PEMBUKTIAN TERBALIK KASUS KORUPSI
PEMBUKTIAN kasus korupsi baik
di Indonesia maupun di beberapa negara asing memang dirasakan teramat pelik.
Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut di samping proses penegakannya juga
dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan undang-undang yang produknya masih
dapat bersifat multi-interpretasi, sehingga relatif banyak ditemukan beberapa
kelemahan di dalamnya. Salah satu contoh adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 yo UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam
ketentuan undang-undang itu disebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak
pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan yang
luar biasa pula (extra ordinary measures). Benarkah pernyataan tersebut dalam
implementasinya? Ternyata tidak semuanya benar.
---------------------------
Misalnya,
khusus terhadap tindak pidana penyuapan bukanlah merupakan tindak pidana luar
biasa akan tetapi merupakan tindak pidana biasa, sehingga tidak diperlukan
upaya hukum yang luar biasa. Di samping aspek di atas, opini umum dan para
pakar yang menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban
pembuktian terbalik.
Ada
dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang beban
pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, 38B Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 yo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban pembuktian
terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoretik dan praktik? Tidak.
Secara
tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan perumusan norma tentang beban pembuktian
terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU 31/1999 yo UU 20/2001. Ketentuan Pasal 12
B ayat (1) berbunyi: ''setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi; (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,
(sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum.''
Ada
beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di atas. Pertama,
dikaji dari perumusan tindak pidana, ketentuan tersebut menimbulkan
kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian terbalik. Di satu
sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima
gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang berbunyi, ''...yang
nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi''. Akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan kepada
penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas
mencantumkan redaksional, ''...setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya''. Maka adanya
perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam
suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban jaksa
penuntut umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan.
Kedua,
terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional ''...dianggap pemberian
suap''. Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara maka gratifikasi tersebut bukan dikategorikan ''dianggap
pemberian suap'' akan tetapi sudah termasuk tindakan ''penyuapan''. Eksistensi
asas beban pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan
kepada gratifikasi dengan redaksional ''...dianggap suap'' akan tetapi harus
kepada dua unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang
berhubungan dengan jabatannya dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan
dengan kewajiban.
Ketiga,
dikaji dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus dihubungkan dengan
Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006. Hakikatnya, dari dimensi ini maka beban
pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial
akan melanggar HAM, bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah sehingga
menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah atau asas
praduga korupsi.
Selain
itu bersimpangan dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang mensyaratkan terdakwa
tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHP,
Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal court/ICC), Pasal 11 ayat (1)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 40 ayat (2b) butir (i)
Konvensi tentang Hak-hak Anak, Prinsip 36 ayat (1) kumpulan prinsip-prinsip
untuk perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apa pun atau pemenjaraan,
Resolusi Majelis Umum PBB 43/1739 Desember 1988 dan Konvensi Internasional
serta asas legalitas. Dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebenarnya
beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia ''ada'' di tataran
kebijakan legislasi akan tetapi ''tiada'' dan ''tidak bisa'' dilaksanakan dalam
kebijakan aplikasinya.
Justifikasi
Dengan
tolok ukur konteks di atas maka beban pembuktian terbalik tidak dapat
diterapkan terhadap kesalahan pelaku korupsi sehingga mempergunakan
sistem pembuktian negatif atau asas beyond reasonable doublt. Konsekuensi logis
dimensi demikian, beban pembuktian terbalik ini tidak akan bersinggungan dengan
HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak
bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri, asas untuk diam, hukum pidana
materiil serta instrumen hukum internasional.
Di
sisi lainnya, pembuktian terbalik dapat dilakukan terhadap harta kepemilikan
pelaku tindak pidana korupsi sehingga titik beratnya pada pengembalian harta
negara yang dikorupsi oleh pelaku tindak pidana korupsi. Tegasnya, dari dimensi
konteks di atas terhadap pelaku orang yang diduga telah melakukan tindak pidana
korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif atau beyond
reasonable doublt terhadap kesalahan pelaku. Sedangkan terhadap pengembalian
harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan beban
pembuktian terbalik oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan
aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun
instrumen hukum internasional.
Dengan
dimensi demikian, maka alternatif pembuktian korupsi yang relatif memadai
adalah dipergunakan teori beban pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan.
Pada dasarnya, teori ini mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara
perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu
yang bersangkutan atas kepemilikan harta kekayaannya yang diduga kuat berasal
dari korupsi di sisi lainnya.
* Pembuktian
terbalik tidak akan bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana
khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri
sendiri, asas untuk diam, hukum pidana materiil serta instrumen hukum
internasional.
*
Pembuktian korupsi yang relatif memadai, mengedepankan keseimbangan secara
proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu, dan perampasan hak
individu yang bersangkutan atas kepemilikan harta kekayaannya yang diduga kuat
berasal dari korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar