Fungsi
Peraturan Kebijakan Dalam Melengkapi Sistem Perundang-undangan Administrasi
Negara .
1.
Pengertian Peraturan Kebijakan
Peraturan
Kebijakan (beleidsregels, spiegelsrecht, pseudowetgeving, olicy rules) adalah
ketentuan (rules bukan law) yang dibuat oleh pemerintah sebagai administrasi
negara. Cabang-cabang pemerintahan yang lain tidak berwenang membuat peraturan
kebijakan. Presiden sebagai kepala negara tidak dapat membuat peraturan
kebijakan. Kewenangan Presiden membuat peraturan kebijakan adalah dalam
kedudukan sebagai badan atau pejabat administrasi negara, bukan sebagai kepala
negara.
Peraturan kebijakan bukan (tidak termasuk)
salah satu bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan, meskipun dalam
banyak hal tampak (menampakkan gejala) sebagai peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, penggunaan istilah peraturan dalam arti wetgeving
(peraturan perundang-undangan) sebenarnya kurang tepat. Kalaupun dipergunakan
istilah peraturan bukan dalam padanan wetgeving atau legislation,
tetapi sebagai padanan regel atau rule. Dalam kaitan penamaan
tersebut, lebih tepat dinamakan beleidsregel daripada pseudowetgeving.
Dalam bahasa Indonesia, istilah regel
atau rule mungkin lebih tepat berpadanan dengan kata ketentuan
dibandingkan peraturan atau peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
keputusan administrasi negara sebagai beleidsregel akan dinamakan
ketentuan kebijakan. Dengan memakai kata ketentuan akan nampak bedanya dengan
peraturan yang dapat berarti sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan, yakni peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
Pembuatan peraturan kebijakan diperlukan
dalam rangka menjamin ketaat-azasan (konsistensi) tindakan administrasi.
Ketaat-azasan ini bukan hanya berlaku bagi tindakan yang bersumber atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan, juga berlaku bagi tindakan-tindakan
yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Kebutuhan akan ketaat-azasan ini
berkaitan dengan azas-azas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak (algemene
beginselen van behoorlijk bestuur) antara lain azas kesamaan (gelijkheidsbeginsel),
azas kepastian hukum (rechtszekerheidsbegin-sel) dan azas dapat
dipercaya (vertrowenbeginsel).
Dengan adanya peraturan kebijakan tersebut,
maka akan terjamin ketaat-azasan tindakan administrasi negara dan untuk setiap
peristiwa yang mengandung persamaan, kepastian hukum, dan tindakan-tindakan
dapat dipercaya karena didasarkan pada peraturan yang sudah tertentu.
2. Peraturan Kebijakan dalam Sistem Hukum di Indonesia
Hukum merupakan
suatu sistem karena diikat oleh azas hukum. Oleh karena itu apabila memahami
hukum sebagai suatu sistem hukum, maka hukum mengandung nilai-nilai yang
merupakan satu kesatuan. Demikian halnya dengan suatu peraturan
perundang-undangan yang merupakan suatu sistem yang bersumber pada suatu nilai
tertentu. Sistem nilai ini dapat membentuk masyarakat menurut pola yang dikehendaki
dan pedoman bagi pembentukan undang-undang dalam menentukan pola tingkah laku
masyarakat. Dengan kata lain hukum tidak saja digunakan untuk mengukuhkan
pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang ada pada masyarakat, melainkan juga
mengarah pada tujuan-tujuan yang dikehendaki.[1]
Pembentukan
peraturan perundangan dalam rangka harmonisasi hukum menuju hukum responsif,
diselenggarakan melaui proses demokratis dan terintegrasi yang dijiwai
Pancasila dan bersumber pada UUD 1945, untuk menghasilkan produk peraturan
perundang-undangan yang harmonis sampai pada tingkat peraturan pelaksanaannya.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran,
sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat,
dan nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam rangka
menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terintegrasi, penting
dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan penataan dan penyesuaian
unsur-unsur tatanan hukum nasional, dengan meletakan pola piker yang melandasi
penyusunan kerangka sistem hukum nasional yang dijiwai Pancasila dan UUD 1945.
dalam perspektif demikian, harmonisasi hukum dimaksud, saling bersinggungan
dengan sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu
terciptanya harmonisasi perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
Dalam rangka
harmonisasi hukum, melakukan penataan dan penyesuaian unsur-unsur sistem hukum
nasional serta pembaharuan hukum nasional terutama bidang-bidang hukum yang
bersifat umum dan netral. Bidang hukum sebagai landasan hukum dalam menghadapi
peningkatan perekonomian pada pemerintahan daerah, seperti halnya dalam
peraturan tentang penyelenggaraan pelayanan perizinan. Sebagai landasan dan
masalah dalam menghadapi semua itu, dapat diatasi dan ditempuh langkah-langkah
dengan melakukan harmonisasi hukum dan praktek melalui upaya penyusunan
peraturan-peraturan hukum yang diusulkan melalui salah satu lembaga
pemerintahan, yang kemudian diaktualisasikan secara seragam oleh pemerintah
daerah melalui peraturan daerahnya masing-masing. Dalam rangka menciptakan harmonisasi
hukum dan pembaharuan sistem perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun
2004 yang diantaranya adalah:
- UUD 1945
- Undang-undang / Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah
Ditegaskan
dalam UUD 1945 setelah amandemen, kekuasaan untuk menjalankan fungsi legislasi
membentuk undang-undang tidak berada pada presiden, melainkan pada DPR. Perubahan
kekuasaan legislatif membentuk undang-undang tersebut, mengandung implikasi
yang mendasar terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam
keadaan demikian langkah ideal yang perlu untuk ditempuh adalah melakukan
harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan meletakan pola pikir yang
mendasari penyusunan sistem peraturan perudang-undangan dalam kerangka sistem
hukum nasional, yang mencakup unsur-unsur materi hukum, struktur hukum beserta
kelembagaannya dan budaya hukum.
Dalam hal isi materi
yang berkenaan dengan kepentingan dan kebutuhan internal administrasi
pemerintahan, dikenal adanya bentuk-bentuk peraturan yang disebut sebagai
peraturan kebijakan (beleidsregels) dalam menjalankan tugas-tugas
pemerintahan. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang melekat dan berasal
dari administrasi negara. Peraturan kebijakan pada dasarnya hanya menekankan
pada aspek kemanfaatan (doelmatigheid) daripada rechtsmatigheid
dalam rangka Freies Ermessen, yaitu prinsip kebebasan menentukan
kebijakan-kebijakan atau kebebasan bertindak yang diberikan kepada administrasi
negara untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Freies
Ermessen akan berarti positif apabila dapat menjadi umpan balik kepada
legislatif untuk perbaikan undang-undang. Sebaliknya, Freies Ermessen akan
menimbulkan efek negatif apabila timbul budaya pragmatisme, yaitu pengambilan
keputusan yang hanya didasarkan pada pertimbangan praktis, keberpihakan kepada
kelompok kepentingan tertentu dan bersifat sesaat serta berjangka waktu pendek.
Kondisi di
atas, seperti apa yang terjadi dalam Permendagri No. 20 Tahun 2008 tentang
Pedoman Organisasi dan Tatakerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu di Daerah
merupakan salah satu bentuk kebijakan dari menteri dalam negeri sebagai pejabat
negara atau admninistrasi negara dalam upaya peningkatan pelayanan perizinan di
daerah. Munculnya kebijakan itu mengakibatkan terjadinya beberapa permasalahan
baru dalam rangka pelayanan perizinan, terlebih lagi sebelum terbitnya
kebijakan tersebut telah ada peraturan-peraturan lain yang sama-sama mengatur
tentang penanaman modal dan pelayanan perizinan, yang diantaranya adalah
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah,
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Satu Pintu dan terakhir adalah Undang-undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Dari berbagai peraturan tersebut dapat diketahui bahwa
dalam pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan telah terjadi disharmoni
di antara peraturan-peraturan tersebut.
Menurut
Purbopronoto,[2]
Freies Ermessen dapat berbeda dengan kebijakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang layak. Kebijakan merupakan perpaduan jiwa
idealistis-realistis dengan pragmatis, sedangkan azas kebijakan dalam azas-azas
pemerintahan yang layak adalah suatu pandangan jauh ke depan dari pemerintah.
Berkenaan dengan hal itu, prinsip kebebasan menentukan peraturan kebijakan dalam
rangka Freies Ermessen harus didasarkan pada azas penyelenggaraan
pemerintahan yang layak.
Untuk menjaga
konsistensi sistem pembagian kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif
secara tegas, Freies Ermessen tidak dapat dipergunakan dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan secara teknis. Peraturan kebijakan
dapat menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, karena hanya menekankan
aspek doelmatigheid daripada rechtsmatigheid. Secara sepintas hal
demikian dapat dipandang untuk mengisi kekosongan hukum atau terobosan atas
ketentuan hukum yang dipandang sudah tidak memadai. Akan tetapi apabila
mengabaikan azas-azas umum pemerintahan yang layak dapat menimbulkan kerancuan
dan ketidakpastian hukum.
3.
Fungsi Peraturan Kebijakan Dalam Sistem Hukum
Freies Ermessen Muncul sebagai alternatif untuk
mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan azas legalitas (wetmatigheid
van bestuur). Bagi negara yang bersifat welfare state, azas
legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani
kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu
dan teknologi. Di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, Freies
Ermessen dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut.
a. belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang penyelesaian in konkrito terhadap suatu masalah tertentu,
padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera. Misalnya dalam
menghadapi suatu bencana alam ataupun wabah penyakit menular, aparat pemerintah
harus segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagi negara maupun bagi
rakyat, tindakan yang semata-mata timbul atas prakarsa sendiri.
b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya. Misalnya dalam
pemberian izin berdasarkan Pasal 1 HO, “menimbulkan keadaan bahaya” sesuai
dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing.
c. Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat
pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaan
itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya dalam
menggali sumber-sumber keuangan daerah. Pemerintah daerah bebas untuk
mengelolanya asalkan sumber-sumber itu merupakan sumber yang sah.[3]
Menurut Marcus Lukman, peraturan
kebijakan dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna yang berarti:
1.)
tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi,
menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan
perundang-undangan.
2.) tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan
bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan.
3.) tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan
bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak,
benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4.) tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan
untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan
zaman.
5.) tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran
pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi di bidang pemerintahan dan
pembangunan yang bersifat cepat berubah dan memerlukan pembaruan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi.[4]
4.
Peran Hukum Administrasi Negara Membentuk Peraturan Perundang-undangan
1. Mengatur
Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Sesuai
dengan obyeknya, maka Hukum Administrasi Negara yang mengatur tata cara
pembentukan peraturan perundangan-undangan adalah tata cara dalam lingkungan
administrasi negara.
Dalam
hal pembentukan undang-undang, maka yang mengatur tata cara administrasi negara
menjalankan wewenang pembentukan undang-undang antara lain mengenai cara-cara
penyusunan RUU dalam rangka pelaksanaan kekuasaan Presiden membentuk
undang-undang.
Ketentuan administratif ini sangat penting karena akan
menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas dalam menyiapkan RUU atau RPP,
dll.
2.
Mengatur Kewenangan Administrasi Negara dalam Membuat atau Membentuk Peraturan
Perundang- Undangan
Hukum Administrasi Negara baik yang berbentuk undang-undang atau
peraturan lain dapat menetapkan badan-badan administrasi negara yang berwenang
membuat peraturan perundang-undangan atau membuat keputusan administrasi
negara.
Undang-Undang Nomor 10/2004 dan Undang-Undang Nomor 32/2004,
memuat ketentuan yang memberi wewenang kepada lembaga pemerintahan tertentu
atau administrasi negara untuk membuat peraturan perundang-undangan atau
membuat ketetapan administrasi negara.
3.
Mengatur Materi Muatan bagi Ketentuan-Ketentuan Administrasi Negara
Tidak jarang Hukum Administrasi Negara, terutama yang berbentuk
peraturan perundang-undangan, mengatur mengenai hal-hal yang harus menjadi
materi muatan suatu peraturan perundang-undangan atau suatu muatan keputusan
administrasi negara.
Ketentuan tersebut, dapat dijumpai seperti pada bidang perizinan,
perpajakan, dll;
Peran Hukum Administrasi Negara dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Pertama, secara struktural,
Hukum Administrasi Negara, terutama yang berbentuk peraturan
perundang-undangan, merupakan bagian utama susunan peraturan peraturan
perundang-undangan. Baik dalam jumlah maupun sifat, peraturan
perundang-undangan terutama tersusun dari ketentuan Hukum Administrasi Negara.
Kedua, dari segi fungsi, Hukum Administrasi
Negara ikut menentukan cara-cara pembentukan peraturan perundang-undangan baik
yang berkaitan dengan kewenangan, materi muatan maupun tata cara
penyelenggaraan.
[2] Koentjoro
Purbopronoto. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara. Bandung. Alumni. 1978. Hlm : 30.