HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Sabtu, 01 Juni 2013

TATA CARA PENDIRIAN KOPERASI

Tata Cara Pendirian Koperasi

 
TATA CARA
PENDIRIAN KOPERASI
I.      DASAR HUKUM
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akte Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar;
  2. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 01/Per/M.KUKM/I/2006 tanggal 9 Januari 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi;
  3. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 98/Kep/KEP/KUKM/X/2004 tanggal 24 September 2004 tentang Notaris Sebagai Pembuat Akte Pendirian Koperasi;
TAHAPAN PENGAJUAN KOPERASI YANG BERBADAN HUKUM
  1. RAPAT PEMBENTUKAN
  2. PENGAJUAN BERKAS PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN KOPERASI
  3. PENINJAUAN LAPANGAN
1.      RAPAT PEMBENTUKAN
  • a. Koperasi Primer dihadiri minimal 20 orang, dan untuk Koperasi Skunder minimal 3 (tiga) Koperasi yang telah berbadan hokum yang diwakili oleh kuasanya.
  • b. Dihadiri Pejabat Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Kota Semarang;
  • c. Yang dibahas dalam rapat tersebut antara lain :
  • 1) Nama dan kedudukan koperasi;
  • 2) Keanggotaan;
  • 3) Usaha yang akan dijalankan;
  • 4) Permodalan;
  • 5) Pemilihan Pengurus dan Pengawas;
  • 6) Konsep Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga;
2.      PENGAJUAN BERKAS PENGESAHAN AKTA PENDIRIAN KOPERASI.
PERSYARATAN :
  • a. Permohonan Pengesahan Akte Pendirian Koperasi bermeterai Rp. 6.000,-
  • b. Petikan Berita Acara Rapat Pendirian/Pembentukan Koperasi;
  • c. Neraca Awal;
  • d. Tanda Bukti Setoran Anggota
  • e. Daftar hadir Rapat Pembentukan.
  • f. Daftar Nama Pendiri;
  • g. Fotokopi KTP Pendiri;
  • h. Akte Pendirian dari Notaris;
  • i. Rencana Awal Kegiatan Usaha;
  • j. Biodata Pengurus dan Penagawas;
  • k. Surat Keterangan status Kantor;
  • l. Daftar Inventaris kantor
3.      PENINJAUAN LAPANGAN.
DICEK KE LAPANGAN (SEKRETARIAT KOPERASI) OLEH TIM BADAN HUKUM KOPERASI
HASIL TIM PENINJAUAN LAPANGAN :
  • a. Apabila sudah memenuhi persyaratan baik administrasi maupun kelengkapan di lapangan maka diterbitkan Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum.
  • b. Apabila ada kekurangan, untuk dilengkapi dahulu, sampai batas waktu paling lama 3 bulan, kalau lebih dari 3 bulan maka berkas dikembalikan kepada Koperasi.
 

Persyaratan Pengurusan SIUP, TDP, TDG & SIUP-MB

Persyaratan Pengurusan SIUP,TDP,TDG & SIUP-MB


A. Persyaratan umum
  1. Mengisi Formulir Surat Permohonan Izin (SPI)
  2. Copy Akte Pendirian Perusahaan & Akte perubahan (jika ada)
  3. Surat Kuasa di atas Materai & Stempel Perusahaan (jika di wakilkan)
  4. Copy KTP Dirut/Pemilik/Penanggung Jawab Perusahaan
  5. Copy NPWP Perusahaan Yang Alamatnya Sesuai Dengan Domosili Camat + Asli diPerlihatkan
  6. Copy Domisili Camat Setempat
  7. Izin Teknis dari Instansi Yang Bersangkutan / Surat Rekomendasi Sesuai Bidang Usahanya ( kecuali untk Siup-MB & TDG)
  8. Surat Ket. Kepemilikan atau Bukti Sewa Tempat Usaha
  9. Denah Lokasi Perusahaan / Tempat Usaha
  10. Neraca Perusahaan Asli + Cap Perusahaan (kecuali untuk TDG)
  11. Pas Photo Warna Ukuran 3 x 4 cm = 4 Lembar (baju kemeja)










PROSEDUR PENGURUSAN SERTIFIKAT TANAH

Prosedur Pengurusan Sertifikat Tanah

prosedurnya adalah sebagai berikut:
-         Anda ke Kantor Pertanahan setempat, dalam hal ini Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan, untuk mengajukan permohonan hak. Dalam hal ini, Anda melampirkan:
  1. identitas diri Anda dan Kakek Anda (KTP, Akta Perkawinan-kalau ada, dan Kartu Keluarga Anda dan kakek Anda),
  2. akta hibah (sebagai bukti peralihan hak),
  3. bukti-bukti penguasaan tanah yang dipunyai kakek Anda dahulu,
  4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
  5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
  6. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
  7. surat keterangan belum bersertipikat, surat keterangan riwayat tanah, dan surat keterangan tidak sengketa, 
-         Kemudian, menandatangani permohonan-permohonan sesuai formulir yang diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional. Kemudian, karena hibah dilakukan antara keluarga dalam garis lurus (kakek Anda dan Anda), maka untuk menunjukkan hal tersebut sehingga Anda tidak perlu membayar PPh, maka dilampiri;
  1. Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB) dari Kantor Pajak setempat,
  2. Akta Perkawinan kakek Anda,
  3. Akta Perkawinan orang tua Anda,
  4. Akta Kelahiran orang tua Anda, 
  5. Akta Kelahiran Anda,
  6. Apabila permohonan pensertipikatan dilakukan melalui jasa notaris/PPAT, juga melampirkan surat kuasa.
-         Kemudian akan dilakukan pengumpulan dan pengolahan data fisik, seperti pengukuran oleh Kantor Pertanahan setempat. Juga dilakukan pengumpulan dan pengolahan data yuridis oleh Kantor Pertanahan setempat, berdasarkan bukti-bukti yang Anda miliki seperti tersebut di atas.
-         Setelah diukur, diteliti dan dimohon sertipikat, akan keluar Surat Keputusan Pemberian Hak. Pada SK Pemberian Hak tersebut akan dicantumkan bahwa untuk tanah Anda akan diberikan status sebagai tanah hak milik, harus membayar pemasukan kepada negara, dan mungkin juga membayar PPh dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sesuai yang tercantum dalam SK. Untuk Adapun besarnya pemasukan kepada negara adalah 2% x Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah.
-         Setelah ketentuan dalam SK Pemberian Hak dipenuhi, maka Kantor Pertanahan akan menerbitkan sertipikat.

 
Dasar hukum:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
  2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional
  4. Peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan, seperti peraturan mengenai pajak.


    Semoga Bermanfaat :)

Kamis, 30 Mei 2013

Penyertaan Dalam Hukum Pidana ( Deelneming )

Penyertaan Dalam Hukum Pidana ( Deelneming )

Dalam Hukum Pidana, diatur Pasal 55 dan 66 KUH Pidana:
1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.
 
1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
 
2. Doen Plegen
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.

3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.

 4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).

Perbedaan Whistle Blower dan Justice Collaborator

Istilah whistle blower dan justice collaborator kini kerap muncul dalam penanganan kasus korupsi di KPK. Istilah keduanya dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Dalam SEMA disebutkan, whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.

Dalam SEMA dijelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu tersebut. Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.

Sedangkan Ayat (3) pasal tersebut adalah, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.

Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes). Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi UU No. 7 Tahun 2006 dan meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional menjadi UU No. 5 Tahun 2009.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, menjadi whistle blower maupun justice collaborator memiliki perlindungan berbeda satu sama lain. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal itu menyebutkan, whistle blower atau saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikan. Sedangkan justice collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya.

Untuk menyamakan visi dan misi mengenai whistle blower dan justice collaborator, dibuatlah Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peraturan Bersama tersebut mengatur tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Menurut Denny, terdapat empat hak dan perlindungan yang diatur dalam peraturan bersama ini. Pertama, perlindungan fisik dan psikis bagi whistle blower dan justice collaborator. Kedua, perlindungan hukum. Ketiga penanganan secara khusus dan terakhir memperoleh penghargaan.

Untuk penanganan secara khusus, terdapat beberapa hak yang bisa diperoleh whistle blower atau justice collaborator tersebut. Yakni, dipisahnya tempat penahanan dari tersangka atau terdakwa lain dari kejahatan yang diungkap, pemberkasan perkara dilakukan secara terpisah dengan tersangka atau terdakwa lain dalam perkara yang dilaporkan.

Kemudian, dapat memperoleh penundaan penuntutan atas dirinya, memperoleh penundaan proses hukum seperti penyidikan dan penuntutan yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan atau kesaksian yang diberikannya. Serta bisa memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau menunjukkan identitasnya.

Selain penanganan secara khusus, saksi sekaligus pelaku tindak pidana tersebut bisa memperoleh penghargaan berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk tuntutan hukuman percobaan. Serta memperoleh pemberian remisi dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila saksi pelaku yang bekerjasama adalah seorang narapidana. Semua hak ini bisa diperoleh oleh whistle blower atau justice collaborator dengan persetujuan penegak hukum.

Dalam kasus korupsi yang ditangani di KPK, setidaknya ada dua orang yang sudah disebut sebagai justice collaborator. Pertama, mantan Anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno yang divonis bersalah menerima suap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004. Agus sendiri sudah memperoleh pembebasan bersyarat sejak akhir Oktober tahun lalu.

Selain itu, Agus, mantan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang juga memperoleh label justice collaborator. Rosa sendiri telah divonis bersalah karena menyuap Sesmenpora Wafid Muharram dalam proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Kini, Rosa tengah menunggu pembebasan bersyarat. Sebelumnya, LPSK bersama KPK mengajukan permohonan agar Rosa diberikan pengurangan hukuman (remisi) yang diharapkan bisa berujung ke pembebasan bersyarat.

Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Parpol

Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Parpol
Yenti Garnasih ;  Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti
 
KORUPSI hampir selalu di lanjutkan dengan pencucian uang. Pemberitaan tentang penanganan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga dikaitkan dengan penerapan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) No 8 Tahun 2010 semakin marak. Kasus demi kasus muncul, semakin menguatkan dugaan bahwa selalu ada praktik pencucian uang dalam perkara korupsi selama hasil korupsi telah dimanfaatkan atau dialirkan. Pelaku korupsi selalu menggunakan uang hasil korupsi untuk berbagai kegiatan, yang dalam konteks teoretis maupun konsep (ketentuan undang undang/UU) perbuatan mengalirkan hasil kejahatan inilah yang disebut sebagai tindak pidana pencucian uang.
Dalam hal terjadi tindak pidana pencucian uang terkait dengan korupsi, UU tidak hanya menjerat orang yang mengalirkan, tetapi juga pihak lain yang menerima. Dengan kata lain, dalam tindak pidana pencucian uang terdapat dua kriteria pelaku, yaitu pelaku aktif yaitu pihak yang mengalirkan hasil kejahatan (korupsi), dan pelaku pasif sebagai pihak yang menerima hasil korupsi. Pelaku aktif akan dijerat dengan Pasal 3 atau Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 3: Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua pu luh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4: Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Adapun pelaku pasif, yaitu orang yang menerima hasil kejahatan, akan terjerat Pasal 5 (1) yang berbunyi: Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

TPPU di partai?
Kasus dugaan korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan beberapa orang, baik dari partai, pengusaha, maupun pihak yang disebut sebagai makelar, membuat KPK memeriksa orang-orang yang diduga menerima dana aliran hasil korupsi. Hiruk pikuk pemberitaan proses hukum kasus tersebut bukan hanya karena dikaitkan dengan sejumlah orang yang menerima aliran dana dari Ahmad Fathanah, melainkan juga ada pengakuan dia dalam persidangan di pengadilan tipikor, yang menyatakan pernah menyumbangkan dana untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tentu saja pengakuan itu langsung disangkal sejumlah kader PKS, yang meyakini bahwa dana yang ada di partai ialah dana yang halal dan mereka tidak menerima sumbangan dari hasil korupsi. Namun, Ketua DPP PKS Mahfud Siddik mempersilakan proses hukum membuktikan ada tidaknya sumbangan itu, dan apakah masuk ke kas partai atau tidak.
Terlepas apakah ada bukti atau tidak bahwa ada dana Fathanah yang berasal dari hasil korupsi yang disumbangkan ke PKS, penting dipahami bahwa apabila suatu partai politik (parpol) ternyata terbukti menerima dana dari hasil korupsi, artinya parpol tersebut telah terlibat tindak pidana pencucian uang dan dapat dijerat dengan Pasal 5. Sebetulnya polemik sebelumnya juga sempat muncul ketika mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin menyatakan bahwa ada dana yang mengalir untuk suatu kegiatan pemiihan ketua umum.
Bila ada bukti adanya aliran dana hasil korupsi ke parpol, KPK harus memeriksa partai. Tidak mungkin KPK menyatakan akan memproses oknum saja, kecuali memang tidak ada bukti keterlibatan partai. KPK tidak bisa menyatakan hanya akan memproses oknum, bukan terhadap partai, kalau ternyata ada dana yang mengalir ke partai. Hal demikian karena UU TPPU mengatur korporasi sebagai subjek hukum, kecuali memang tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa ada dana yang masuk ke kas partai.
Ketentuan yang menyatakan bahwa korporasi ialah subjek hukum UU TPPU terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka ketentuan Pasal 1 angka 9: Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara itu, keterkaitan partai sebagai korporasi tercantum dalam Pasal 1 angka 10: Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa parpol merupakan subjek hukum dari UU TPPU. Dengan demikian, kalau ada bukti permulaan yang cukup bahwa ada aliran dana hasil korupsi yang masuk ke parpol, penyidik seharusnya memproses secara hukum. Sebetulnya ketentuan bahwa korporasi bisa menjadi subjek hukum bukan hanya dalam UU TPPU. Banyak UU yang mengatur hal tersebut, seperti UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Lingkungan Hidup. Bahkan UU No 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi sudah mengatur ten tang korporasi se bagai subjek hu kum pidana.

Harus didalami
KPK seharusnya mendalami semua informasi yang didapatkan. KPK juga harus mencari bukti-bukti penerimaan ke partai seperti yang dikatakan Fathanah, siapa yang menerima, bagaimana kapa sitas yang me nerima, apakah dia seorang pengurus yang dalam UU TPPU disebut sebagai pengendali korporasi, dan dia menerima sesuai dengan fungsinya sebagai pengurus partai itu (apakah posisi yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk mencari dana partai, hal ini bisa dilihat dalam AD/ ART, apa tugas pokoknya), apakah penerimaan sesuai dengan tujuan atau program partai, dan yang paling penting ialah apakah dana itu berasal dari korupsi.
Ketentuan yang harus diikuti dalam mencari atau mendalami ada tidaknya keterlibatan partai (parpol apa pun) dalam penerimaan dana hasil korupsi, sebagaimana telah diuraikan tadi, diatur dalam Pasal 6 ayat (2) yang berisi bahwa pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang: a) dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi; b) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; c) dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d) dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
Apakah parpol dapat dibubarkan kalau terlibat TPPU? Bagaimana kalau suatu parpol ternyata terbukti di pengadilan menerima dana hasil korupsi (Pasal 5), atau bahkan terlibat ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4? Dalam Pasal 6 jelas diatur bahwa korporasi (parpol) dapat dijatuhi sanksi pidana. Hal itu tercantum sebagai berikut. (1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personel pengendali korporasi.
Bagaimana bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, itu dicantumkan dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Kemudian, apakah korporasi (dalam hal ini parpol) dapat dibubarkan, hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d. Dengan demikian, apakah parpol akan dijatuhi sanksi berupa pembubaran sangat bergantung pada putusan hakim. Sebab, penjatuhan pidana berupa pembubaran dan/atau pelarangan korporasi merupakan pidana tambahan yang bisa dijatuh kan bersamaan dengan pidana pokok sesuai ayat (1) tersebut.
Secara keseluruhan, pidana tambahan tersebut, seperti yang tercantum pada Pasal 6 ayat (2), yaitu selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a) pengumuman putusan hakim; b) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; c) pencabutan izin usaha; d) pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; e) perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau f) pengambilalihan korporasi oleh negara.
Bahkan terkait dengan sanksi korporasi yang melakukan TPPU, perlu juga diperhatikan ketentuan Pasal 9 ayat (1): Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personel pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. 2) Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personel pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Dari ketentuan tersebut, seharusnya dipahami bahwa para pengurus korporasi (dalam hal ini parpol) yang terlibat TPPU akan terancam juga oleh sanksi pidana yang cukup berat.

Perlu diwaspadai
Negara harus mewaspadai pendanaan parpol dari praktik pencucian uang. Kita harus ingat bahwa hasil korupsi di negara ini yang ‘masih beredar’ sangat tinggi. Kerugian negara mencapai triliunan rupiah, dan yang sudah dirampas negara jumlahnya masih sangat kecil ketimbang yang dikorupsi. Dana tersebut sangat mungkin masuk pendanaan pemilu atau kegiatan parpol, dan ini sangat berbahaya bagi tegaknya demokrasi. Kalau itu terjadi, artinya kegiatan parpol digunakan sebagai sarana pencucian uang.
Kekhawatiran itu bukan sesuatu yang mengada-ada, karena kewaspadaan adanya hasil korupsi masuk kegiatan parpol sudah sering dibicarakan dan harus diantisipasi. Misalnya saja seperti yang ditekankan pada suatu strategi internasional yang tertuang dalam Common Rules against Corruption in the Funding of Political Parties and Electoral Campaigns, atau Framework Principles on Promoting Good Governance and Combating Corruption.
Dari dua dokumen tersebut diingatkan betapa berbahayanya bila hasil korupsi masuk kas keuangan parpol. Selain itu, di dalamnya terdapat imbauan untuk melarang penggunaan hasil kejahatan, termasuk korupsi masuk kas partai dan juga harus ada konsep tentang transparansi penggunaan dana dan pembatasan jumlah sumbangan, serta adanya akses untuk menjamin keterbukaan pada publik (proscribe the use of funds acquired through illegal and corrupt practices to finance political parties and enshrine the concept of transparency in the funding of political parties by requiring the declaration of donation exceeding a specified limit).
Prakarsa internasional itu berangkat dari pemikiran bahwa biaya kampanye bisa sedemikian tinggi, dan hal itu juga mendorong parpol untuk tidak terlalu menghiraukan dari mana datangnya sumbangan. Selain itu, dana besar yang berasal dari hasil kejahatan juga akan memengaruhi sikap berpolitik para pelaku parpol.

Bila kita ingin pemerintahan negara ini bersih karena terbentuk melalui pemilu yang jurdil dan dibiayai dengan dana dari sumber yang bersih pula, tidak ada pilihan lain kecuali hukum harus ditegakkan, termasuk bila ada dana yang mengalir ke parpol.

ISTILAH P18, P19, P21 didalam PERKARA PIDANA

ISTILAH P18, P19, P21 didalam perkara pidana

               Didalam dunia hukum khususnya Pidana, sering kita mendengar istilah kode P18, P19 ataupun P21 baik di media masa maupun Media Elektronik. Kadang-kadang orang yang tidak mengerti arti dari kode-kode tersebut diatas hanya bertanya-tanya, dalam hal ini kami akan jelaskan  tentang kode-kode yang seringkali kita mendengarnya berdasarkan Peraturan Hukum yang berlaku. 
 
                Kode-kode tersebut didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. Kode-kode tersebut adalah “ kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana.”
Lebih lengkapnya rincian dari kode-kode Formulir Perkara adalah:
P-1         Penerimaan Laporan (Tetap)
P-2         Surat Perintah Penyelidikan
P-3         Rencana Penyelidikan
P-4         Permintaan Keterangan
P-5         Laporan Hasil Penyelidikan
P-6         Laporan Terjadinya Tindak Pidana
P-7         Matrik Perkara Tindak Pidana
P-8         Surat Perintah Penyidikan
P-8A      Rencana Jadwal Kegiatan Penyidikan
P-9         Surat Panggilan Saksi / Tersangka
P-10       Bantuan Keterangan Ahli
P-11       Bantuan Pemanggilan Saksi / Ahli
P-12       Laporan Pengembangan Penyidikan
P-13       Usul Penghentian Penyidikan / Penuntutan
P-14       Surat Perintah Penghentian Penyidikan
P-15       Surat Perintah Penyerahan Berkas Perkara
P-16       Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan       Perkara Tindak Pidana
P-16A    Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
P-17       Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan
P-18       Hasil Penyelidikan Belum Lengkap
P-19       Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi
P-20       Pemberitahuan bahwa Waktu Penyidikan Telah Habis
P-21       Pemberitahuan bahwa Hasil Penyidikan sudah Lengkap
P-21A    Pemberitahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap
P-22       Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-23       Surat Susulan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-24       Berita Acara Pendapat
P-25       Surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara
P-26       Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
P-27       Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penuntutan
P-28       Riwayat Perkara
P-29       Surat Dakwaan
P-30       Catatan Penuntut Umum
P-31       Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa (APB)
P-32       Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat (APS) untuk Mengadili
P-33       Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara APB / APS
P-34       Tanda Terima Barang Bukti
P-35       Laporan Pelimpahan Perkara Pengamanan Persidangan
P-36       Permintaan Bantuan Pengawalan / Pengamanan Persidangan
P-37       Surat Panggilan Saksi Ahli / Terdakwa / Terpidana
P-38       Bantuan Panggilan Saksi / Tersngka / terdakwa
P-39       Laporan Hasil Persidangan
P-40       Perlawanan Jaksa Penuntut Umum terhadap Penetapan Ketua PN / Penetapan Hakim
P-41       Rencana Tuntutan Pidana
P-42       Surat Tuntutan
P-43       Laporan Tuntuan Pidana
P-44       Laporan Jaksa Penuntut Umum Segera setelah Putusan
P-45       Laporan Putusan Pengadilan
P-46       Memori Banding
P-47       Memori Kasasi
P-48       Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan
P-49       Surat Ketetapan Gugurnya / Hapusnya Wewenang Mengeksekusi
P-50       Usul Permohanan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
P-51       Pemberitahuan Pemidanaan Bersyarat
P-52       Pemberitahuan Pelaksanaan Pelepasan Bersyarat
P-53       Kartu Perkara Tindak Pidana
Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat bagi rekan-rekan yang membacanya juga untuk menambah pengetahuan bagi rekan-rekan semuanya.
Terima kasih