PERANAN
BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 K U H A P.
PROPOSAL
PERANAN BARANG BUKTI DALAM
PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 KUHAP
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri
Kelas 1B Bukittinggi).
A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum merupakan salah satu
usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam
masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun pemberantasan ataupun
penindakan setelah terjadinya pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan
secara preventif maupun represif. Dan apabila Undang-undang yang menjadi dasar
hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah
sesuai dengan tujuan dari falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa, maka
dalam upaya penegakan hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan
dari tindak acara pidana adalah untuk mencapai dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat.
Dalam perkembangannya hukum acara
pidana di indonesia dari dahulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa
yang di sebut sebagai pembuktian, apa saja jenis tindak pidananya pastilah melewati
proses pembuktian. Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana
Indonesia yang ada pada KUHAP yang masih menganut Sistem Negatif
Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya
untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya
adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. hal ini didalam pembuktian
pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat
bukti dan barang bukti di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan
hakim dalam pembuktian.
Sehingga dalam hal pembuktian adanya
peranan barang bukti khususnya kasus-kasus pidana yang pada dewasa ini semakin
beragam saja, sehingga perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini.
Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang
sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya
suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk
menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan
oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.
Barang bukti tersebut antara lain
meliputi benda yang merupakan objek-objek dari tindak pidana, hasil dari tindak
pidana dan benda-benda lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Untuk
menjaga kemanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan
kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan
syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang[1].
Pasal-pasal KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan
biasa diatur didalam Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP yang berbunyi
:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan
Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat
bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Ketentuan
di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan
hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara yang didakwakan
telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan pasal 183 KUHAP di atas
mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa
menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :
1. pembuktian harus dilakukan
menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,
2. Dan keyakinan hakim yang juga
harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang.
Yang disebut pertama dan kedua satu
sama lainnya berhubungan sedemikian rupa, dapat dikatakan bahwa yang disebut kedua
dilahirkan dari yang pertama, sesuai dengan hal ini maka kita juga mengatakan
bahwa adanya keyakinan hakim yang sah adalah keyakinan hakim yang di peroleh
dari alat-alat bukti yang sah jadi dapat dikatakan bahwa suatu keyakinan hakim
dengan alat-alat bukti yang sah merupakan satu kesatuan.[2]
Dengan suatu alat bukti saja
umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang
sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan
demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dan arti
yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang demikian diperlukan
juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari dari alat-alat
bukti yang sah.
Sedangkan yang dimaksud dengan
alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 184
KUHAP sebagai berikut :
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa.
Mengenai alat-alat bukti ini sebelum
KUHAP diatur didalam Pasal 295 R.I.D dan seterusnya yaitu :
kesaksian-kesaksian, surat-surat, pengakuan, petunjuk-petunjuk.
Seperti diketahui bahwa didalam
pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut).
Bahwa semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada
pengalaman, penglihatan, dan pemikiran tentang sesuatu yang selalu tidak pasti
benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum
seseorang, maka sebagian besar dari pelaku tindak pidana tidaklah dapat di
hukum, pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya
yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu
kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan
yang telah di dakwakan sedangkan ketidaksalahannya walaupun selalu ada
kemungkinan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima.
Jika hakim atas dasar alat-alat
bukti yang selalu yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat
diterima, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah
dalam hal tersebut yang bersalah (guilty), maka terdapatlah bukti yang
sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan[3].
Dan dalam hal pembuktian pidana kita mengenal istilah yang berbunyi : “Tidak
dipidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa Belanda :“Geen straf zonder
schuld” disinilah letak pelunya pembuktian tersebut apakah seseorang
benar-benar bersalah menurut apa yang diatur dalam Undang-undang yang ditujukan
kepadanya.
Dalam hal tersebut dapatlah disimpulkan
bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim
didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak mencukupi. Umpamanya dengan
keterangan dari seorang saksi saja ataupun karena keyakinan tentang tindak
pidana itu sendiri tidak ada. Maka haruslah ketentuan yang menjadi keharusan
didalam Pasal 183 KUHAP tersebut terpenuhi keduanya.
Hakim tidak boleh memperoleh
keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahui dari luar
persidangan. Tetapi haruslah memperoleh dari bukti yaitu dari alat-alat bukti
yang sah dan adanya tambahan dari keterangan barang bukti yang terdapat di
dalam persidangan, sesuai dengan syarat-syarat yang di tentukan Undang-undang,
umpama dalam hal terdakwa tidak mengakui dari atau dengan kesaksian sekurang-kurangnya
dua orang saksi yang telah di sumpah dengan sah dimuka pengadilan.
Apabila hakim dari alat-alat bukti
yang sah tidak memperoleh keyakinan maka ia berwenang untuk menjatuhkan putusan
bebas dari segala tuntutan. Dengan demikian walaupun lebih dari dua orang saksi
menerangkan di atas sumpah bahwa mereka telah melihat seseorang telah melakukan
tindak pidana, maka hakim tidaklah wajib menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa,
jika hakim tidak yakin bahwa ia dengan kesaksian oleh lebih dari dua orang saksi
tersebut benar-benar dapat dipercaya dan oleh karena tujuan dari proses pidana
adalah untuk mencari kebenaran materil, maka hakim akan membebaskan terdakwa
dalam hal ini.
Maka haruslah diingat bahwa
keyakinan hakim tersebut bukanlah timbul dengan sendirinya saja, tetapi
haruslah timbul dari alat-alat bukti yang sah yang telah disebutkan didalam
Undang-undang, dan tidak dari keadaan-keadaan lain. Tidaklah dapat di
pertanggung jawabkan suatu keputusan walaupun sudah cukup alat-alat bukti
yang sah hakim begitu saja mengatakan bahwa ia tidak yakin dan karena itu ia
membebaskan terdakwa, tampa menjelaskan lebih lanjut apa sebab-sebab ia tidak
yakin. Keyakinan Hakim disini tidak saja terhadap alat-alat bukti yang di
tentukan didalam Pasal 184 KUHAP saja tetapi adanya peranan dari barang-barang
bukti yang di temukan di tempat kejadian perkara seperti pisau atau peluru yang
dipakai untuk membunuh dan mencelakai orang lain, sebagaimana yang dijelaskan
didalam Pasal 39 KUHAP ayat (1) yang berhubungan dengan barang bukti sebagai
hasil dari penyitaan dan barang-barang yang dapat disita yang dilakukan
penyidik dalam menjalankan fungsinya.
Jadi walaupun barang bukti tidak
diatur didalam Pasal 183 KUHAP atau didalam pasal tersendiri didalam KUHAP
sebagai salah satu syarat dalam pembuktian namun barang bukti menurut saya
mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang
bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal juga
bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktik
peradilan, barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang
berfungsi sebagai tambahan dalam pembuktian.
Dari uraian dan konsep-konsep yang
dikemukakan di atas akan timbul pertanyaan, kenapa hakim sampai membebaskan
terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum, sementara segala bukti yaitu
yang berasal dari alat-alat bukti yang sah telah mencukupi bukti minimum. Atau
sebaliknya hakim dapat menghukum seseorang yang kalau dilihat dari sudut
yuridis, kenyataannya tidak bersalah. Jadi secara fungsional kegunaan
barang-barang bukti dalam suatu pembuktian pidana adalah ada hubunannya dengan
alat-alat bukti dan keyakinan hakim dalam suatu pembuktian pidana di Indonesia
sehingga timbulnya suatu putusan hakim (sentencing) yang
setidak-tidaknya mendekati kebenaran Materil.
Maka akhirnya timbulah keinginan
penulis untuk mengetahui lebih jauh tentang hal-hal tersebut diatas dalam
sebuah tulisan atau skripsi dengan judul : “PERANAN BARANG BUKTI DALAM
PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 KUHAP (Studi Kasus di Pengadilan
Negeri Kelas 1B Bukittinggi).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
yang telah dikemukakan diatas, dapat di kemukakan permasalahan sebagai berikut
:
- Bagaimanakah peranan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana di Pengadilan Negeri kelas 1B Bukittinggi ?
- Bagaimanakah tahap-tahap pengumpulan barang bukti serta apakah yang menjadi kendala-kendala dalam peninjauan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana dipengadilan negeri kelas 1B Bukittinggi?
- Bagaimanakah status barang bukti setelah adanya putusan hakim pada Pengadilan Negeri kelas 1B Bukittinggi ?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini secara umum bertujuan
untuk memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa Fakultas Hukum yang akan menyelesaikan
pendidikan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum, sedangkan kalau dilihat dari
rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah :
- Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimanakah peranan barang bukti dalam pembuktian perkara pidana.
- Untuk mengetahui bagaimanakah tahap-tahap pengumpulan barang bukti serta kendala-kendala dalam peninjuan barang bukti pembuktian perkara pidana di Pengadilan?
- Untuk mengetahui dan menjelaskan status barang bukti setelah adanya putusan hakim.
D. Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Manfaat Teoritis
- Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk tulisan yang diharapkan dapat diterima sebagai sumbangan pemikiran serta menambah bahan bacaan di perpustakaan.
- Menerapkan teori-teori yang diperoleh dibangku perkuliahan dan menghubungkannya dengan praktek di lapangan.
- Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penulis baik dibidang hukum pada umumnya maupun dibidang hukum keperdataan, bidang hukum ekonomi dan bidang hukum lain pada khususnya.
- Dapat digunakan sebagai salah satu kelengkapan dalam persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Bukittinggi.
- Manfaat Praktis
Diharapkan dari hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis sendiri serta seluruh pihak-pihak yang terkait
dalam hal ini baik masyarakat, pemerintah, penegak hukum, khususnya pihak-pihak
yang ada kaitanya dengan permasalahan yang dikaji.
E. Kerangka Teoritis dan kerangka
konseptual
Berlakunya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia yang masih menganut sistem
pembuktian secara Negatief Wettelijk dalam pembuktian sebuah perkara
pidana di Indonesia yang pada dasarnya adalah demi mencari kebenaran materil
dan kepastian hukum pidana yang semakin nyata dibutuhkan di dalam suatu
masyarakat. Hal ini haruslah dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang telah
dibuat, yaitu aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, serta menentukan kapan dan dalam
hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat
dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan dan menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut. [4]
Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dijelaskan secara eksplisif
mengenai pengertian pembuktian dalam pasal-pasal tertentu, namun mengenai
pengertian pembuktian ini tersebar pada satu bab khusus mengenai pembuktian dan
putusan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu yang terdapat di dalam Pasal 183
sampai dengan Pasal 202 KUHAP. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa
pentingnya pembuktian didalam penyelesaian suatu perkara pidana di Indonesia.
Suatu pembuktian menurut hukum
merupakan suatu proses menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta
yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap
fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang dalam
hubungannya didalam perkara pidana. Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan
ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian.
Di dalam Pasal 183 KUHAP menjelaskan
tentang apa apa yang diharuskan di dalam suatu pembuktian perkara pidana di
Indonesia diantaranya perlunya minimal dua alat bukti yang sah yang memperoleh
keyakinan hakim bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah
pelakunya, hal ini sangat penting karena menjadi patokan dalam proses
pembuktian di Indonesia, gunanya adalah tidak lain dari untuk mencari suatu
kebenaran materil. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum acara pidana yang antara
lain dapat dibaca didalam pedoman pelaksanan KUHAP yang dikeluarkan oleh
Menteri kehakiman sebagai berikut : [5]
“ Tujuan dari hukum acara pidana
adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan
untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelangaran
hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang di dakwakan itu dapat di persalahkan.”
Prinsip batas minimal pembuktian
yang terdiri sekurang-kurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang
saksi atau saksi di tambah satu alat bukti yang lain, hal ini merupakan batasan
pembuktian yang lebih ketat dari pada dahulu yang di atur di dalam HIR yaitu
pada Pasal 292 sampai dengan Pasal 322 tentang permusyawaratan, bukti dan
putusan hakim, hal ini sangat berdampak pada suasana penyidikan yang tidak lagi
main tangkap dulu baru nanti di pikirkan pembuktian, namun metode kerja
penyidik menurut KUHAP haruslah di balik yaitu lakukan penyidikan dengan cermat
dengan teknik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti yakni
alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP dan termasuk bukti lain yang
berasal dari barang-barang bukti hasil kejahatan[6].
Dari bukti bukti tersebut baru dilakukan pembuktian.
Mengenai barang-barang bukti yang
dimaksud yaitu diatur didalam Pasal 39 KUHAP tentang apa apa yang dapat
dikenakan tidakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara yang dapat
dikatakan sebagai barang bukti. Di pengadilan barang bukti tersebut
dipergunakan pada saat pemeriksaan barang bukti guna dilakukanya pengesahan
terhadap barang bukti tersebut yang dilakukan dengan cara memperlihatkan
langsung kepada terdakwa maupun saksi, lalu diberikan pertanyaan baik kepada
terdakwa maupun saksi yang berhubungan dengan barang bukti yang dihadirkan
didalam persidangan guna terang dan ditemukannya fakta-fakta mengenai kesalahan
terdakwa atau ketidaksalahan tedakwa sendiri (guilty or not guilty). Hal
ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya adanya pemeriksaan barang bukti
di pengadilan guna mengungkapkan suatu peristiwa pidana.
Membuktikan mengandung maksud dan
usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima
oleh akal terhadap kebenaran suatu peristiwa tersebut. Dalam proses acara
pidana sangat diperlukan adanya pembuktian yang memegang peranan penting
didalam sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Bahwa di dalam Pasal 183
KUHAP ini diisyaratkan pula bahwa segala pembuktian haruslah didasarkan atas
adanya keyakinan hakim terhadap minimum alat bukti yang diatur di dalam
undang-undang ini. Pembuktian ini juga diatur di dalam aturan yang dahulu
diatur HIR pada Pasal 294 yaitu sebagai berikut :
“Tidak seorangpun boleh dikenakan
hukuman, selain jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah,
bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang
yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu.”
Hal ini menjelaskan kepada kita
bahwa didalam sistem pumbuktian di Indonesia baik dahulu yang di atur di dalam
HIR maupun sekarang yang diatur di dalam KUHAP mengisyaratkan pentingnya
keyakinan hakim dalam pembuktian perkata pidana.
“Menurut Subekti, ketidakpastian
hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willekeur)
akan timbul apabila hakim, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, diperbolehkan
menyandarkan putusan hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan
sangat murni. Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh
undang-undang dinamakan alat bukti”.[7]
Kerangka konseptual
Kerangka konseptual merupakan suatu
kerangka yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan tertentu dan juga
berisikan defenisi-defenisi yang dijadikan pedoman dalam penulisan skripsi ini.
Untuk itu penulis akan menguraikan secara singkat tentang maksud dalam
pemilihan judul dalam skripsi ini :
- Barang Bukti
“Barang bukti : benda-benda yang
dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar dapat meyakinkan hakim
akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang di tuduhkan.”[8]
- Pembuktian
Pembuktian berasal dari kata “bukti”
yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “membuktikan” diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau
meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata “pembuktian diartikan sebagai
proses, perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa
di dalam sidang pengadilan.[9]
“M.Yahya Harahap, pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”
[10]
- Tindak Pidana
“Tindak pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat
dikatakan sebagai subjek tindak pidana.”[11]
- Hukum Pembuktian
“keseluruhan aturan atau peraturan
Undang-undang mengenai setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan
persangkaan terhadap orang yang di duga melakukan perbuatan pidana dan
pengesahan setiap saran bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana.”[12]
Hukum pembuktian dalam arti
luas adalah keseluruhan hukum yang mengatur proses pembuktian suatu kasus
pidana berdasarkan alat-alat bukti menurut Undang-undang dan barang bukti yang
ditemukan. Sedangkan hukum pembuktian dalam arti sempit adalah keseluruhan
ketentuan hukum yang mengatur proses pembuktian suaru kasus pidana didepan
pengadilan berdasarkan alat bukti menurut undang-undang dan barang bukti yang
ada
- Putusan hakim
Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP
adalah :
“Putusan pegadilan adalah pernyataan
Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut cara yang di atur didalam Undang-undang”.
F. Metode Penelitian
Adapun metode yang dilakukan dalam
penelitian ini, adalah sebagai berikut:
- Metode Pendekatan Masalah.
Pendekatan masalah yang digunakan di
dalam penelitian ini adalah bersifat yuridis sosiologis[13] (Sosiologis Research). Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendekatan Undang-undang, pendekatan
kasus dan pendekatan konseptual[14]. Menekankan praktek dilapangan dikaitkan
dengan aspek hukum atau perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan objek
penelitian yang dibahas dan melalui norma-norma yang berlaku kemudian
dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat di dalam kehidupan
masyarakat.
- Sifat Penelitian.
Bahwa penelitian ini bersifat Deskriptif,
yaitu penelitian yang memberikan data tentang sesuatu atau gejala-gejala sosial
yang berkembang ditengah-tengah masyarakat sehingga dengan adanya penelitian
ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan
sistematis tentang objek yang akan diteliti.
- Jenis dan Sumber Data
Dalam penulisan ini sumber data yang
di pergunakan adalah:
- Data primer
Data yang diperoleh secara langsung
melalui penelitian di lapangan, dalam hal ini penulis dapat memperoleh data
primer dari Pengadilan Negeri kelas 1B Bukittinggi.
- Data sekunder
Data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan (Library Research) yang ada berupa bahan hukum, data
tersebut terdiri dari :
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan yang
terkait untuk itu.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang dapat menunjang
bahan hukum primer dan dapat membantu penulis dalam menganalisa dan memahami
bahan hukum primer seperti : Literatur atau hasil penulisan yang berupa hasil
penelitian, Peraturan Perundang-undangan, Buku-buku, Makalah, Majalah, Tulisan
lepas, Artikel dan Rancangan Undang-undang seperti Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Nasional.
3. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum dan kamus besar bahasa indonesia.
- Metode Pengumpulan Data
Penelitian lapangan dilakukan di
Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi. Bahwa di dalam penelitian lapangan ini,
dalam hal memanfaatkan data yang ada maka dilakukan dengan menggunakan metode
sebagai berikut:
- Studi Dokumen
Melakukan infentarisasi terhadap
bahan-bahan hukum yang diperlukan, seperti : bahan-bahan hukum primer,
bahan-bahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier. Melakukan pencatatan
dan pembuatan daftar ikhtisar yang berisikan berbagai pengertian dan pendapat
para ahli tentang penulisan skripsi ini.
- Wawancara (interview)
Wawancara ini dilakukan secara semi
struktur dengan menggunakan teknik dan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan
dengan beberapa orang hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Kelas 1B
Bukittinggi, dengan menggunakan metode Non Probability Sampling dalam
bentuk Purpose Sampling.
- Metode Pengolahan dan Analisa Data
- Pengolahan Data
Pengolahan data disusun secara
sistematis melalui proses editing, yaitu penulis akan merapikan kembali data
yang telah diperoleh dengan memilih data yang sesuai dengan keperluan dan
tujuan penelitian, sehingga didapat suatu kesimpulan akhir secara umum yang
nantinya akan dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan yang ada.
- Analisis Data
Setelah data primer dan data
sekunder diperoleh selanjutnya dilakukan analisis dari data yang di dapat
dengan mengungkapkan kenyataan-kenyataan dalam bentuk kalimat. Terhadap semua
data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut, penulis mengunakan Metode
analisis secara kualitatif yaitu uraian terhadap data yang terkumpul dengan
tidak mengunakan angka-angka tetapi berdasarkan peraturan perundang-undang, pandangan
pakar dan pendapat penulis sendiri.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih terarahnya penulisan ini
dan agar pembahasan yang dibicarakan akan lebih terfokus pada topik pembahasan
maka sistematika penulisan ini tergambar dalam kerangka sebagai berikut yang
terdiri atas 4 Bab yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Dimana pada bab ini merupakan
pengantar guna membahas bab-bab berikutnya. Dalam bab ini akan di bahas
materi-materi seperti : latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG
PEMBUKTIAN
Dimana bab ini sebagai pedoman atau
sebagai dasar utama untuk membahas bab-bab berikutnya, dengan sub bahasan
antara lain : pengertian barang bukti dan pembuktian, teori pembuktian,
macam-macam barang bukti, sistem pembuktian menurut KUHAP, dan alat- alat
bukti.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Dimana pada bab ini akan berisikan
materi-materi yang merupakan hasil dari penelitian di lapangan serta pembahasan
dari materi materi tersebut yang didalamnya memaparkan tentang peranan barang
bukti dalam pembuktian perkara pidana, apa saja tahap-tahap pengumpulan barang
bukti dan apa yang menjadi kendala-kendala dalam peninjauan barang-barang bukti
dalam pembuktian perkara pidana, dan bagaimana status barang bukti setelah
adanya keputusan hakim.
BAB IV PENUTUP
Dimana pada bab ini menjadi penutup
dari penulisan skripsi tentang peranan barang bukti dalam pembuktian perkara
pidana menurut pasal 183 kuhap yang di dalamnya penulis mencoba menarik
kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, serta memberi saran yang mungkin
dapat berguna oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khsusnya yang berhubungan
dengan tema yang menjadi kajian didalam skripsi ini.
[1]
Ratna Nurul Afiah, 1988, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Penaerbit
Sinar Grafiaka, Jakarta, Hlm.254.
[2]
LKHT FH UI, “ASPEK PEMBUKTIAN”, www.lkhtnet.com, diakses pada
tanggal 12 Maret 2009.
[3]
Karim Nasution, 1986, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana,
Jakarta Sinar Grafika, hlm.71 dst.
[4]
Moeljatno, 1993, Asas – asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, Hlm.
1
[5]
Andi Hamzah, 2002,Hukum Acara Pidana Indonesia, Cetakan kedua, Jakarta :
Sinar Grafika, Hlm. 8
[6]
M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,Sinar
Grafika, Jakarta, Hlm. 271
[7]
Subekti, 1995, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 2
[8]
J.C.T.Simorangkir,dkk, 2004, Kamus Hukum,(cetakan kedelapan), Jakarta :
Sinar Grafika Offset, hal.14.
[9]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1987, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka Indonesia, hlm.133.
[10]
M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,Sinar
Grafika, Jakarta, Hlm. 273
[11]
Wijono Projodikoro, 1986, Asas-asas Hukum PIdana Indonesia, Bandung
: Erisko Bandung, hal.55.
[12]
Bambang Poernomo, 1986 Sistem Pidana Dan Pemidanaan Indonesia dan
Retributif , Jakarta : Sinar Grafika.
[13]
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, IV Pressindo, Jakarta,
hlm. 53
[14]
Petermahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,hlm.119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar