Minggu, 19 Mei 2013
ILMU HUKUM DALAM PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN MODERN
Hukum dalam lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para sarjana hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan tentang apa itu hukum?, Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua, merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat[1].
Pengertian pertama dalam bahasa Latin disebut ius, dalam bahasa Perancis droit, dalam bahasa Belanda recht, dalam bahasa Jerman juga disebut Recht, sedangan dalam bahasa Indonesia disebut Hukum. Sedangkan dalam arti yang kedua dalam bahasa Latin di sebut Lex, bahasa Perancis loi, bahasa Belanda wet, bahasa Jerman Gesetz, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut Undang-Undang[2]. Kata law di dalam bahasa Inggris ternyata berasal dari kata lagu, yaitu aturan-aturan yang dibuat oleh para raja-raja Anglo-Saxon yang telah dikodifikasi[3]. Lagu ternyata berada dalam garis lex dan bukan ius. Apabila hal ini diikuti, istilah legal science akan bermakna ilmu tentang aturan perundang-undangan. Hal ini akan terjadi ketidaksesuaian makna yang dikandung dalam ilmu itu sendiri.
Demi menghindari hal semacam itu dalam bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat disebut sebagai Jurisprudence. Sedangkan kata Jurisprudence berasal dari dua kata Latin, yaitu iusris yang berarti hukum dan prudentia yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Dengan demikian, Jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Dapat dilihat dari segi etimologis tidak berlebihan oleh Robert L Hayman memberi pengertian ilmu hukum dalam hal ini Jurisprudence secara luas sebagai segala sesuatu yang bersifat teoritis tentang hukum[4]. Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum (jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.[5]
Jurisprudence merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat sui generis[6]. Maka kajian tersebut tidak termasuk dalam bidang kajian yang bersifat empirik maupun evaluatif. Jurisprudence bukanlah semata-mata studi tentang hukum, melainkan lebih dari itu yaitu studi tentang sesuatu mengenai hukum secara luas. Hari Chand secara tepat membandingkan mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari bidang ilmunya masing-masing[7]. ia menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran yang akan mempelajari anatomi manusia harus mempelajari kepala, telingga, mata dan semua bagian tubuh dan struktur, hubungan dan fungsinya masing-masing. sama halnya dengan seorang mahasiswa hukum yang akan mempelajari substansi hukum, harus belajar konsep hukum, kaidah-kaidah hukum, struktur dan fungsi dari hukum itu sendiri. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa disamping ia mempelajari tubuh manusia secara keseluruhan, seorang mahasiswa kedokteran juga perlu mempelajari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tubuh, misalnya panas, dingin, air, kuman-kuman, virus, serangga dan lain-lain. Sama halnya juga dengan mahasiswa hukum, yaitu mempelajari faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi hukum itu diantaranya, faktor sosial, politik, budaya, ekonomi dan nilai-nilai yang terkandung dalam bidang ilmu lain.
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial. Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi obyek kajian penulis, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu hukum sebagai dasar kajian.
Perspektif Ilmu Hukum
Ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar perosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam Ilmu Hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejara sosial yang hanya dipandang dari luar; melainkan masuk kedalam hal yang lebih esinsial yaitu sisi intriksik dari hukum. Dalam setiap perbincangan yang demikian tentu saja akan menjawab pertanyaan mengapa dibutuhkan hukum sedangkan sudah ada norma-norma sosial yang lain. Apakah yang diinginkan dengan kehadiran hukum. Dalam perbincangan yang demikian, ilmu hukum akan menyoal apa yang tujuan hukum. Dalam hal demikian apa yang menjadi senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya. Pada perbincangan akan dicari jawaban yang nantinya akan menjembantani antara dua realitas tersebut.
Persoalan berikutnya adalam merupakan suatu conditio sine qua non dalam hukum adalah masalah keadilan. Mengenai masalah tersebut perlu diingat pandangan Gustav Radbruch yang secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada mencapai keadilan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”[7]. Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensial keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dalam hidup bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri. Dengan demikian memunculkan suatu pertanyaan mengenai mengelola keadilan tersebut. Maka disinilah mucullah preskriptif ilmu hukum.
Untuk memahami validitas aturan hukum, banyak masalah yang timbul dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah merupakan anggota masyarakat dan sekaligus mahluk yang memiliki kepribadian. Sebagai anggota masyarakat perilakunya harus diatur. Dan apabila masyarakat meletakkan aturan-aturan itu yang ditekankan adalah ketertiban, maka dengan demikian maka akan menghambat pengembangan pribadi anggota-anggotanya. Sebaliknya, setiap orang cenderung meneguhkan kepentingan sambil kalau perlu melanggar hak-hak orang lain.
Untuk mempelajari konsep-konsep hukum berarti mempelajari hal-hal yang semula ada dalam alam pikiran yang dihadirkan menjadi sesuatu yang nyata. Konsep hukum, bentukkan hukum ataupun konstruksi hukum merupakan hal-hal yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya konsep hak milik, misalnya merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Konsep demikian tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan mengalami proses berpikir yang panjang. Dengan diketemukannya konsep-konsep semacam itu, mau tidak mau akan diikuti oleh aturan-aturan yang menyertainya.
Mempelajari norma-norma hukum merupakan esensial di dalam ilmu hukum. Belajar ilmu hukum tanpa mempelajari norma-norma hukum sama halnya dengan belajar ilmu kedokteran tanpa mempelajari tubuh manusia. Oleh karena itu ilmu hukum merupakan ilmu normatif, hal ini tidak dapat disangkal dan memang demikian kenyataannya. Dengan demikian tidak ada alasan bagi seorang sarjana hukum akan tetap menganggap ilmu hukum adalah merupakan ilmu yang normatif.
Sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya. Suatu penerapan yang salah akan berpengaruh terhadap sesuatu yang bersifat substansial. Suatu tujuan yang benar tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang hendak dicapai akan berakibat tidak ada artinya. Mengingat hal tersebut dalam menetapkan standar prosedur atau cara harus berpengang kepada sesuatu yang substansial. Dalam hal inilah ilmu hukum akan menelaah kemungkinan-kemungkinan dalam menetapkan standar tersebut.
Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum dapat dibagi menjadi tiga lapisan, dalam bukunya Jan Gijssels dan Mark van Hoecke membagi ketiga lapisan tersebut adalah rechtsdogmatiek (Dogma Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (Filsafat Hukum)[8]. Dalam hal kemurnian ilmu hukum sebagai suatu ilmu, dari ketiga pembagian tersebut dapat dilihat bahwa dua diantaranya (dogma hukum dan teori hukum) adalah merupakan ilmu hukum yang murni dan belum terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain sedangkan filsafat hukum telah terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain karena didalamnya akan mempelajari banyak hal yang bersilangan dengan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek teoritis.
Hukum Sebagai Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam hal sekarang untuk menunjukkan paradigma tertentu yang mendominasi ilmu pada waktu tertentu. Sebelum adanya paradigma ini didahului dengan aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisir yang mengawali pembentukan suatu ilmu (pra-paradigmatik)
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan ilmu seperti tersebut di atas, maka berikut ini dipaparkan paradigma (ilmu) hukum, yang tampaknya juga berperan dalam perkembangan hukum. Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang mendapatkan tantangan dari pandangan hukum yang kemudian (paradigma hukum alam rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang dalam bentuk revolusi sains yang khas.
Namun terdapat perbedaan dengan paradigma yang terdapat pada ilmu alam (eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan menumbangkan paradigma lama. Dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi pada saling menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan etika. Implikasinya hukum alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum negara.
Paradigma Hukum Historis yang berpokok pangkal pada Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap warganegara dari bangsa itu menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut Savigny tidak terjadi dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan panca indera.
Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan.
Dengan demikian, paradigma utilitarianis merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
Perbincangan tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum, mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.
Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam.
Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dg prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hkm alam primer yang bersifat umum menyatakan: Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux[9]. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi.”.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum yang selama ini memandu kita dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.
sumber: http://irnarahmawati.wordpress.com/2013/01/06/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern/
SEJARAH MUNCULNYA POLITIK HUKUM
Latar belakang yang menjadi raison d’etre kehadiran disiplin politik hukum adalah rasa ketidakpuasan para teoritisi hukum terhadap model pendekatan hukum. Sejak era Yunani Kuno hingga Post Modern, studi hukum mengalami pasang surut, perkembangan dan pergeseran yang disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur sosial, industrialisasi, politik, ekonomi dan pertumbuhan piranti lunak ilmu pengetahuan. Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Tentang Ancaman Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional menjelaskan bahwa pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika, individu merupakan pusat pengaturan hukum, sedang bidang hukum yang sangat berkembang adalah hukum perdata. Keahlian hukum dikaitkan pada soal keterampilan teknis atau keahlian tukang (legal craftsmanship). Hukum kala itu dianggap independen dan tidak membutuhkan bantuan dari ilmu lain.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Donald H, Gjerdingen, beliau mengemukakan terjadinya pergeseran pemahaman teoritisi terhadap relasi antara hukum dan entitas bukan hukum. Beberapa aliran hukum menurutnya menganggap hukum otonom dari entitas bukan hukum sudah merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas hukum. Politik hukum muncul sebagai suatu disiplin hukum alternatif di tengah kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hukum dan entitas bukan hukum terutama dalam kaitan studi ini adalah politik. Istilah dan kajian politik hukum baik dari sisi teoritis dan praktis telah dikenal cukup lama di Indonesia. Namun perkembangannya berjalan sangat lambat.
Pengertian Politik Hukum
1. Perspektif Etimologis
Secara etimogis istilah politik hukum merupakan terjemahan dari rechtspolitiek yang terdiri atas dua kata yakni recht dan politiek. Kant menyatakan law , in generic sense, is a body of rules of action or conduct prescribed by controlling authority and having binding legal force. Kata politiek mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy). Istilah rechtspolitiek sering dirancukan dengan politieekrecht yang berarti hukum politik. Menurut Hence van Maarseveen istilah politieekrecht merujuk pada istilah hukum tata negara. Politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum, selanjutnya dikatakan politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum. Secara etimologis politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.
2. Perspektif Terminologis
Pendefinisian secara etimologis ternyata belum memberikan gambaran yang komprehensif mengenai politik hukum. Oleh sebab itu diperlukan pendefinisian dari beberapa ahli seperti:
- Padmo Wahjono, politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.
- Teuku Mohammad Radjie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
- Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendak, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dalam buku lain Soedarto juga mendefinisikan politik hukum sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
- Satjipto Rahardjo, Satjipto mengutip pendapat parson dan kemudian mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
- Sunaryati Hartono, Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif, beliau mengatakan politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Sunaryati Hartono menitikberatkan politik hukum dalam dimensi ius contituendum.
- Abdul Hakim Garuda Nusantara mengemukakan politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Definisi yang disampaikan Abdul Hakim Garuda Nusantara merupakan definisi yang paling komprehensif yang merinci mengenai wilayah kerja politik hukum yang meliputi teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan dan pembuatan hukum yang mengarah pada sifat kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum. Selanjutnya ditegaskan pula mengenai fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli sebelumnya.
Politik Hukum dan Perspektif Keilmuan
Politik Hukum dan Disiplin Hukum
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto meletakkan politik hukum sebagai bagian dari studi hukum. Disiplin politik hukum menurut mereka merupakan gabungan dari Ilmu Hukum dan filsafat hukum. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan yang ada selama ini bahwa politik hukum merupakan gabungan dari ilmu hukum dan ilmu politik. Apabila dihubungkan dengan praktik policy making dan policy executing di bidang hukum, politik hukum sebagai teori mengungkapkan policy evaluation dan policy approximation serta policy recommendation di bidang hukum. Dengan demikian politik hukum merupakan sistem ajaran tentang hukum sebagai kenyataan idiil dan riil.
Politik Hukum Sebagai Kajian Hukum Tata Negara. Lembaga-lembaga pemerintahan maupun tujuan negara yang dicita-citakan merupakan bagian dari studi hukum tata negara. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum kini menjadi kajian disiplin ilmu tersebut. Menurut H.D. van Wijk sebagaimana dikutip Sri Soemantri, “bila dikaitkan dengan sebuah sistem hukum, hukum tata negara merupakan pondasi, dasar atau muara berlakunya cabang dan ranting hukum yang lain.”
Van Wijk dan le Roy sama-sama menempatkan hukum tata negara sebagai hukum sentral bagi pelaksanaan hukum kenegaraan. Namun pembagian tersebut baru berbicara tentang produk-produk hukum yang menjadi bagian hukum tata negara bukan proses hukum dan politik pembentukan produk-produk hukum. Pada bagian inilah sebenarnya studi politik hukum menjadi sangat penting untuk dicermati karena berkaitan dengan cara bekerjanya badan-badan negara yang berwenang menetapkan politik hukum sebuah negara.
Ruang Lingkup dan Manfaat Ilmu Politik Hukum
Ruang lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dan faktor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi pembentukan politik hukum suatu negara. Politik hukum menganut prinsip double movement yaitu selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang ia juga dipakai untuk mengkritisi produk-produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy tersebut. Secara rinci ruang lingkup politik hukum adalah:
a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggarakan negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang-undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum.
c. Penyelenggaraan negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum.
d. Peraturan perundang-undangan yang memuat politik hukum.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum baik yang akan, sedang dan telah ditetapkan.
f. Pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara.
Dalam hal ini, Politik Hukum Indonesia secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses-proses yang tercakup dalam enam wilayah kajian yang bersifat integral itu dapat menghasilkan sebuah legal policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbell, 1991, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul, Minnesota.
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Miriam Budiadjo, 1996, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet. 17, Gramedia, Jakarta.
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum Cet. II, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Purbacaraka, 1995, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum Bagi Pendidikan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Hukum Pidana, Sinar baru, Bandung.
___________, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Jurnal Prisma Nomor 6 Tahun II Desember 1973.
sumber: http://irnarahmawati.wordpress.com/2013/01/06/sejarah-timbulnya-politik-hukum/
Sabtu, 18 Mei 2013
Dalihan Na Tolu dan Budaya Kerja
Dalihan Na Tolu dan Budaya Kerja
Dalihan Na Tolu
merupakan identitas etnis Batak. Dalam buku “Masyarakat dan Hukum Adat
Batak Toba” ditulis J.C Vergouwen menyebutkan, Dalihan Na Tolu adalah
unsur kekerabatan warga masyarakat Batak. Maka setiap sub-etnis Batak
memiliki garis penghubung satu sama lain.Dalihan Na Tolu dari sisi
bahasa berarti tungku yang berkaki tiga, saling menyokong. Tanpa ada
yang lebih tinggi. Dalihan Na Tolu dalam status dan peranan seseorang
berbeda nama sama, memang agak paradoks.
Adalah; Hulahula disebut pihak istri atau ibu. Dongan Sabutuha berarti semarga atau selevel. Dan, pihak Boru adalah pihak yang menerima anak perempuan hulahula. Terangkum somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu. Masing-masing saling menghormati: pihak hulahula, mawas terhadap saudara semarga dan membujuk rayu, melindungi, mengayomi (boru) putri.
Sistim sosial ini menjadi filosofi, dan terlihat dalam upacara adat. Setiap unsur memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap orang Batak menduduki ketiga status ini, pada saat tertentu dia bisa boru, hulahula, dan dongantubu. Jadi tidak selamanya posisi boru melekat. Paradoks tadi, ia bisa menjadi boru bisa menjadi hulahula—di adat borunya.
Dari sisi religi, Dalihan Na Tolu menggambarkan relasi manusia dengan sang pencipta. Yang disebut banua toru, banua tonga dan banua ginjang. DR.Philip.O.Tobing dalam bukunya The Structure of the Toba Batak Belief in the High God (1963) menyebutkan, Batara Guru, Bala (Mangala) Sori, dan Bala (Mangala) Bulan adalah representasi dari masing-masing hulahula, dongan-sabutuha dan boru.
Di lima sub-etnis Batak; Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing/Angkola, Toba. Dalihan Na Tolu memiliki persamaan. Toba; Dongan Sabutuha, Hulahula, Boru. Sedangkan Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan; yang berarti Tondong (Toba=Hula-hula), Sanina (Dongan Sabutuha), Boru (boru).
Sementara di Karo menyebut, Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Istilah Daliken Sitelu berarti tungku yang tiga. Daliken berarti batu tungku, sementara Si samadengan Telu tiga. Menunjuk pada esensi kehidupan sehari-hari. Yang juga mengambarkan ada ikatan setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut. Unsur Daliken Sitelu ini adalah; Kalimbubu (Toba;Hula-hula), Sembuyak atau Senina (Dongan sabutuha), AnakBeru (Boru).
Sama juga di Mandailing/Angkola sistim kekerabatan itu menunjukkan arti tumpuan, menunjuk pada hakekatnya yang didukung oleh kata dalian. Dalian berarti tumpuan mendasar pada budaya. Tumpuan Yang Tiga bagi kelangsungan hidup masyarakat Mandailing/Angkola. Mereka menyebut Mora (Toba; Hula-hula), Anakboru (boru), Hahanggi (Sabutuha).
Adalah; Hulahula disebut pihak istri atau ibu. Dongan Sabutuha berarti semarga atau selevel. Dan, pihak Boru adalah pihak yang menerima anak perempuan hulahula. Terangkum somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu. Masing-masing saling menghormati: pihak hulahula, mawas terhadap saudara semarga dan membujuk rayu, melindungi, mengayomi (boru) putri.
Sistim sosial ini menjadi filosofi, dan terlihat dalam upacara adat. Setiap unsur memiliki hak dan kewajiban yang berbeda, namun pada prinsipnya sama. Setiap orang Batak menduduki ketiga status ini, pada saat tertentu dia bisa boru, hulahula, dan dongantubu. Jadi tidak selamanya posisi boru melekat. Paradoks tadi, ia bisa menjadi boru bisa menjadi hulahula—di adat borunya.
Dari sisi religi, Dalihan Na Tolu menggambarkan relasi manusia dengan sang pencipta. Yang disebut banua toru, banua tonga dan banua ginjang. DR.Philip.O.Tobing dalam bukunya The Structure of the Toba Batak Belief in the High God (1963) menyebutkan, Batara Guru, Bala (Mangala) Sori, dan Bala (Mangala) Bulan adalah representasi dari masing-masing hulahula, dongan-sabutuha dan boru.
Di lima sub-etnis Batak; Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing/Angkola, Toba. Dalihan Na Tolu memiliki persamaan. Toba; Dongan Sabutuha, Hulahula, Boru. Sedangkan Simalungun menyebutnya Tolu Sahundulan; yang berarti Tondong (Toba=Hula-hula), Sanina (Dongan Sabutuha), Boru (boru).
Sementara di Karo menyebut, Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Istilah Daliken Sitelu berarti tungku yang tiga. Daliken berarti batu tungku, sementara Si samadengan Telu tiga. Menunjuk pada esensi kehidupan sehari-hari. Yang juga mengambarkan ada ikatan setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan tersebut. Unsur Daliken Sitelu ini adalah; Kalimbubu (Toba;Hula-hula), Sembuyak atau Senina (Dongan sabutuha), AnakBeru (Boru).
Sama juga di Mandailing/Angkola sistim kekerabatan itu menunjukkan arti tumpuan, menunjuk pada hakekatnya yang didukung oleh kata dalian. Dalian berarti tumpuan mendasar pada budaya. Tumpuan Yang Tiga bagi kelangsungan hidup masyarakat Mandailing/Angkola. Mereka menyebut Mora (Toba; Hula-hula), Anakboru (boru), Hahanggi (Sabutuha).
Etos Habatahon
Meminjam istilah Guru Etos Indonesia Jansen Sinamo menyebutkan, Etos Habatahon berasal dari Unok ni partondian, Parhatian Sibola Timbang, Parninggala Sibola Tali, Pamoru Somarumbang, Parmahan So Marbatahi. Etos Habatahon dalam Batak Toba bisa dilihat dari motto Anakhonhi Do Hamoraon di Ahu. Etos yang mendorong Toba identik pekerja keras. Ditambah budaya 3H Hamoraan, Hagabeon, Hasangapon. Demi kekayaan, status sosial mereka dipacu menjadi sedikit ambisius dari sub-eknis.
Etos kerja Simalungun terlihat dari nilai-nilai sehari-hari semboyang Habonaron Do Bona. Yang berarti segala tindakan dilandasi dengan kebenaran. Filosofi tersebut mendorong Simalungun bertindak benar berlandaskan azas yang benar pula. Hal itu terpancar dari sifat penuh kehatihatian dalam pekerjaan.
Filosofi kerja Pakpak; Ulang Telpus Bulung. Bisa diartikan daun jangan sampai terkoyak atau bocor, daun yang dimaksud daun pisang yang dipakai sebagai alas makanan pengganti piring (pinggan pasu). Ulang Telpus Bulung menekankan berani berkorban. Dalam budaya kerja sifat ini perlu ada.
Etos kerja orang Mandailing/Angkola terlihat dari sisitim “Marsialap Ari” adalah etos kerja yang selalu didukung dengan team work. Masyarakat Mandailing/Angkola terlihat pekerja telaten, sabar, dan pekerja keras.
Sedangkan Sada Gia Manukta Gellah Takuak menjadi filosofi Karo. Artinya walaupun seseorang hanya memiliki seekor ayam, yang terpenting berkokok. Ayam berkokok simbol membangunkan orang untuk bagun pagi hari. Filosofi ini memotivasi masyarakat Karo gigih bekerja. Sifat ringan hati untuk berusaha.
Etos Habatahon didasari dari semangat kerja, yang diadopsi dari sistim nilai-budaya. Budaya yang berakar pada Dalihan Na Tolu tersebut berproses mejadi sebuah sistim nilai kerja. Etos Habatahon bisa dirasakan lewat alunan gondang. Gondang dengan paduan suaranya akan membawa suara yang indah, tetapi jika hanya dibunyikan satu alat musik saja tentu suaranya sumbang. Artinya ada etos team work. Dipaduan gondang itu. Ia indah takkala perpaduan suara gendang yang lain.
Etos Habatahon jika tinjau dari sisi budaya kerja sekuler berarti, mengerti posisi. Ada waktunya menjadi bos (hulahula), ada saatnya menjadi mitra kerja (Dongansabutuha), ada saatnya menjadi pesuruh, karyawan, karier terbawah (Boru).
Namun, sesungguhnya ketiga sistim tadi tidak bisa berdiri sendiri, harus kait mengkait. Hulahula (boss, pemimpin) harus mengayomi, memperhatikan boru (karyawan-nya). Dongansabutuha atau rekan kerja, sesama selevel harus saling menghargai, di depan bos. Boru (karyawan) harus menghargai pimpinan sebagai pemilik perusahaan. Artinya ada moral kerja tertanam di filosofi Dalihan Na Tolu.
Pakar Manajemen Rhenald Kasali mengatakan, dalam pekerjaan memang perlu ada moral (morale). Sebab, moral kerja itu adalah spirit yang mesti dimiliki setiap orang untuk hidup atau bekerja. Dengan moral kerja yang tinggi seorang percaya diri terhadap masa depan. Bekerja dengan etos kerja yang tinggi berarti pula membantu diri menemukan tujuan hidup. Terpacu karena mengerti posisi.
Karena itu, diperlukan semacam dekonstruksi identitas budaya bagi pemahaman filosofi budaya kerja. Agar pesan moral Dalihan Na Tolu menjadi watak, karakter, sifat budaya. Yang bisa menjelma menjadi etos kerja menunjang karier.
Menghargai kearifan budaya berarti mempunyai perangi etos kerja, sebagai budaya yang melekat pada setiap orang. Dan menumbuhkembangkan kearifan budaya masing-masing. Maka mutu dan produktifitas akan tumbuh.
Etos kerja budaya berarti berfikir menggunakan akal (karsa) dari kearifan budaya. Spirit kerja mendorong seseorang produktif, karena ada karsa menjelma menjadi sistim nilai. Kearifan budaya tersusun atas pikiran sadar dan bawah sadar kemudian menjadi filosofi. Kearifan Budaya mengajarkan kita saling menghargai, mengetahui posisi, porsi, dan kapasitas diri.
Kearifan budaya berkembang karena perkembangan paradigma masyarakat-nya. Jadi, mengapa malu memakai etos budaya dalam bekerja, sebab nilai-nilai budaya tidak kala baik dari semangat kapitalisme Barat. Jadi, filosofi Dalihan Na Tolu jika dihubungkan dengan budaya kerja akan menghasilkan etos (spirit) Habatahon.
Suku Bangsa Batak dan Konsep Kebudayaan Batak
Suku Bangsa Batak dan Konsep Kebudayaan Batak
Suku bangsa Batak adalah
salah satu suku bangsa di Indonesia yang mendiami provinsi Sumatra
Utara, tepatnya di wilayah Kangkat Hulu, Deli Hulu, Daratan Tinggi Karo,
Serdang Hulu, Toba, Simalungun, Tapanuli Tengah, dan Mandailing.
Suku bangsa Batak terbagi menjadi 6 jenis, yakni suku Batak Toba, suku Batak Karo, suku Batak Pakpak, suku Batak Simalungun, suku Batak Angkola, dan suku Batak Mandailing.
Keenam suku Batak tersebut memiliki ciri khas budaya yang berbeda-beda.
Namun pada prinsipnya akar budaya mereka sama, yakni budaya Batak.

Asal Mula Suku Bangsa Batak
Tidak ada bukti kuat mengenai sejak kapan nenek moyang orang Batak mendiami wilayah Sumatra. Akan tetapi penelitian antropologi menunjukkan bahwa bahasa dan bukti-bukti arkeologis yang ada membuktikan hijrahnya penutur bahasa Austronesia dari Taiwan ke Indonesia dan Filipina. Ini terjadi sekitar 2.500 tahun silam. Bisa jadi mereka adalah nenek moyang suku bangsa Batak.
Tidak adanya artefak zaman Neolitikum yang ditemukan di wilayah suku Batak membuat para peneliti menyimpulkan bahwa nenek moyang suku Batak baru hijrah ke Sumatra Utara pada zaman logam. Selain itu, pedagang-pedagang internasional dari India mulai mendirikan kota dagang di Sumatra Utara pada abad ke-6.
Mereka berinteraksi dengan masyarakat pedalaman, yakni orang Batak dengan membeli kapur-kapur barus buatan orang Batak. Kapur barus buatan orang Batak dikenal bermutu tinggi.
Konsep Religi Suku Bangsa Batak - Debata Mulajadi Na Bolon
Di daerah Batak atau yang dikenal dengan suku bangsa Batak, terdapat beberapa agama, Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Agama Islam disyiarkan sejak 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar orang Batak Mandailing dan Batak Angkola.
Agama Kristen Katolik dan Protestan disyiarkan ke Toba dan Simalungun oleh para zending dan misionaris dari Jerman dan Belanda sejak 1863. Sekarang ini, agama Kristen (Katolik dan Protestan) dianut oleh sebagian besar orang Batak Karo, Batak Toba, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak.
Orang Batak sendiri secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini beserta isinya diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Debata Kaci-kaci dalam bahasa Batak Karo).
Debata Mulajadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon (Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).
Menyangkut jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu sebagai berikut.
- Tondi, adalah jiwa atau roh seseorang yang sekaligus merupakan kekuatannya.
- Sahala, adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.
- Begu, adalah tondi yang sudah meninggal.
Konsep Ikatan Kerabat Patrilineal Suku Bangsa Batak
Perkawinan pada orang Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki atau perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki dan kaum kerabat perempuan.
Menurut adat lama pada orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodoh. Perkawinan antara orang-orang rimpal, yakni perkawinan dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, dianggap ideal. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan satu marga dan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.
Kelompok kekerabatan orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih(keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak).
Dalam kehidupan masyarakat Batak, ada suatu hubungan kekerabatan yang mantap. Hubungan kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara perempuannya.
Tiap-tiap kelompok kekerabatan tersebut memiliki nama sebagai berikut.
- Hula-hula; orang tua dari pihak istri, anak kelompok pemberi gadis.
- Anak boru; suami dan saudara (hahaanggi) perempuan kelompok penerima gadis.
- Dongan tubu; saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan patrilineal.
Konsep Pemimpin Politik Suku Bangsa Batak
Pada masyarakat Batak, sistem kepemimpinan terdiri atas tiga bidang.
- Bidang adat. Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi berupa musyawarah Dalihan Na Tolu (Toba), Sangkep Sitelu (Karo). Dalam pelaksanaannya, sidang musyawarah adat ini dipimpin oleh suhut (orang yang mengundang para pihak kerabat dongan sabutuha, hula-hula, dan boru dalam Dalihan Na Tolu).
- Bidang agama. Agama Islam dipegang oleh kyai atau ustadz, sedangkan pada agama Kristen Katolik dan Protestan dipegang oleh pendeta dan pastor.
- Bidang pemerintahan. Kepemimpinan di bidang pemerintahan ditentukan melalui pemilihan.
Konsep Agrikultural Suku Batak - Marsitalolo dan Solu
Orang Batak bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi. Pada umumnya, panen padi berlangsung setahun sekali. Namun, di beberapa tempat ada yang melakukan panen sebanyak dua atau tiga kali dalam setahun (marsitalolo).
Selain bercocok tanam, peternakan merupakan mata pencarian penting bagi orang Batak. Di daerah tepi danau Toba dan pulau Samosir, pekerjaan menangkap ikan dilakukan secara intensif dengan perahu (solu). Konsep Bahasa, Pengetahuan, dan Teknologi Suku Bangsa Batak
Bahasa, pengetahuan, dan teknologi adalah bentuk budaya dasar sebuah bangsa atau suku bangsa. Mari kita ulas ketiga aspek tersebut pada suku bangsa Batak.
1. Bahasa
Suku Batak berbicara bahasa Batak. Bahasa Batak termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu - Polinesia. Hampir setiap jenis suku Batak memiliki logat tersendiri dalam berbicara. Oleh karena itu bahasa Batak memiliki 6 logat, yakni logat Karo oleh orang Batak Karo, logat Pakpak oleh orang Batak Pakpak, logat Simalungun oleh orang Batak Simalungun, logat Toba oleh orang Batak Toba, Mandailing, dan Angkola.
2. Pengetahuan
Masyarakat suku Batak mengenal sistem gotong royong kuno, terutama dalam bidang bercocok tanam. Gotong royong ini disebut raron oleh orang Batak Karo dan disebut Marsiurupan oleh orang Batak Toba. Dalam gotong royong kuno ini sekelompok orang (tetangga atau kerabat dekat) bahu-membahu mengerjakan tanah secara bergiliran.
3. Teknologi
Teknologi tradisional suatu suku bangsa adalah bentuk kearifan lokal suku bangsa tersebut. Suku bangsa Batak terbiasa menggunakan peralatan sederhana dalam bercocok tanam, misalnya bajak (disebut tenggala dalam bahasa Batak Karo), cangkul, sabit (sabi-sabi), tongkat tunggal, ani-ani, dan sebagainya.
Teknologi
tradisional juga diaplikasikan dalam bidang persenjataan. Masyarakat
Batak memiliki berbagai senjata tradisional seperti hujur (semacam
tombak), piso surit (semacam belati), piso gajah dompak (keris panjang),
dan podang (pedang panjang).
Di bidang penenunan pun teknologi tradisional suku Batak sudah cukup maju. Mereka memiliki kain tenunan yang multifungsi dalam kehidupan adat dan budaya suku Batak, yang disebut kain ulos.
Konsep Marga dalam Suku Bangsa Batak
Di bidang penenunan pun teknologi tradisional suku Batak sudah cukup maju. Mereka memiliki kain tenunan yang multifungsi dalam kehidupan adat dan budaya suku Batak, yang disebut kain ulos.
Konsep Marga dalam Suku Bangsa Batak
Dalam
"Kamus Besar Bahasa Indonesia", kata 'marga' merupakan istilah
antropologi yang bermakna 'kelompok kekerabatan yang eksogam dan
unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal' atau 'bagian
daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra Selatan).
Marga adalah identitasnya suku Batak. Marga diletakkan sebagai nama belakang seseorang, seperti nama keluarga. Dari marga inilah kita dapat mengidentifikasi bahwa seseorang adalah benar orang Batak.
Marga adalah identitasnya suku Batak. Marga diletakkan sebagai nama belakang seseorang, seperti nama keluarga. Dari marga inilah kita dapat mengidentifikasi bahwa seseorang adalah benar orang Batak.
Ada lebih dari 400 marga Batak, inilah beberapa di antaranya:
Aritonang, Banjarnahor (Marbun), Baringbing (Tampubolon), Baruara (Tambunan), Barutu (Situmorang), Barutu (Sinaga), Butarbutar, Gultom, Harahap, Hasibuan, Hutabarat, Hutagalung, Gutapea, Lubis, Lumbantoruan (Sihombing Lumbantoruan), Marpaung, Nababan, Napitulu, Panggabean, Pohan, Siagian (Siregar), Sianipar, Sianturi, Silalahi, Simanjuntak, Simatupang, Sirait, Siregar, Sitompul, Tampubolon, Karokaro Sitepu, Peranginangin Bangun, Ginting Manik, Sembiring Galuk, Sinaga Sidahapintu, Purba Girsang, Rangkuti, dan seterusnya .
Demikian informasi seputar suku bangsa Batak. Mari hargai perbedaan di Indonesia dengan tidak bersikap rasis pada suku bangsa apa pun dan agama apa pun
Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan Orang Batak
Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan Orang Batak
- Dalihan Na Tolu (Toba) : • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
- Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) : • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
- Tolu Sahundulan (Simalungun) : • Martondong Ningon Hormat, Sombah • Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
- Rakut Sitelu (Karo) : • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
- Daliken Sitelu (Pakpak) : • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak.
Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
UMPASA , UMPAMA , FALSAFAH BATAK
Berbagai umpama dan umpasa batak toba dibukukan dalam pustaha (kitab dari kulit kayu)
Umpama
dan Umpasa Batak Toba sejak berabad-abad yang lalu memegang peranan
penting dalam kehidupan orang batak toba; baik dalam hal adat maupun
kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki fungsi:
- Nasihat
- Doa
- Pengakuan
- Hukum adat
- Menggambarkan sifat manusia
- Untuk menyindir perilaku seseorang
- Pedoman berdemokrasi
- dsb
Begitu
penting dan dalamnya makna umpama dan umpasa batak toba sehingga di
setiap acara adat, pasti ada paling tidak salah satu di antara umpama
atau umpasa yang diucapkan. Dan bila umpasa yang diucapkan adalah suatu
harapan yang juga menjadi harapan dari para hadirin, maka semua akan
berkata “ima tutu” (semoga demikian)
Akan tetapi umpama dan umpasa batak toba memiliki perbedaan yang nyata. Bagimana membedakannya?
- Bila dibandingkan dengan sastra Indonesia pada umumnya, maka umpama adalah seperti peribahasa, sedangkan umpasa adalah seperti pantun
- Sebagaimana layaknya peribahasa, umpama tidak memiliki sampiran, langsung ke tujuan. Contohnya: Jolo dinilat bibir asa nidok hata (Makna: pikir dahulu baik-baik sebelum berbeicara)
- Sedangkan umpasa sebagaimana layaknya pantun, pasti memiliki sampiran. Contohnya: Napuran huta napuran Sipoholon (sampiran). Na so olo marguru ima jolma na londongon (isi). (makna secara bebas: orang yang tidak mau belajar adalah orang yang bodoh)
Berikut ini beberapa contoh umpama dan umpasa:
Umpama:
- Ingkon songon poting, lam marisi lam so marsoara (Makna: Semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang, harus semakin hati-hati berbicara)
- Jempek do pat ni gabus (Makna: sehebat apapun seseorang menutupi kebohongannya, cepat atau lambat pasti akan terbongkar juga)
- Jolo dinilat bibir asa nidok hata (Makna: pikir dahulu baik-baik sebelum berbeicara)
- Lambiakmi ma galmit (Makna: Bila orang tua mengeluhkan kelakuan anaknya yang kurang baik, sadarilah bahwa itu karena kekurangan orang tua dalam mendidik anaknya itu)
- Molo litk aek di toruan, tingkiron ma tu julu (Makna: bila ingin menyelesaikan suatu permasalahan, carilah dahulu apa penyebabnya)
Umpasa:
- Niarit tarugi bahen tusuk ni pora-pora. Molo naeng jumpangan uli ingkon olo do loja (Makna secara bebas: Kalau ingin hidup enak harus mau bekerja keras dulu)
- Niluluan tandok hapo dapot parindahanan. Tolap papangan mandok alai ndang tuk jamaon ni tangan (makna secara bebas: berbicara itu mudah tapi melakukannya adalah sulit)
- Urat ni nangka ma tu urat ni hotang. Tudia hamu mangalangka di si ma dapotan (makna secara bebas: ke mana kamu pergi, semoga di situ dapat keberuntungan)
- Salimbakbak salimbukbuk solot di pea-pea. Sahali pe margabus matua tano ndang porsea (makna secara bebas: sekali saja ketahuan berbohong, seumur hidup orang tidak akan percaya)
Umpasa/ Umpama/ Falsafah Batak
" Torop do bittang di langit, si gara ni api sada do Torop do si boru nauli, tinodo ni rohakku holan ho do". (Banyak bintang di langit, hanya satu yang paling terang, Banyak gadis yang cantik, pujaan hatiku cuma dikau seorang)
FALSAFAH
Dijolo raja sieahan, dipudi raja sipaimaon (Hormatan do natua-tua dohot angka raja).
Sada silompa gadong dua silompa ubi, Sada pe namanghatahon Sudema dapotan Uli.
Pitu batu martindi sada do sitaon nadokdok (Unang maharaphu tu dongan).
Jujur do mula ni bada, bolus do mula ni dame (Unang sai jujur-jujuri salani dongan, alai bolushon ma).
Siboru buas siboru Bakkara, molo dung puas sae soada mara (Dame ma).
Sungkunon poda natua-tua, sungkunon gogo naumposo (Bertanggung-jawab).
UMPASA NI NAPOSO BULUNG.(Buat orang-orang muda)
Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukkun marga asa binoto partuturan.
Tudia ma luluon da goreng-goreng bahen soban, Tudia ma luluon da boru Tobing bahen dongan.
Tudia ma luluon da dakka-dakka bahen soban, Tudia ma luluon da boru Sinaga bahen dongan.
Manuk ni pealangge hotek-hotek laho marpira Sirang na mar ale-ale, lobianan matean ina.
Silaklak ni dandorung tu dakka ni sila-sila, Ndang iba jumonok-jonok tu naso oroan niba.
Metmet dope sikkoru da nungga dihandang-handangi, Metmet dope si boru da nungga ditandang-tandangi.
Torop do bittang di langit, si gara ni api sada do Torop do si boru nauli, tinodo ni rohakku holoan ho do
Rabba na poso, ndang piga tubuan lata Hami na poso, ndang piga na umboto hata
UMPASA MANJALO TINTIN MARANGKUP.(Untuk pasangan saat tukar cincin)
Bulung namartampuk, bulung ni simarlasuna, Nunga hujalo hami tintin marangkup, Dohonon ma hata pasu-pasuna
Hot pe jabu i, tong doi margulang-gulang Sian dia pe mangalap boru bere i, tong doi boru ni Tulang.
Sai tong doi lubang nangpe dihukkupi rere, Sai tong doi boru ni Tulang, manang boru ni ise pei dialap bere.
Amak do rere, dakka do dupang, Anak do bere, Amang do Tulang.
Asing do huta Hullang, asing muse do huta Gunung Tua, Asing do molo tulang, asing muse do molo gabe dung simatua.
UMPASA TU NA BARU MARBAGAS (Untuk pasangan yang baru menikah)
Dakka ni arirang, peak di tonga onan, Badan muna naso jadi sirang, tondi mu marsigomgoman
Giring-giring ma tu gosta-gosta, tu boras ni sikkoru, Sai tibu ma hamu mangiring-iring, huhut mangompa-ompa anak dohot boru.
Rimbur ni Pakkat tu rimbur ni Hotang, Sai tudia pe hamu mangalakka, sai tusima hamu dapot pansamotan.
Dekke ni sale-sale, dengke ni Simamora, Tamba ni nagabe, sai tibu ma hamu mamora.
Sahat-sahat ni solu, sahat ma tu labuan, Sahat ma hamu leleng mangolu, jala sai di dongani Tuhan.
Sahat solu, sahat di parbinsar ni ari, Leleng ma hamu mangolu jala di iring-iring Tuhan ganup ari.
Mangula ma pangula, dipasae duhut-duhut Molo burju marhula-hula, dipadao mara marsundut-sundut
Ruma ijuk tu ruma gorga, Sai tubu ma anakmuna na bisuk dohot borumuna na lambok marroha
Anian ma pagabe tumundalhon sitodoan, Arimu ma gabe molo marsipaolo-oloan.
Gadu-gadu ni Silindung, tu gadu-gadu ni Sipoholon, Sai tubu ma anakmuna 17 dohot borumuna 16.
Andor hadukka ma patogu-togu lombu, Sai sarimatua ma hamu sahat tu na patogu-togu pahoppu.
UMPASA MANGAMPU
Bulung ni Taen tu bulung ni Tulan Ba molo tarbahen, sai topot hamu hami sahali sabulan, Molo so boi bulung ni tulan, pinomat bulung ni salaon Ba molo so boi sahali sabulan, pinomat sahali sataon.
Ni durung si Tuma laos dapot Pora-pora Molo mamasu-masu hula-hula mangido sian Tuhan, Napogos hian iba, boi do gabe mamora.
Songgop si Ruba-ruba tu dakka ni Hapadan, Angka pasu-pasu na ni lehon muna, Sai dijangkon tondi ma dohot badan.
Mardakka Jabi-jabi, marbulung ia si Tulan Angka pasu-pasu na pinasahat muna, Sai sude mai dipasaut Tuhan.
Naung sampulu sada, jumadi sampulu tolu, Angka pasu-pasu pinasahat muna, Sai anggiatma padenggan ngolu-ngolu. Naung sapulu pitu, jumadi sapulu ualu, Angka pasu-pasu pinasat muna hula-hula nami, Diampu hami ma di tonga jabu.
Turtu ninna anduhur, tio ninna lote, Angka pasu-pasu pinasahat muna, Sai unang ma muba, unang mose.
Habang pidong sibigo, paihut-ihut bulan, Saluhut angka na tapangido, sai tibu ma dipasaut Tuhan.
Obuk do jambulan, nidandan ni boru Samara Pasu-pasu na mardongan tangiang sian hula-hula, Mambahen marsundut-sundut soada mara.
Tinapu bulung nisabi, baen lompan ni pangula Sahat ma pasu-pasu na nilehon muna i tu hami, Sai horas ma nang hamu hula-hula.
Suman tu aek natio do hamu, riong-riong di pinggan pasu, Hula-hula nabasa do hamu, na girgir mamasu-masu.
AKKA UMPASA NA ASING
Martahuak ma manuk di bungkulan ni ruma, Horas ma hula-hulana,songoni nang akka boruna.
Simbora ma pulguk, pulguk di lage-lage, Sai mora ma hita luhut, huhut horas jala gabe.
Hariara madungdung, pilo-pilo na maragar, Sai tading ma na lungun, ro ma na jagar.
Sinuan bulu sibahen na las, Tabahen uhum mambahen na horas.
Eme ni Simbolon parasaran ni si borok, Sai horas-horas ma hita on laos Debata ma na marorot.
Sititik ma sigompa, golang-golang pangarahutna, Tung so sadia pe naeng tarpatupa, sai anggiat ma godang pinasuna.
Pinasa ni Siantar godang rambu-rambuna, Tung otik pe hatakki, sai godang ma pinasuna.
Tuat si puti, nakkok sideak, Ia i na ummuli, ima ta pareak.
Aek godang tu aek laut, Dos ni roha sibaen na saut.
Napuran tano-tano rangging marsiranggongan, Badan ta i padao-dao, tondita i marsigomgoman
Marmutik tabu-tabu mandompakhon mataniari, Sai hot ma di hamu akka pasu-pasu, laho marhajophon akka na sinari.
Bona ni pinasa, hasakkotan ni jomuran, Tung aha pe dijama hamu, sai tong ma dalan ni pasu-pasu. xiii. Mandurung di aek Sihoru-horu, manjala di aek Sigura-gura Udur ma hamu jala leleng mangolu, hipas matua sonang sora mahua.
Dolok ni Simalungun, tu dolok ni Simamora Salpu ma sian hamu na lungun, sai hatop ma ro si las ni roha.
KLASIFIKASI DALAM HUKUM PIDANA
Pada bagian terdahulu, kami telah membahas mengenai pengertian hukum
pidana. Kali ini kami ingin berbagi informasi mengenai pengelompokkan
hukum pidana itu sendiri. Hukum pidana dapat dikelompokkan berdasarkan :
1. Hukum Pidana Obyektif
a. Hukum Pidana Materiil, yakni hukum yang mengatur hubungan dan kepentingan yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang.
b. Hukum Pidana Formiil, yakni hukum yang mengatur tata cara pelaksanaannya seperti mekanisme dalam pemidanaan.
2. Hukum Pidana Subyektif, adalah hak yang dimiliki penguasa untuk memberi pidana terhadap pelaku tindak pidana dapat diatur dalam undang-undang.
3. Ruang Lingkup
a. Hukum Pidana Umum, yakni hukum pidana yang berlaku umum, berlaku untuk semua warga negara. Contoh : KUHPidana
b. Hukum Pidana Khusus, yakni hukum pidana yang berlaku khusus atau berlaku hanya untuk golongan tertentu. Contoh : hukum pidana untuk militer
4. Tempat berlakunya
a. Hukum Pidana Umum, adalah hukum pidana yang berlaku secara nasional.
b. Hukum Pidana Khusus, adalah hukum pidana yang berlaku di daerah / lokal.
5. Sumbernya
a. Hukum Pidana Umum, yakni hukum pidana yang semua ketentuan bersumber pada hukum pidana yang telah dibukukan / dikodifikasi.
b. Hukum Pidana Khusus, yakni hukum pidana yang bersumber pada undang-undang di luar dari yang telah dikodifikasikan. Jenis ini masih dibedakan lagi menjadi dua yaitu
- hukum yang hanya mengatur tentang pidana. Contoh : UU tentang KUHPidana
- hukum yang tidak mengatur tentang pidana, tetapi di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan pidana. Contoh : UU tentang Hukum Perlindungan Anak, di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan pidana.
1. Hukum Pidana Obyektif
a. Hukum Pidana Materiil, yakni hukum yang mengatur hubungan dan kepentingan yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang.
b. Hukum Pidana Formiil, yakni hukum yang mengatur tata cara pelaksanaannya seperti mekanisme dalam pemidanaan.
2. Hukum Pidana Subyektif, adalah hak yang dimiliki penguasa untuk memberi pidana terhadap pelaku tindak pidana dapat diatur dalam undang-undang.
3. Ruang Lingkup
a. Hukum Pidana Umum, yakni hukum pidana yang berlaku umum, berlaku untuk semua warga negara. Contoh : KUHPidana
b. Hukum Pidana Khusus, yakni hukum pidana yang berlaku khusus atau berlaku hanya untuk golongan tertentu. Contoh : hukum pidana untuk militer
4. Tempat berlakunya
a. Hukum Pidana Umum, adalah hukum pidana yang berlaku secara nasional.
b. Hukum Pidana Khusus, adalah hukum pidana yang berlaku di daerah / lokal.
5. Sumbernya
a. Hukum Pidana Umum, yakni hukum pidana yang semua ketentuan bersumber pada hukum pidana yang telah dibukukan / dikodifikasi.
b. Hukum Pidana Khusus, yakni hukum pidana yang bersumber pada undang-undang di luar dari yang telah dikodifikasikan. Jenis ini masih dibedakan lagi menjadi dua yaitu
- hukum yang hanya mengatur tentang pidana. Contoh : UU tentang KUHPidana
- hukum yang tidak mengatur tentang pidana, tetapi di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan pidana. Contoh : UU tentang Hukum Perlindungan Anak, di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan pidana.
Langganan:
Postingan (Atom)