HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Minggu, 12 Mei 2013

Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim



Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim
(Lanjutan : UPAYA PERDAMAIAN)

Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Sesungguhnya tanpa harus menunggu permohonan hak ingkar dari pihak yang berperkara maupun dari ketua pengadilan, hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipuntelah bercerai. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak.
Apabila diketahui hakim yang akan menyidangkan terkait hubungan-hubungan sebagai mana tersebut di atas dengan pihak-pihak yang berperkara dan tidak mengundurkan diri, maka Ketua Pengadilan Agama harus memerintahkan hakim tersebut untuk mundur. Apabila hakim tersebut adalah ketua pengadilan sendiri, maka perintah pengunduran dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding, apabila hakim yang seharusnya mengundurkan diri masih tetap melakukan pemeriksaan dan sampai pada putusan, maka perkara harus segera diperiksa dan diputus ulang dengan susunan majelis yang berbeda, dan putusan yang telah terlanjur diucapkan menjadi batal demi hukum.

- Perubahan Gugatan
Perubahan bias berarti menambah, mengurangi bahkan bias jadi mencabut gugatan. Hal ini bias dilakukan penggugat, dengan ketentuan harus diajukan pada sidang pertama yang dihadiri pihak tergugat dalam persidangan, namun demikian harus ditawarkan kepada pihak tergugat untuk melindungi haknya, dikecualikan dalam hal pencabutan, yakni gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa, tetapi jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberikan jawaban, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat.
Perubahan yang bersifat menyempurnakan, menegaskan atau menjelaskan surat gugatan adalah diperbolehkan, demikian juga dalam hal mengurangi tuntutan, menurut putusan kasasi Nomor 209 K/Sip/1970 tanggal 6 Maret 1971, bahwa perubahan gugatan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum perdata, dengan catatan tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil, walaupun tidak ada tuntutan subsider.

Beberapa kemungkinan melakukan perubahandalam suatu gugatan adalah meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Perubahan Total, gugatan diubah baik mengenai positanya maupun petitumnya, hal ini tidak dibenarkan karena mengakibatkan tergugat merasa dirugikan haknya untuk membela diri.
2) Perbaikan, maksudnya adalah melakukan perbaikan surat gugatan yang menyangkut hal-hal yang tidak prinsip hanya terbatas mengenai format, titik, koma atau kata.
3) Pengurangan, mengurangipada bagian-bagian tertentu dalam posita ataupun petitumnya, hal ini diperbolehkan, sebagai contoh semula penggugat menuntut nafkah madhiyah dalam komulasi perkara perceraian, namun hal tersebut dihilangkan karena tidak inginberbelit-belit.
4) Penambahan, melakukan penambahan dalam positaatau petitumnya, hal ini sering terjadi di mana dalam positanya telah diungkap panjang lebar, namun pada petitumnya tidak terdapat tuntutan.

Perubahan gugatan bila dilakukan secara tertulis jugabisa dengan lisan di muka persidangan majelis hakim, perubahan bisa dilakukan sepanjang tergugat belum memberikan jawaban, apabila sudah memberikan jawabannya, maka tergugat berkesempatan untuk setuju atau tidak setuju. Perubahan tidak dibenarkan dilakukan setelah pembuktian, dimana tinggal menunggu putusan majelis hakim.
Apabila penggugat bersikukuh mempertahankan gugatanatau permohonan yang diajukan dan tidak melakukan perubahan dalam surat gugatannya serta tidak mau berdamai, maka sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.

- Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat bisa dilakukan secara tertulis dan bisa dilakukan secara lisan. Di dalam mengajukan jawaban, tergugat bisa hadir secara pribadi atau mewakilkan kepada kuasa hukumnya. Ketidakhadiran tergugat secara pribadi atau wakilnya dalam sidang, walaupun mengirimkan surat jawaban, maka dalam hal seperti ini hakim harus mengenyampingkannya, kecuali dalam hal jawaban berupa eksepsi atau tangkisan bahwa pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara itu.

Pada tahap jawaban tergugat, ada beberapa kemungkinan yang bias dilakukan tergugat, yakni :
a. Eksepsi
Adalah sanggahan atau perlawanan yang dilakukan pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak mengenai pokok perkara dengan maksud agar hakim menetapkan gugatan dinyatakan tidak diterima atau ditolak.
Penggugat yang mengajukan eksepsi disebut “excipien”. Ada 2 (dua) bentuk eksepsi, yakni dalam bentuk “prosesual eksepsi” (eksepsi formil) yakni eksepsi yang berdasar hukum formil dan dalam bentuk “materiil eksepsi” yaitu eksepsi dalam bentuk materiil.

b. Mengakui Sepenuhnya
Apabila seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan penggugat diakui sepenuhnya dalam tahap jawaban tergugat di persidangan, maka perkara dianggap telah terbukti dan gugatan dapat dikabulkanseluruhnya, dikecualikan dalam hal gugatan perceraian.
Khusus perkara perceraian, meskipun mungkin tergugat telah mengakui sepenuhnya mengenai alasan-alasan cerai yang diajukan penggugat, namun hakim tidak serta merta menerimanya, hakim harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai tersebut dengan alat bukti yang memadai. Hal ini mengingat bahwa :
1) Perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah. Karena meskipun perceraian itu telah mencapai suatu kondisi hukum yang halal karena telah mempunyai alasan-alasan yang cukup namun tetap dibenci oleh Allah SWT. Apalagi perceraian yang makruh lebih-lebih yang haram.
2) Undang-undang Perkawinan mempunyai prinsip mempersulit perceraian, karena begitu beratnya akibat perceraian yang terjadi baik bagi bekas suami maupun bekas isteri dan terutama bagi anak-anak mereka.
3) Untuk menghindari adanya kebohongan-kebohongan besar dalam hal perceraian tersebut.

c. Mengingkari Sepenuhnya
Jika tergugat dalam jawabannya mengingkari sepenuhnya dalam alasan-alasan yang diajukan penggugat dalam surat gugatannya, maka pemeriksaan dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai dapat dibuktikan sebaliknya.

d. Mengakui dengan Klausula
Jika alasan-alasan atau sebagian alasan gugatan diakui tergugat, maka pengakuan itu harus seutuhnya diterima dan hakim tidak boleh memisah-misahkan, dan pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana biasa.

e. Jawaban Berbelit-belit (Referte)
Jika tergugat memberikan jawaban berbelit-belit atau menyerahkan sepenuhnya (tidak mengingkari juga tidak mengakui) kebijakan majelis hakim, maka pemeriksaan berlanjut sebagaimana biasa.

- Rekonvensi
Diantara hak tergugat dalam berperkara di muka sidang adalah hak mengajukan gugat balik (rekonvensi) terhadap penggugat. Dalam hal demikian kedudukan tergugat dalam konvensi berubah menjadi penggugat dalam rekonvensi, sebaliknya penggugat dalam konvensi juga berubah menjadi tergugat dalam rekonvensi.


- Replik Penggugat
Tahapan berikutnya setelah tergugat menyampaikan jawabannya adalah menjadi hak pada pihak penggugat untuk memberikan tanggapan (replik) atas jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya. Kemungkinan dalam tahap ini penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau kemungkinan juga penggugat mengubah sikap dengan membenarkan jawaban atau membantah jawaban tergugat.

- Duplik Tergugat
Apabila penggugat telah menyampaikan repliknya, dan tergugat dalam tahap ini diberikan kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Isinya membantah jawaban sekaligus replik penggugat. Yang perlu diketahui bahwa acara jawab menjawab (replik-duplik) dapat diulangi sampai ada titik temu atau titik perselisihan antara penggugat dan tergugat, sebagai masalah pokok yang akan dibawa ke tahap pembuktian.

- Pembuktian
Pada tahap pembuktian, kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti diberikan kepada pihak penggugat maupun tergugat secara berimbang, biasanya dalam praktik perkara perceraian beban pembuktian lebih ditekankan ke[ada pihak penggugat / pemohon dimaksudkan untuk menguatkan gugatannya atau permohonannya.

- Kesimpulan (Konklusi) Para Pihak
Pada tahap kesimpulan (konklusi), baik pihak penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat sebagai kata akhir dalam proses pemeriksaan, kesimpulan tersebut sesuai dengan pandangan masing-masing pihak, disampaikan dengan singkat.

- Putusan atau Penetapan Hakim
Setelah melalui tahapan-tahapan dalam pemeriksaan, maka pada tahap akhir yang ditunggu-tunggu kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat adalah adanya putusan atau penetapan. Pada tahap ini hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertimbangan hukum (berdasar pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasan dan dasar hukumnya.

PUTUSAN PTUN ( Pengadilan tata usaha negara )




   PUTUSAN PTUN

1.         Proses memutuskan sengketa tata usaha negara
Putusan pengadilan harus mencerminkan 4 (empat) kriteria pokok dari asas-asas  peradilan yang baik sebagaimana diutarakan oleh de Waard (dalam Sidharta,1996: 332-333):

1)         Decisie bentrisel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang pantas. Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan gugatan (perkara), dan larangan bagi hakim untuk menolak mengadili/memeriksa perkara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

2)         Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak yang  berperkara berhak atas kesempatan membel diri dan bahwa kedua belah pihak juga.harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian dan memperoleh informasi..

3)         Onpgrtijdigheids beginsel (no bias), asas bahwa putusan dijatuhkan secara obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau anggota-anggota instansi peradilan, ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifat zakeiijk, ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari salah satu pihak atau di luar perkara dengan hakim, sehingga menyimpang dari prosedur semestinya.

4)         Motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision), .asas bahwa
putusan hakim harus memuat.alasan-alasan hukum yang jelas dan.dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada kebebasan dan diskresi untuk menentukan dan menjatuhkan putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti (controleerbaarheid).

Metode yang dipergunakan dalam musyawarah majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut adalah sebagai berikut (Pasal 97 ayat (3), (4), dan (5)):

1.         Prinsipnya adalah bahwa putusan yang dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, dengan perkecualian, jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat putusan diambil dengan suara terbanyak.

2.         Apabila musyawarah. majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, maka. permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majeiis berikutnya.

3.         Apabila musyawarah-majelis betikutnya tidak dapat diambil suara terakhir Hakim Ketua.Majelis yang.menentukan.

Putusan yang harus dihasilkan nmelalui musyawarah dengan prinsip Permufakatan bulat berkaitan dengan segi objektivitas putusan. Sudikno (1998: 54) berpendapat bahwa apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaidah hukum; maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).
Sebelum putusan dihasilkan, harus dicermati pula kemungkinan adanya Perubahan keadaan yang terjadi selama proses berjalan, yang sedikit banyak kiranya ada pengaruhnya terhadap putusan yang, akan dijatuhkan Pengaruh tersebut dapat diklasifikasikan atas (Indroharto, 1993: 120-121):

1.         Pengaruh penrbahan-perubahan keadaan tersebut terhadap penilaian atau pengujian yang harus dilakukan Pengadilan mengenai keputusan TUN yang digugat

2.         Pengaruh perubahan-perubahan keadaan tersebut terhadap putusan diktum yang dijatuhkan oleh Pengadilan.

Mengenai perubahan-perubahan keadaan tersebut perlu dibedakan antara:
1.         Perubahan mengenai peraturan yang berlaku  .
2.         Perubahan mengenai posisi-posisi hukum serta situasi kepentingan-kepentingan tertentu.
3.         Perubahan dalam kebijaksanaan Tergugat.

Pengertian istilah ruang tertutup untuk musyawarah majelis Hakim tersebut (Pasal 97 ayat 1), kiranya harus ditafsirkan demi objektivitas dan kemandirian Pengadilan dan tidak diartikan tertutup terhadap perkembangan keadaan sehubungan dengan sengketa yang akan diputus.

Sehubungan dengan upaya menemukan atau mencari hukumnya, tidak sekedar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret yang dicarikan hukumnya. Kegiatan tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Guna mencari atau menemukan hukumnya atau undang¬undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, perisHwa korilcrit itu hams diarahkan kepada undang-undangnya,sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan pedstiwanya yang konkrit (Mertokosumu, 1988: 60).

Diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dalam pembuatan putusan di PTUN, mengingat asas setiap putusan PTUN mempunyai kekuatan mengikat erge omnes, sesuai dengan karakter hukum publik sengketa tata usaha negara.
Prinsip penting yang harusdiperhatikan mengenai prosedur putusan pengadilan adalah putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat 1). Sanksi terhadap tidak dipenuhinya prinsip tersebut, putusan Pengadilan tersebut menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 108 ayat 3).
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang, salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.

Ditinjau dari prosesnya, putusan pengadilan dapat diklasifikasikan atas (bandingkan Pasa1185 ayat (1) HIR):

1.         Putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Putusan akhir ini terdiri dari: 

a. Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir). Putusan cundemnatair adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi: memberi, berbuat, dan tidak berbuat.

b.         Putusan akhir yang bersifat menciptakan. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan keadaan hukum.

c.         Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.

2. Putusan sela atau putusan antara (interlocutair vonis). “Putusan yang fungsinya adalah untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Macam-macam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah (Pasa197 ayat 7):

a.         Gugatan ditolak
Menolak gugatan berarti memperkuat keputusan badan atau pejabat administrasi negara.

b.         Gugatan dikabulkan    .
Mengabulkan gugatan. berarti tidak membenarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara, baik seluruhnya atau sebagian.

c          Gugatan tidak diterima           -           ,
Tidak menerima gugatan berarti gugatan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

d.         Gugatan gugur
Gugatan gugur, apabila (para) pihak atau (para) kuasanya, kesemuanya tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan dan telah dipanggil secara patut.  ,
Putusan akhir tersebut di atas, menurut sifatya dapat dibagi dalam 3
jenis, yaitu:

1.         Putusan yang bersifat pembebanan (condemnatoir). Putusan yang mengan-
dung pembebanan.
Misalnya.tergugat dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat. tergugat dibebani membayar ganti rugi atau melakukan rehabilitasi (Pasal 9 ayat 9 butir huruf a, b, q Pasai 47 ayat 10 dan 11).Contoh: surat pemberhentian pegawai dibatallcan dan melakukan rehabilitasi.

2          Putusan yang bersifat pemyataan (declaratoir).          .
Putusan yang hanya menegaskan suatu keadaan hukum yang sah. Misalnya: penetapan dismisal (Pasa162). Contoh gugatan tidak diterima atau tidak berdasarkan. Penetapan perkara diperiksa dengan acara cepat (Pasal 48). Beberapa perlu digabungkan atau dipisah-pisahkan dan lain-lain.

3.         Putusan yang bersifat penciptaan (constifutif).
Putusan yang melenyapkan suatu keadaan hukum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Misalnya tergugat selain dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat, juga dibebani kewajiban yang hams dilakukan oleh tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru (Pasal 97 ayat 9 huruf b).
Ditinjau dan kekuatan putusan. maka terdapat tiga macam kekuatan yang, terdapat pada putusan Hakim. yaitu:

-           kekuatan mengikat
Putusan Hakim yang telah bersifat tetap, tidak dapat digunakan upaya hukum lagi atau telah pasti memiliki kekuatan mengikat. Putusan Hakim di Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan mengikat erga omnes, artinya dapat berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

-           kekuatan eksekutorial .
Putusan Hakim yang telah berkekuatan tetap pada umumnya dapat dijalankan, sehingga disebut.. telah memiliki kekuatan eksekutorial.

-           kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuklian putusan Pengadilan itu sejajar dengan akta otentik, sehingga selalu diakui kebenarannya sepanjang telah berkekuatan hukum tetap

II.        Pertimbangan tentang hukumnya
a.         Analisis logika deduktif
b.         Memuat penilaian/pengujian yuridis hakim atas obyek sengketa.
c.         Merupakan sikap/pendirian hakim berdasarkan keyakinannya terhadap suatu sengketa tata usaha negara tertentu
d.         Konklusi dari perbedaan pendapat para pihak tentang legalitas Keputusan TUN.    .
e.         Didasari asas ius curia novit
f.          Dapat mengandung identifikasi AAUPB
g.         Merupakan penilaian tentang hubungan yuridis antara Keputusan TUN dengan kerugian yang ditimbulkannya. Hakim harus menentukan  batas-batas korelasi antara KTUN dengan kepentingan penggugat.
h.         Didalamnya mengandung prinsip pembebanan pembuktian

III.       Bab Mengadili

a.         Bersifat declaratoir dalam hal: 1). Penerimaan atau penolakan gugatan
dan Penilaian keabsahan Keputusan TUN obyek sengketa.
b. Bersifat candemnatoir terhadap: 1). Keberlakuan Keputusan TUN: kewajiban-tergugat untuk mencabut Keputusan TUN; 2). Pemberian ganti rugi dan/atau rehabilitasi; 3). Biaya perkara yang hams ditanggung oleh salah satu pihak dalam sengketa yang dikalahkan.
Berkaitan dengan metode pengingkaran tersebut, Malt sebagaimana dikurip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa Through disavowal, the court may avoid the feeling of doing politics, and may aid in keeping conflicts, also of values alive. But what it does is also in a away to close its eyes to the problem. A variant of the lex specialis principle will often be involved in the argumentation. Bila diterjemahkan maknanya adalah melalui pengingkaran, pengadilan dapat membantu dalam mempertahankan pertentangan, juga terhadap nilai-nilai, tetapi, apa yang dilakukan juga berada dalam suatu cara untuk menghindari permasalahan. Berbagai prinsip lex specialis akan sering terlibat dalam argumentasi.
Penafsiran kembali (reinterpretation) adalah langkah untuk mengatasi terjadinya antinomi/konflikantar norma hukum dengan cara hakim menafsirkan kembali suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penetapan suatu KTUN untuk memberikan solusi hukum atas terjadinya sengketa tata usaha negara. Sehubungan dengan penafsiran kembali (reinterpretation) tersebut, Malt sebagainiana dikutip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa this possibility has already been, mentioned several times before. A (hard) conflict, both logical and a pragmatical one, established after primary interpretation of the conflicting rules, can often be solved through a reinterpretation of the conflicting rules. Terjemahannya adalah bahwa sebuah konflik terbentuk setelah menafsirkan aturan-aturan utama yang berkonflik sering dapat dipecahkan melalui penafsiran kembali aturan-aturan itu.
Sehubungan pengertian pembatalan (invalidation), Malt sebagaimana dikutip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa invalidation as positively chosen solution is most practical as a result of applying the lex superior principle. Maknanya pembatalan yang dipilih secara positif karena paling prakfis sebagai suatu akibat penetapan pdnsip lex superior. Berdasarkan prinsip pembatalan tersebut, hakim tata usaha negara dapat membatalkan berlakunya suatu KTUN, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembatalan atas KTUN yang diuji di Peradilan TUN- tersebut dimaksudkan agar KTUN itu dapat disinkronisasikan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tinggi.oleh badan atau pejabat TUN yang membuat KTUN itu.

2.         Elemen-elemen Yang Harus Ada Pada Putusan
Sebagai syarat imperatif. Putusan Pengadilan harus memuat (Pasal 104 ayat 1);
a.         Kepala Putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Hal ini karena menumt Pasal 4 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004, peradilan dilakukan sesuai dengan bunyi rumusan kepala putusan tersebut. Title tersebut yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan sehingga dapat dilaksanakan.

b.         Nama, jabatan, Kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa.

c.         Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas ini membuktikan bahwa argumen-argumen yang dikemukakan kedua belah pihak sesuai dengan asas audi et alteram partem telah menjadi bagian dari putusan, dan secara adil serta objektif dijadikan dasar pertimbangan putusan.

d.         Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Pertimbangan (konsiderans) merupakan dasar dan putusan. Pertim-bangan dapat meliputi pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Sifat aktif Hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara tampak pada penilaian alat bukti sesuai dengan, asas pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 100 dan Pasal 107). Fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan selama pemeriksaan sengketa, juga memiliki relevansi terhadap penimbangan Hakim.       

e.         Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Harus dicantumkan argumen yuridis sehubungan dengan sengketa yang diperiksa. Pasal 14 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dad putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUNo. 48 Tahun 2009 diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion). Dissenting opinion merupakan perpaduan konsep rechtsstaat dengan angle saxon, karena semula hal itu bertumbuh dari konsep anglo saxon.

f.          Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
Amar (diktum) putusan merupakan tanggapan atau jawaban petitum. Amar putusan di Peradilan Tata Usaha Negara mengacu pada Pasa197 ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11) UU  Peradilan TUN.

g.         Closing statement
Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus nama panitem serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak. Selambat-lambatnya 30 hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan. Putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang. ApabiIa Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.

Hukum Perikatan dan Perjanjian




HUKUM Perikatan &  Perjanjian

1.   Perikatan
Dengan “perikatan” dapat kita maksudkan sebagai suatu hubungan hukum yang melekatkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya, yang lahir baik karena adanya suatu persetujuan maupun karena undang-undang. Sebagai konsekuensi bagi para pihak yang mengikatkan diri ataupun yang terikat dalam hubungan hukum ini adalah timbulnya apa yang dinamakan dalam dunia hukum dengan istilah “prestasi”, yaitu sesuatu yang dapat dituntut. Prestasi ini secara umum dapat di bagi menjadi tiga macam, yaitu prestasi untuk menyerahkan sesuatu; prestasi untuk melakukan sesuatu; dan prestasi untuk tidak melakukan sesuatu.
Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengertian perjanjian (overeenkomst). Dikatakan lebih luas karena perikatan itu dapat terjadi karena :
a.       Persetujuan para pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya…”. contohnya antara lain : perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kredit, perjanjian deposito, dan lainnya.
b.      Undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUH Perdata, perikatan itu dapat timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang karena perbuatan orang. Selanjutnya Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan bahwa perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Atas dasar kedua pasal tersebut, dapat dikemukakan contoh sebagai berikut :
1)      Dari undang-undang semata, misalnya Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2)      Dari undang-undang karena perbuatan :
a.       Halal (tidak melanggar hukum), misalnya zaakwaarneming atau perwakilan sukarela atau mewakili kepentingan orang lain tanpa diminta atau disuruh oleh orang itu, seperti yang dimaksud oleh pasal 1354 KUHPerdata : “jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut sehingga orang yang diwakili kepentingan dapat mengerjakan sendiri urusan itu…”. Misalnya, A bertetangga dengan B. Pada suatu saat A pergi ke luar negeri selama 3 bulan.  B sebagai tetangga, melihat pekarangan rumah A kotor, tidak terawat dan merusak pemandangan rumah B. Karena itulah B secara sukarela dengan tidak mendapatkan perintah dari A merawat dan membersihkan pekarangan  rumah A. Terhadap peristiwa seperti ini maka berdasarkan pasal 1354, B wajib untuk terus menerus membersihkan dan merawat rumah A,  sampai dengan A dapat mengerjakan sendiri pekerjaan itu.
b.      Melanggar hukum (onreehtmatige daad) seperti yang dimaksud oleh pasal 1365 KUHPer : “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Misalnya, motor milik A yang sedang diparkir ditabrak oleh mobil yang dikendarai oleh B yang sedang dalam keadaan mabuk. Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, A dapat menuntut B untuk memberikan ganti rugi pada A, atas kerugian yang diderita oleh A yang dikarenakan perbuatan B.

2.   Perjanjian
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Syarat-syarat sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila dipenuhi 4 syarat seperti yang ditegaskan oleh pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1)      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2)      Kecakapan untuk membuat suatu Perikatan
3)      Suatu hal tertenu
4)      Suatu sebab yang halal”
Syarat no. 1 atau kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat no. 2 atau kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu untuk subjek hukum atau orangnya. Sedangkan syarat no. 3 atau suatu hal tertentu dan syarat no.4 suatu sebab yang halal disebut syart objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.
1)   Kesepakatan 
Syarat no. 1 mengenai kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat (konsensual) para subjek hukum atau orang, dapat terjadi dengan secara tegas, baik dengan mengucapkan kata atau dengan tertulis, maupun secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat.
a.      Kebebasan bersepakat
Kebebasan bersepakat (konsensual) secara tegas dengan mengucapkan kata, seperti yang terjadi antara penjual dengan pembeli, antara peminjam uang dengan yang meminjamkan, antara penyewa dengan yang menyewakan rumah, semua dengan tawar-menawar yang diikuti dengan kesepakatan. Hal ini dapat terjadi dengan bertemunya pihak-pihak kreditur dengan debitur, melalui telepon atau dengan melalui perantara.
b.      Perjanjian tanpa unsur Kebebasan
Suatu Perjanjian dikatakan tidak memuat unsur kebebasan, apabila memuat salah satu unsur dari tiga unsur ini:
i)        Unsur Paksaan (dwang), adalah paksaan terhadap badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh Undang-undang. Tetapi dalam hal ini, di dalam Undang-undang ada suatu unsur paksaan yang diijinkan oleh Undang-undang, yakni paksaan dengan alasan akan dituntut di muka hakim, apabila pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang telah ditetapkan
ii)      Unsur Kekeliruan (dwaling), Kekeliruan dapat terjadi dengan 2 kemungkinan, yaitu
1.      Kekeliruan terhadap orang atau subjek hukum, misalnya perjanjian akan mengadakan pertunjukan lawak, akan tetapi undangan untuk pelawaknya salah alamat, karena namanya sama.
2.      Kekeliruan terhadap barang atau objek hukum, misalnya jual-beli dengan monster tetapi yang diberikan salah, karena barangnya sama dan yang berbeda ialah tahunya.
iii)    Unsur Penipuan (bedrog) Apabila terjadi suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar. Suatu perjanjian yang mengandung salah satu unsur paksaan, kekeliruan ataupun penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas jangka waktu 5 tahun seperti dimaksud oleh pasal 1454 KUH Perdata.
2)   Kecakapan (Cakap Hukum)
Berkenaan dengan cakap atau tidak cakapnya seseorang untuk membuat suatu persetujuan, Pasal 1330 KUH Perdata telah memberikan batasannya. Batasan tersebut adalah siapa-siapa saja yang menurut hukum dikatakan tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan :
a.   orang yang belum dewasa, contohnya antara lain :
· Kecakapan untuk membuat perjanjian (overeenkomst) apabila berumur minimal 21 tahun atau sebelumnya telah melangsungkan pernikahan (di atur dalam Pasal 330 KUHPerdata)
· Kecakapan untuk melangsungkan perkawinan menurut Pasal 7 Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bagi seorang laki-laki berumur minimum 19 tahun dan bagi wanita berumur minimum 16 tahun.
· Kecakapan untuk mempunyai hak memilih dalam PEMILU apabila pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) atau sudah/pernah kawin (Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
· Kecakapan untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dalam penuntutan terhadap perbuatan pidana adalah apabila telah berumur 16 (enam belas) tahun (Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
b.   orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), contohnya antara lain : gangguan jiwa seperti sakit saraf atau gila, pemabuk atau pemboros
c.   Wanita yang dalam perkawinan atau yang berstatus sebagai istri (mengenai ketidakcakapan wanita ini telah dicabut oleh UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).
3)   Hal Tertentu
Sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian, menurut pasal 1320 KUHPer ialah suatu hal tertentu. Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh Pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai : 1. Jenis barang;  2. kualitas dan mutu barang; 3. buatan pabrik dan dari negara mana; 4. buatan tahun berapa; 5. warna barang; 6. ciri khusus barang tersebut; 7. jumlah barang; 8. uraian lebih lanjut mengenai barang itu.
4)   Sebab Yang Halal (causa yang halal)
Syarat ke empat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer adalah adanya sebab (causa) yang halal. Dalam pengertaian ini pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.