KONFIGURASI POLITIK DAN
PRODUK HUKUM
(Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan)
Politik hukum merupakan pilihan
tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang
hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan. Politik hukum itu
merupakan legal policy tentang hukum
yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Dalam pembuatan aturan perundangan peran politik hukum sangat
penting dan dapat mencakup dua hal, yaitu:
1. Sebagai alasan mengapa
diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
2. Untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat
hukum dan menjadi perumusan pasal.
Dalam cita hukum, politik harus
diposisikan sebagai variabel yang terpengaruh oleh hukum. Arah dan tujuan pembangunan di bidang hukum harus terus
diupayakan terfokus dan bertahap menuju arah dan tujuan bernegara sebagaimana
yang dicita-citakan. Pancasila itu sebagai pokok kaidah negara yang
fundamental, maka timbul konsekuensi-konsekuensi yang bersifat imperatif bagi
negara dan penyelenggaraan negara. Konsekuensi yang bersifat imperatif (mengharuskan/mewajibkan)
itu, bahwa segenap aspek kehidupan negara dan penyelenggaraan negara serta
setiap realisasi dan pelaksanaan sistem hukum positif Indonesia harus
senantiasa sesuai Pancasila.
Secara ilmiah, hukum dapat
determinan atas politik, tetapi sebaliknya dapat pula politik determinan atas
hukum. Dari sudut metodologi, keduanya benar secara ilmiah menurut asumsi dan
konsepnya masing-masing. Hukum adalah produk politik adalah benar bila
didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Hukum
adalah produk politik juga menjadi salah apabila yang menjadi adasrnya das sein atau jika hukum tidak diartikan
sebagai undang-undang.
Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa
politik sebagai independent variable
secara ekstrem dibedakan atas politik yang demokratis dan politik yang
otoriter, sedangkan hukum sebagai independent
variable dibedakan atas hukum yang responsif dan hukum yang ortodoks.
Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif
sedangkan konfigurasi politik yang
otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks.
Hubungan konfigurasi politik yang
demokratis akan melahirkan hukum yang responsif dan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum
yang ortodoks memang benar sepanjang menyangkut politik yang berkaitan dengan
hubungan kekuasaan. Namun terkadang konfigurasi politik yang otoriter sejauh
menyangkut produk hukum privat dan tidak terkait dengan hubungan kekuasaan
melahirkan hukum yang responsif.
Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 gagasan
demokrasi dalam kehidupan politik mendapatkan tempat yang sangat menonjol.
BPUPKI dan PPKI saat itu sepakat untuk memilih demokrasi dalam kehidupan
bernegara yang kemudian dituangkan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dari sini terlihat bahwa pada saat itu Indonesia
dibentuk para pendiri yang mendambakan suatu negara hukum yang berasaskan demokrasi.
Pada perkembangan di awal kemerdekaan saat itu sekitar
Konfigurasi politik yang demokratis pada periode
1945-1959 mulai ditarik lagi ke arah yang otoriter sejak tahun 1957, ketika
Presiden Soekarno melemparkan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin dimana
pada periode ini lahir Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan. Konsepsi ini menempuh jalan konstitusionalnya ketika
pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekritnya.
Menurut konsepsi demokrasi terpimpin, kehidupan
politik periode sebelumnya merupakan sistem yang sangat bertentangan dengan
budaya bangsa karenanya harus ditinggalkan. Yang terjadi dalam demokrasi
terpimpin adalah tidak adanya demokrasi karena yang ditonjolkan adalah terpimpinnya
sehingga konfigurasi politik yang nampak adalah konfigurasi otoriter.
Konfigurasi politik otoriter dapat dilihat dari :
·
Kekuasaan pemerintah
yang berpusat di Istana Prsiden sangat kuat
·
Kekuasaan lembaga
perwakilan rakyat sangat lemah.
·
Kewenangan DPR sering
diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Perpu untuk akhirnya
perlemen hasil pemilu pada 1955 dibubarkan dengan sebuah Penpres.
·
Kehidupan pers ditekan
sedemikian rupa melalui pemberedelan, sensor, dan pemenjaraan.
·
Pada era demokrasi
terpimpin ada 3 kekuasaan politik yang saling tolak-tarik dan saling
memanfaatkan yaitu presiden Sukarno, Angkatan Darat, dan PKI, tetapi kekuasaan
terbesar ada pada Sukarno.
Pada awal mulanya hukum perburuhan merupakan bagian dari hukum
perdata yang
diatur dalam bab VII A Buku III KUHPerdata tentang perjnjian kerja. Namun pada
perkembangannya tepatnya setelah Indonesia merdeka hukum perburuhan Indonesia
mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya terbitlah UU No. I Tahun1951
tentang berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang kerja, UU No. 22 Tahun 1957 tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No. 14 Tahun 1969 tentang pokok-pokok
ketenagakerjaan dan lain-lain.
diatur dalam bab VII A Buku III KUHPerdata tentang perjnjian kerja. Namun pada
perkembangannya tepatnya setelah Indonesia merdeka hukum perburuhan Indonesia
mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya terbitlah UU No. I Tahun1951
tentang berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang kerja, UU No. 22 Tahun 1957 tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No. 14 Tahun 1969 tentang pokok-pokok
ketenagakerjaan dan lain-lain.
Apabila kita mengubungkan antara
teori konfigurasi yang diungkapkan oleh Moh. Mahfud MD yaitu konfigurasi
politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan
konfigurasi politik yang otoriter akan
melahirkan hukum yang ortodoks, namun terkadang konfigurasi politik yang
otoriter sejauh menyangkut produk hukum privat dan tidak terkait dengan
hubungan kekuasaan melahirkan hukum yang responsif dengan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan adalah benar adanya.
Mengapa demikian ? Menurut penulis hal tersebut
benar adanya karena pada Tahun 1957 di Indonesia menampilkan konfigurasi
politik otoriter yang didasarkan pada paham demokrasi terpimpin yang menurut
Moh. Mahfud MD akan melahirkan hukum yang ortodoks. Kekuasaan pemerintah yang
berpusat di Istana Prsiden sangat kuat, sedangkan lembaga perwakilan rakyat
sangat lemah. Kewenangan DPR sering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai
Penpres dan Perpu. Kehidupan pers ditekan sedemikian rupa melalui pemberedelan,
sensor, dan pemenjaraan. Pada era demokrasi terpimpin ada 3 kekuasaan politik
yang saling tolak-tarik dan saling memanfaatkan yaitu presiden Sukarno,
Angkatan Darat, dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada pada Sukarno.
Salah satu
produk hukum yang lahir pada era demokrasi terpimpin saat itu adalah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mulai
berlaku pada 4 Agustus 1957. Pada saat itu Penyelesaian perburuhan di Indonesia
diatur dalam UU No.22 tahun 1957 yang terdiri dari sembilan bagian dan 32 pasal
serta penjelasan. Adapun cara dan tingkat penyelesaian perselisihan perburuhan
menurt UU ini adalah:
1) Pada tingkat pertama pihak-pihak
yang berselisih harus berusaha menyelesikan kesulitan dalam lapangan perburuhan
dengan jalan perundingan antara kedua belah pihak.
2) Apabila perundingan tidak
menghasilkan kesapakatan, pihak-
pihak yang berselisih dapat menempuh jalan arbitrse yang
diatur lebih lengkap dalam UU ini.
pihak yang berselisih dapat menempuh jalan arbitrse yang
diatur lebih lengkap dalam UU ini.
3) Apabila arbitrase tidak
dikehendaki para pihak dapat meminta perantaraan dari pegawai kementrian
perburuhan yang khusus ditunjuk untuk itu.
4) Apabila meenurut pegawai daya
upayanya tidak berhasil perantaraan selanjutnya diberikan kepada panitia
daerah.
5) Apabila tidak dapat dicapai
persetujuan maka panitia daerah berhak memberikan anjuran
6) Dalam hal-hal tertentu panitia berhak memberikan putusan
yang berupa anjuran
7) Terhadap putusan panitia daerah
yang bersifat mengikat selama 14 hari dapat dimintikan pemeriksaan ulang pada
panitia pusat.
8) Putusan panitia pusat bersifat mengikat dan tidak bisa
dimintakan banding
9) Jika suatu pihak hendak melakukan
tindakan maka maksud
ituharus diberitahukan dengan surat kepada pihak lawan dan
panitia daerah.
ituharus diberitahukan dengan surat kepada pihak lawan dan
panitia daerah.
10) Panitia daerah / pusat disusun
berdasarkan atas asas tripartij terdiri dari wakil pemerintah,buruh dan majikan
Ciri-ciri dari produk hukum otoriter
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan adalah :
·
Memuat
ketentuan-ketentuan yang memfokuskan kekuasaan pada lembaga eksekutif yang
dipimpin oleh presiden.
·
Selain sebagai kepala
eksekutif secara praktis presiden menjadi ketua lembaga legislatif karena jika
presiden tidak mau menandatangani sebuah Rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah maka Rancangan Undang-Undang tidak
dapat berlaku.
·
Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan juga memuat ketentuan
yang multi tafsir yang pada era demokrasi terpimpin maka penafsiran konstitusi
yang harus diterima sebagai kebenaran adalah penafsiran yang dibuat oleh
presiden.
·
Undang-undang ini juga
terlalu banyak memberi atribusi kewenangan pada lembaga legislatif untuk
mengatur hal-hal yang sangat penting dengan tanpa ada limitasi yang tegas di
dalam UUD padahal presiden sangat dominan dalam proses pembentukan
undang-undang.
Pada dasarnya
semua peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah adalah sama, yaitu
bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat. Namun yang
produk hukum yang dibuat oleh badan legislatif tersebut pasti ada kekurangannya.
Begitu pula yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, ketika UU No. 22 Tahun 1957 dibuat pada saat
itu sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan keadilan dalam perburuhan.
Namun seiring
dengan perkembangan jaman undang-undang tersebut tidak sesuai lagi dan harus
diperbaharui. Agar dapat memenuhi semua kebutuhan hukum masyarakat, maka
peraturan perundang undangan harus selalu mengalami perkembangan dan
pembaharuan, sehingga yang terbaru saat ini keluarlah Undang-Undang No. 2 Tahun
2004, yang intinya sama yaitu untuk memberikan keadilan bagi masyarakat
terutama dalambidang ketenagakerjaan.
Berdasarkan
analisis penulis, produk hukum dari politik hukum demokratis akan menghasilkan
produk hukum yang responsif antara lain Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 yang lebih
efektif dan efisien dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam dunia ketenagakerjaan
Indonesia, dari pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1957. Ada beberapa alasan
yang menjadi dasar penulis berpendapat bahwa UU No. 2 tahun 2004 lebih efektif
dari UU Nomor 22 tahun 1957, yaitu pada kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sebenarnya
UU No. 22 Tahun 1957 sudah cukup bagus dalam memberikan keadilan bagi
masyarakat. Berikut ini beberapa aspek yang bisa menjadi dasar bagi kita untuk
menilai keefektifitasan peraturan perundang-undangan tersebut:
1.
Ruang lingkup subyek atau para pihak dalam perselisihan
Dalam UU No. 22 Tahun 1957 ruang lingkupnya terlalu sempit, yaitu para pihak dalam perselisihan hanya antara serikat pekerja dan pengusaha atau kumpulan pengusaha saja. Dalam hal ini undang-undang tidak mengakomodir kepentingan seorang tenaga kerja yang tidak dengan serikat pekerja. Sedangkan UU No 2 Tahun 2004, ruang lingkupnya cukup luas yaitu mengakomodir pekerja perorangan maupun serikat pekerja dengan pengusaha maupun kumpulan pengusaha.
Dalam UU No. 22 Tahun 1957 ruang lingkupnya terlalu sempit, yaitu para pihak dalam perselisihan hanya antara serikat pekerja dan pengusaha atau kumpulan pengusaha saja. Dalam hal ini undang-undang tidak mengakomodir kepentingan seorang tenaga kerja yang tidak dengan serikat pekerja. Sedangkan UU No 2 Tahun 2004, ruang lingkupnya cukup luas yaitu mengakomodir pekerja perorangan maupun serikat pekerja dengan pengusaha maupun kumpulan pengusaha.
2.
Ruang lingkup jenis atau bentuk perselisihan dalam UU No. 22
Tahun 1957 permasalahan yang diaturpun tidak luas, yaitu hanya mengatur tentang
perselisihan hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan keadaan perburuhan. Masih
ada beberapa permasalahan yang sangat dimungkinkan muncul tapi tidak diatur,
seperti perselisihan kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat pekerja.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 diatur secara jelas tentang permasalahan ini.
3.
Prosedur atau mekanisme penyelesaian sengketa, mekanisme
penyelesaian yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1957 kurang efektif dan tidak
efeisien, bahkan terkesan berbelit-belit dan lama. Hal ini disebabkan beberapa
faktor, yaitu :
·
Pertama : Banyaknya tingkatan-tingkatan lembaga yang harus
dilalui dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyebabkan proses
penyelesaiannya memakan waktu dan biaya yang banyak.
·
Kedua : Keputusan dari masing-masing lembaga yang daya mengikatnya
tidak atau kurang kuat, menyebabkan para pihak kurang manghargai keputusan dari
lembaga yang bersangkutan, sehingga harus mengajukan fiat eksekusi. Seperti
contohnya keputusan arbitrase yang dapat dimintakan banding ke P4P, padahal
yang namanya keputusan arbitrase itu harusnya bersifat final dan mengikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar