujuan penyerasian terhadap hukum
  • Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang memperbandingkan sistem hukum yang berlaku didalam satu atau beberapa mayarakat dengan tujuan melakukan pembinaan hukum
  • Sejarah hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum masa lampau (masa penjajahan kolonial belanda) sampai dengan sekarang dengan tujuan pembinan terhadap hukum
  • Politik hukum adalah memilih nilai-nilai dan menerapkannya dalam kehidupan
  • Nilai yaitu konsepsi abstrak dalam pikiran manusia tentang sesuatu hal yang baik atau buruk
  • Disiplin yaitu suatu ajaran yang menentukan apakah yang seharusnya atau seyogyanya dilakukan dalam menghadapi kenyataan
Perihal perspektif dari pada sosiologi hukum, maka secara umum ada dua pendapat utama, yaitu sebagai berikut :
  1. Pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa kepada sosiologi hukum harus diberikan suatu fungsi yang global, artinya sosiologi hukum harus menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai sarana organisasi sosial dan hukum sebagai sarana dari keadilan. Didalam fungsi tersebut maka hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi hukum didalam mengidentifikasi konteks sosial dimana hukum tadi diharapkan berfungsi.
  2. Pendapat-pendapat lain menyatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam bidang penerangan dan pengkaidahan, dimana sosiologi hukum dapat mengungkapkan data tentang keajegan-keajegan mana didalam masyarakat yang menuju pada pembentukan hukum (baik melalui keputusan penguasa maupun melalui ketetapan bersama dari para warga masyarakat terutama yang menyangkut hukum fakultatif).
Dari perspektif sosiologi hukum tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah sebagai berikut :
  • Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam konteks sosial.
  • Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana untuk mengubah masyarakat atau sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
  • Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum didalam masyarakat.
Manfaat mempelajari Sosilogi Hukum
Hal-hal yang dapat diketahui mempelajari sosiologi hukum
-   Sosiologi dan falsafah hukum (perencana dan penegak hukum)
-   Unsur kebudayaan yang mempengaruhi hukum
-   Golongan masyarakat yang mempengaruhi hukum
-   Golongan mana yang diuntungkan dan golongan mana yang dirugikan
-   Mengtahui kesadaran hukum dan dapat diukur frekuensinya
-   Mengetahui mentalitas dan perilaku penegak hukum
-   Mengetahui hukum yang dapat mengubah perilaku
-   Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap berfungsinya hukum
Kemampuan-kemampuan yang diperoleh setelah mempelajari Sosiologi Hukum
-   Memahami hukum dalam konteks sosialnya
-   Melihat efektivitas hukum baik social control maupun  social engineer
-   Menilai efektivitas hukum
Kegunaan Sosiologi Hukum Praktis bagi Praktisi Hukum
  • Kegunaan dalam menggunakan konkritisasi terhadap kaidah-kaidah hukum tertulis (referensial) yakni kaidah hukum, pedoman hukum yang menunjuk pada pengetahuan di luar ilmu hukum., Misal Pasal 1338 BW (Perencanaan dilakukan dengan itikad baik) dan Pasal 1536 BW (Onrecht matige daad atau perbuatan mmelawan hukum)
  • Dapat mengadakan konkritisasi terhadap pengertian-pengertian hukum yang tidak jelas atau kurang jelas.
  • Dapat membentuk dan merumuskan kaidah hukum yang mempunyai dasar sosial
  • Mampu merumuskan RUU dengan bahasa hukum yang mudah dicerna.
Ilmu hukum yaitu ilmu yang mencakup dan membahas segala hal yang berhubungan dengan hukum.
Metoda untuk meneliti hukum
  • Idiologis (melihat hukum sebagai nilai-nilai), filosofis, yuridis
  • Melihat hukum sebagai sistem atau pengaturan yang abstrak lepas dari hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut (dogmatis)
  • Sosiologis (melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat/efektivitas hukum)
Masalah yang di teliti Ilmu Hukum
  • Mempelajari asas-asas pokok dari hukum (filsafat hukum)
  • Mempelajari sistem formal dari hukum (sosiologi hukum dan dogmatik hukum)
  • Mempelajari konsepsi-konsepsi hukum dan arti fungsionalnya dalam masyarakat (sosiologi hukum)
  • Mempelajari kepentingan-kepentingan sosial apa saja yang dilindungi oleh hukum (sosiologi hukum)
  • Ingin mengetahui tentang apa sesungguhnya hukum itu, dari mana hukum datang atau muncul, apa yang dilakukannya dan dengan cara-cara atau sarana-sarana apa hukum malakukan hal itu ( sejarah hukum)
  • Mempelajari tentang apakah keadilan itu dan bagaimana keadilan itu diwujudkan melalui hukum (filsafat hukum)
  • Mempelajari tentang perkembangan hukum, apakah hukum itu, apakah sejak dulu sama denga sekarang, bagaimana sesungguhnya hukum itu berubah dari masa ke masa (sejarah hukum)
  • Mempelajari pemikiran-pemikiran orang mengenai hukum sepanjang masa (filsafat hukum)
  • Mempelajari bagaimana sesungguhnya kedudukan hukum itu dalam masyarakat, bagaimana hubungan atau kaitannya antara hukum dengan sub-sub sistem lain dalam masyarakat baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dsb (sosiologi hukum)