Putusan P T U N
1. Proses memutuskan
sengketa tata usaha negaraPutusan pengadilan harus mencerminkan 4 (empat) kriteria pokok dari asas-asas peradilan yang baik sebagaimana diutarakan oleh de Waard (dalam Sidharta,1996: 332-333):
1) Decisie bentrisel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang pantas. Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan gugatan (perkara), dan larangan bagi hakim untuk menolak mengadili/memeriksa perkara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
2) Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak yang berperkara berhak atas kesempatan membel diri dan bahwa kedua belah pihak juga.harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian dan memperoleh informasi..
3) Onpgrtijdigheids beginsel (no bias), asas bahwa putusan dijatuhkan secara obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau anggota-anggota instansi peradilan, ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifat zakeiijk, ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari salah satu pihak atau di luar perkara dengan hakim, sehingga menyimpang dari prosedur semestinya.
4) Motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision), .asas bahwa putusan hakim harus memuat.alasan-alasan hukum yang jelas dan.dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada kebebasan dan diskresi untuk menentukan dan menjatuhkan putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti (controleerbaarheid).
Metode yang dipergunakan dalam musyawarah majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut adalah sebagai berikut (Pasal 97 ayat (3), (4), dan (5)):
1. Prinsipnya adalah bahwa putusan yang dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, dengan perkecualian, jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat putusan diambil dengan suara terbanyak.
2. Apabila musyawarah. majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, maka. permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majeiis berikutnya.
3. Apabila musyawarah-majelis betikutnya tidak dapat diambil suara terakhir Hakim Ketua.Majelis yang.menentukan.
Putusan yang harus dihasilkan nmelalui musyawarah dengan prinsip Permufakatan bulat berkaitan dengan segi objektivitas putusan. Sudikno (1998: 54) berpendapat bahwa apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaidah hukum; maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).
Sebelum putusan dihasilkan, harus dicermati pula kemungkinan adanya Perubahan keadaan yang terjadi selama proses berjalan, yang sedikit banyak kiranya ada pengaruhnya terhadap putusan yang, akan dijatuhkan Pengaruh tersebut dapat diklasifikasikan atas (Indroharto, 1993: 120-121):
1. Pengaruh penrbahan-perubahan keadaan tersebut terhadap penilaian atau pengujian yang harus dilakukan Pengadilan mengenai keputusan TUN yang digugat
2. Pengaruh perubahan-perubahan keadaan tersebut terhadap putusan diktum yang dijatuhkan oleh Pengadilan.
Mengenai perubahan-perubahan keadaan tersebut perlu dibedakan antara:
1. Perubahan mengenai peraturan yang berlaku .
2. Perubahan mengenai posisi-posisi hukum serta situasi kepentingan-kepentingan tertentu.
3. Perubahan dalam kebijaksanaan Tergugat.
Pengertian istilah ruang tertutup untuk musyawarah majelis Hakim tersebut (Pasal 97 ayat 1), kiranya harus ditafsirkan demi objektivitas dan kemandirian Pengadilan dan tidak diartikan tertutup terhadap perkembangan keadaan sehubungan dengan sengketa yang akan diputus.
Sehubungan dengan upaya menemukan atau mencari hukumnya, tidak sekedar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret yang dicarikan hukumnya. Kegiatan tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Guna mencari atau menemukan hukumnya atau undang¬undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, perisHwa korilcrit itu hams diarahkan kepada undang-undangnya,sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan pedstiwanya yang konkrit (Mertokosumu, 1988: 60).
Diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dalam pembuatan putusan di PTUN, mengingat asas setiap putusan PTUN mempunyai kekuatan mengikat erge omnes, sesuai dengan karakter hukum publik sengketa tata usaha negara.
Prinsip penting yang harusdiperhatikan mengenai prosedur putusan pengadilan adalah putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat 1). Sanksi terhadap tidak dipenuhinya prinsip tersebut, putusan Pengadilan tersebut menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 108 ayat 3).
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang, salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
Ditinjau dari prosesnya, putusan pengadilan dapat diklasifikasikan atas (bandingkan Pasa1185 ayat (1) HIR):
1. Putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Putusan akhir ini terdiri dari: . . . . .
a. Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir). Putusan cundemnatair adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi: memberi, berbuat, dan tidak berbuat.
b. Putusan akhir yang bersifat menciptakan. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan keadaan hukum.
c. Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
2. Putusan sela atau putusan antara (interlocutair vonis). “Putusan yang fungsinya adalah untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Macam-macam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah (Pasa97 ayat 7):
a. Gugatan ditolak
Menolak gugatan berarti memperkuat keputusan badan atau pejabat administrasi negara.
b. Gugatan dikabulkan .
Mengabulkan gugatan. berarti tidak membenarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara, baik seluruhnya atau sebagian.
c. Gugatan tidak diterima
Tidak menerima gugatan berarti gugatan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
d. Gugatan gugur
Gugatan gugur, apabila (para) pihak atau (para) kuasanya, kesemuanya tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan dan telah dipanggil secara patut. ,
Putusan akhir tersebut di atas, menurut sifatya dapat dibagi dalam 3
jenis, yaitu:
1. Putusan yang bersifat pembebanan (condemnatoir). Putusan yang mengan-
dung pembebanan.
Misalnya.tergugat dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat. tergugat dibebani membayar ganti rugi atau melakukan rehabilitasi (Pasal 9 ayat 9 butir huruf a, b, q Pasai 47 ayat 10 dan 11).Contoh: surat pemberhentian pegawai dibatallcan dan melakukan rehabilitasi.
2. Putusan yang bersifat pemyataan (declaratoir). .
Putusan yang hanya menegaskan suatu keadaan hukum yang sah. Misalnya: penetapan dismisal (Pasa162). Contoh gugatan tidak diterima atau tidak berdasarkan. Penetapan perkara diperiksa dengan acara cepat (Pasal 48). Beberapa perlu digabungkan atau dipisah-pisahkan dan lain-lain.
3. Putusan yang bersifat penciptaan (constifutif).
Putusan yang melenyapkan suatu keadaan hukum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Misalnya tergugat selain dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat, juga dibebani kewajiban yang hams dilakukan oleh tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru (Pasal 97 ayat 9 huruf b).
Ditinjau dan kekuatan putusan. maka terdapat tiga macam kekuatan yang, terdapat pada putusan Hakim. yaitu:
- kekuatan mengikat
Putusan Hakim yang telah bersifat tetap, tidak dapat digunakan upaya hukum lagi atau telah pasti memiliki kekuatan mengikat. Putusan Hakim di Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan mengikat erga omnes, artinya dapat berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.
- kekuatan eksekutorial .
Putusan Hakim yang telah berkekuatan tetap pada umumnya dapat dijalankan, sehingga disebut.. telah memiliki kekuatan eksekutorial.
- kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuklian putusan Pengadilan itu sejajar dengan akta otentik, sehingga selalu diakui kebenarannya sepanjang telah berkekuatan hukum tetap.
II.Pertimbangan tentang hukumnya
a. Analisis logika deduktif
b. Memuat penilaian/pengujian yuridis hakim atas obyek sengketa.
c. Merupakan sikap/pendirian hakim berdasarkan keyakinannya terhadap suatu sengketa tata usaha negara tertentu
d. Konklusi dari perbedaan pendapat para pihak tentang legalitas Keputusan TUN. .
e. Didasari asas ius curia novit
f. Dapat mengandung identifikasi AAUPB
g. Merupakan penilaian tentang hubungan yuridis antara Keputusan TUN dengan kerugian yang ditimbulkannya. Hakim harus menentukan batas-batas korelasi antara KTUN dengan kepentingan penggugat.
h. Didalamnya mengandung prinsip pembebanan pembuktian.
III. Bab Mengadili
a. Bersifat declaratoir dalam hal: 1). Penerimaan atau penolakan gugatan
dan Penilaian keabsahan Keputusan TUN obyek sengketa.
b. Bersifat candemnatoir terhadap: 1). Keberlakuan Keputusan TUN: kewajiban-tergugat untuk mencabut Keputusan TUN; 2). Pemberian ganti rugi dan/atau rehabilitasi; 3). Biaya perkara yang hams ditanggung oleh salah satu pihak dalam sengketa yang dikalahkan.
Berkaitan dengan metode pengingkaran tersebut, Malt sebagaimana dikurip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa Through disavowal, the court may avoid the feeling of doing politics, and may aid in keeping conflicts, also of values alive. But what it does is also in a away to close its eyes to the problem. A variant of the lex specialis principle will often be involved in the argumentation.
Bila diterjemahkan maknanya adalah melalui pengingkaran, pengadilan dapat membantu dalam mempertahankan pertentangan, juga terhadap nilai-nilai, tetapi, apa yang dilakukan juga berada dalam suatu cara untuk menghindari permasalahan. Berbagai prinsip lex specialis akan sering terlibat dalam argumentasi.
Penafsiran kembali (reinterpretation) adalah langkah untuk mengatasi terjadinya antinomi/konflikantar norma hukum dengan cara hakim menafsirkan kembali suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penetapan suatu KTUN untuk memberikan solusi hukum atas terjadinya sengketa tata usaha negara. Sehubungan dengan penafsiran kembali (reinterpretation) tersebut, Malt sebagainiana dikutip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa this possibility has already been, mentioned several times before. A (hard) conflict, both logical and a pragmatical one, established after primary interpretation of the conflicting rules, can often be solved through a reinterpretation of the conflicting rules. Terjemahannya adalah bahwa sebuah konflik terbentuk setelah menafsirkan aturan-aturan utama yang berkonflik sering dapat dipecahkan melalui penafsiran kembali aturan-aturan itu.
Sehubungan pengertian pembatalan (invalidation), Malt sebagaimana dikutip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa invalidation as positively chosen solution is most practical as a result of applying the lex superior principle. Maknanya pembatalan yang dipilih secara positif karena paling prakfis sebagai suatu akibat penetapan pdnsip lex superior. Berdasarkan prinsip pembatalan tersebut, hakim tata usaha negara dapat membatalkan berlakunya suatu KTUN, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pembatalan atas KTUN yang diuji di Peradilan TUN- tersebut dimaksudkan agar KTUN itu dapat disinkronisasikan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tinggi.oleh badan atau pejabat TUN yang membuat KTUN itu.
2. Elemen-elemen Yang Harus Ada Pada Putusan
Sebagai syarat imperatif. Putusan Pengadilan harus memuat (Pasal 104 ayat 1);
a. Kepala Putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Hal ini karena menumt Pasal 4 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004, peradilan dilakukan sesuai dengan bunyi rumusan kepala putusan tersebut. Title tersebut yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan sehingga dapat dilaksanakan.
b. Nama, jabatan, Kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa.
c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas ini membuktikan bahwa argumen-argumen yang dikemukakan kedua belah pihak sesuai dengan asas audi et alteram partem telah menjadi bagian dari putusan, dan secara adil serta objektif dijadikan dasar pertimbangan putusan.
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Pertimbangan (konsiderans) merupakan dasar dan putusan. Pertim-bangan dapat meliputi pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Sifat aktif Hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara tampak pada penilaian alat bukti sesuai dengan, asas pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 100 dan Pasal 107). Fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan selama pemeriksaan sengketa, juga memiliki relevansi terhadap penimbangan Hakim. .
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Harus dicantumkan argumen yuridis sehubungan dengan sengketa yang diperiksa. Pasal 14 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dad putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUNo. 48 Tahun 2009 diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion). Dissenting opinion merupakan perpaduan konsep rechtsstaat dengan angle saxon, karena semula hal itu bertumbuh dari konsep anglo saxon.
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
Amar (diktum) putusan merupakan tanggapan atau jawaban petitum. Amar putusan di Peradilan Tata Usaha Negara mengacu pada Pasa197 ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11) UU Peradilan TUN.
g. Closing statement
Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus nama panitem serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak. Selambat-lambatnya 30 hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan. Putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang. ApabiIa Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar