HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Jumat, 10 Januari 2020

PENGAJUAN GUGATAN PERDATA (HUKUM ACARA PERDATA)

PENGAJUAN GUGATAN PERDATA


1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Negeri dengan membawa surat gugatan atau permohonan.
2. Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan surat gugatan atau permohonan, 4 (empat) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.
2. Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR.
3. Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).
4. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
5. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.
6. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
7. Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas.
8. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.
9. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Kedua surat gugatan atau permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
10. Petugas Meja Kedua mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.
11. Petugas Meja Kedua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.

Pada dasarnya jawaban bukanlah suatu kewajiban yang harus diberikan oleh Tergugat di dalam persidangan. Melainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang Penggugat sampaikan di surat gugatannya.
Biasanya jawaban diberikan oleh Tergugat kepada Majelis Hakim dan Penggugat pada sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan. Namun apabila Tergugat belum siap, maka Majelis Hakim akan memberikan kesempatan lagi pada sidang berikutnya untuk menyertakan jawaban tersebut. Isi dari jawaban tersebut tidak hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun Tergugat juga boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession), terhadap sebagian atau seluruh dalil gugatan Penggugat. Selain itu, jawaban yang disampaikan oleh Tergugat dapat sekaligus memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara. Jika jawaban sudah memuat eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, Tergugat harus menjawab secara sistematis agar lebih mudah dibaca dan dipahami oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.

Cara yang dianggap sesuai dengan tuntutan teknis peradilan, dalam hal jawaban sekaligus berisi eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara, yaitu:
a) Mendahulukan eksepsi pada bagian depan. Dalam jawaban dibuat suatu judul “Dalam Eksepsi” yang ditempatkan pada bagian depan mendahului uraian bantahan pokok perkara.
b) Menyusul kemudian, uraian bantahan pokok perkara dengan judul “Dalam Pokok Perkara”.
c) Bagian terakhir, berupa kesimpulan yang berisi pernyataan singkat eksepsi dan bantahan pokok perkara.

Eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara di dalam konteks hukum acara memiliki makna yang sama yaitu sebuah tangkisan atau bantahan (objection). Namun di dalam eksepsi ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible). Untuk lebih memudahkan, eksepsi sendiri dibagi menjadi tiga jenis yaitu, Eksepsi Prosesual, Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi dan Eksepsi Hukum Materil.

Eksepsi Prosesual adalah jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard).
Eksepsi kewenangan absolut adalah bantahan Tergugat mengenai Penggugat dinilai salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Ini berkaitan dengan pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus. Misalnya dalam kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam sebab itu berada dalam yurisdiksi pengadilan agama. Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan kapanpun selama proses pemeriksaan dimulai sampai dengan sebelum putusan dijatuhkan pada tingkat pertama (PN).

Eksepsi kewenangan relatif adalah bantahan Tergugat yang menyatakan Penggugat salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Tetapi yang berwenang adalah pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan yang sama, misalnya Tergugat dalam hal ini berdomisli di Jakarta Selatan, namun gugatan diajukan di Pengadilan Jakarta Pusat, yang seharusnya gugatan tersebut diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Berbeda dengan eksepsi kewenangan absolut, eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan di sidang pertama dan bersamaan dengan saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara
Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi terdiri dari beberapa bentuk yaitu Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah, Eksepsi Error in Persona, Eksepsi Ne Bis In Idem, dan Eksepsi Obscuur Libel:
Eksepsi Surat Kuasa Khusus tidak sah adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal surat kuasa bersifat umum; surat kuasa dibuat orang yang tidak berwenang atau surat kuasa yang diajukan oleh kuasa Penggugat tidak sah karena tidak memenuhi syarat formil yang diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971 jo. SEMA No. 6 Tahun 1994, yaitu:
a. Tidak menyatakan secara spesifik kehendak untuk berperkara di PN tertentu sesuai dengan kompetensi relatif;
b. Tidak menjelaskan identitas para pihak yang berperkara;
c. Tidak menyebutkan secara ringkas dan konkret pokok perkara dan objek yang diperkarakan; serta
d. Tidak mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa.

Eksepsi error in persona adalah eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal Penggugat tidak memiliki kapasitas atau hak untuk mengajukan perkara tersebut, atau pihak yang digugat adalah tidak memiliki urusan dengan perkara tersebut, atau pihak yang digugat tidak lengkap.
Eksepsi ne bis in idem adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal perkara yang digugat oleh Penggugat sudah pernah diajukan dan sudah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dan yang terakhir adalah
Eksepsi Obscuur Libel, yaitu eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal gugatan Penggugat tidak terang atau isinya tidak jelas, contohnya tidak jelas dasar hukumnya, tidak jelas obyek sengketanya, petitum tidak rinci dijabarkan dan permasalahan antara posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.

Eksepsi Hukum Materil. Eksepsi hukum materil dibagi dalam 2 jenis, yaitu exceptio dilatoria dan exceptio peremptoria:
Exceptio dilatoria yaitu eksepsi yang dilakukan oleh Tergugat dalam hal gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih
prematur, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampau dini. Contohnya belum sampai batas waktu untuk menggugat karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitur.

Exceptio peremptoria adalah eksepsi yang diajukan oleh Tergugat kepada Penggugat yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Contohnya perkara yang diajukan sudah lewat waktu atau daluarsa untuk digugat (exceptio temporis), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur penipuan (exceptio doli mali), perjanjian yang dilakukan mengandung unsur paksaan atau dwang (exceptio metus), si penggugat sendiri tidak melakukan prestasinya (exceptio non adimpleti contractus) dan sengketa yang digugat sedang proses pemeriksaan juga di pengadilan dengan nomor perkara yang berbeda (exceptio litis pendentis).

Gugatan rekonvensi
Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis.
Apapun bentuk pengajuannya baik secara lisan maupun tertulis, yang perlu diperhatikan adalah gugatan rekonvensi harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu:
1. menyebut dengan tegas subjek yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi;
2. merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar hukum (rechtsgrond) dan dasar peristiwa (fijteljkegrond) yang melandasi gugatan;
3. menyebut dengan rinci petitum gugatan.
Acara jawab menjawab:

a. Replik yaitu adalah jawaban penggugat dalam hal baik terulis maupun juga lisan terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan oleh penggugat untuk meneguhkan gugatannya tersebut, dengan cara mematahkan berbagai alasan dalam penolakan yang dikemukakan tergugat di dalam jawabannya. Replik adalah lanjutan dari suatu pemeriksaan dalam perkara perdata di dalam pengadilan negeri setelah tergugat mengajukan jawabannya.
Replik ini berasal dari 2 kata yakni re (kembali) dan pliek (menjawab), jadi dapat kita simpulkan bahwa replik berarti kembali menjawab.
Menurut JTC Simoramgkir,cs 1980 :148 Replik ialah jawaban balasan atas jawaban tergugat di dalam perkara perdata.
Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas dalam jawaban tergugat. Oleh sebab itu, replik ialah respons Penggugat atas suatu jawaban yang diajukan tergugat. Bahkan juga tidak tertutup kemungkinan membuka peluang kepada penggugat agar mengajukan rereplik. Replik Penggugat ini bisa berisi pembenaran terhadap suatu jawaban Tergugat atau juga boleh jadi penggugat menambahkan keterangan dengan maksud untuk memperjelas dalil yang diajukan penggugat di dalam gugatannya tersebut.

Sebagaimana juga halnya jawaban, maka replik itu juga tidak di atur dalam H.I.R/R.Bg, akan tetapi di dalam pasal 142 reglemen acara perdata, replik itu biasanya berisi dalil-dalil atau hak-hak tambahan guna dalam menguatkan dalil-dalil gugatan si penggugat. Penggugat di dalam replik ini juga bisa mengemukakan sumber sumber pendapat pendapat para ahli, kepustakaan, kebiasaan ,doktrin , dan sebagainya. Peranan yurisprudensi sangat penting dalam replik, mengigat kedudukanya adalah salah satu dari sumber hukum. Untuk dalam penyusunan replik biasanya cukup sekiranya dengan cara mengikuti poin-poin jawaban pihak tergugat.
b. Duplik yaitu adalah jawaban tergugat terhadap suatu replik yang diajukan oleh penggugat. Sama juga halnya dengan replik, duplik ini juga bisa diajukan baik dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk lisan.
Duplik ini diajukan oleh tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang pada lazimnya berisi suatu penolakan terhadap suatu gugatan pihak penggugat.
Apabila dalam acara jawab-menjawab diantara pihak penggugat dan pihak tergugat sudah dinyatakan cukup, dimana dalam duduk perkara perdata yang telah diperiksa sudah jelas keseluruhannya, tahapan pemeriksaan berikutnya ialah tahapan pembuktian.
c. Kesimpulan
Pada tahap kesimpulan, maka masing-masing pihak (penggugat dan tegugat) mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.Setelah tahap pembuktian, majelis hakim kemudian bermusyawarat untuk merumuskan putusan. Hakim tidak diizinkan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat (Pasal 178 HIR).
Praktik membuat jawaban Replik adalah tanggapan PU atas pledoi terdakwa/PH dan replik pada intinya berupa bantahan terhadap hal-hal yang dikemukakan terdakwa atau PH dalam pledoi terutama sepanjangan mengenai adanya perbedaan pandangan dengan PU. Sementara duplik dari terdakwa/PH adalah tanggapan atas replik PU yang pada pokoknya berisikan dalil-dalil untuk mempertahankan apa-apa yang sudah dikemukakan dalam pledoi. Selain itu duplik terdakwa/PH bisa juga berisikan berupa penegasan-penegasan terhadap perbedaan penilaian terhadap alat bukti dan lain sebagainya terkait hasil pemeriksakaan materi perkara. Bahwa dalam menyusun replik dan duplik tidak ada bentuk baku/format yang telah ditetapkan,artinya secara teoritis tidak teknik menyusun replik dan diplik. Bahkan mengenai bentuk dan susunannya tidak terdapat aturan dalam hukum acara. Karena itu, penyusunan replik dan diplik selain tergantung pada jenis bidang hukumnya juga tergantung pada materi pokok dari perkaranya. Selain itu tergantung pula pada kemampuan dan penguasan materi pemrmasalahan dari perkara dari pihak-pohak yang berperkara. Sama halnya dengan replik dalam pembuatannya juga tidak terdapat bentuk baku/format yang telah ditetapkan, bahwa duplik selain sebagai tanggapan terdakwa/PH atas replik PU, sekaligus meneguhkan kembali jawaban terdakwa/PH. Pada dasarnya penyusunan duplik adalah sama, namun dalam esensinya sesesuai dengan kepentingan hukum terdakwa. Dalama konteks ini penyusunan duplik tentu tidak selamanya dipahami sebagai kontra atau bantahan-bantahan dan peolakan terhadap dalil-dalil yang dikemukakan PU dalam repliknya,tapi tetap harus berpegang teguh pada fakta-fakta hukum yang terrungkap selama persidangan. Duplik dalam bahasa yang sederhana dapat dikatakan sebagai jawaban kedua dari Terdakwa/PH atau diartikan sebagai jawaban balik dari terdakwa/PH atas replik yang disampaikan oleh PU. Meskipun keberadaan duplik masih dalam proses jawab-menjawab dalam proses peradilan pidana, namun demikian sama halnya dalam penyusunan replik, penyusunan replik dengan dalil-dalilnya juga harus berupa dalil-dalil yang pada gilirannya berujuang pada proses pembuktian ketika pokok perkara diperiksa. Dalam prakteknya selalu membuka kemungkinan untuk pengembangan sesuai kebutuhan para pihak. Selain karena penyusunan replik dan duplik sangat ditentukan pokok perkara dan persolan hukumnya, maka pada gilirannya penyusunan replik dan duplik dapat teraplikasikan dengan baik sesuai kemampuan dan pengatahuan hukum penyusun replik dan duplik,
khususnya kemampuanndan kedalam penguasaan permasalahan yang menjadin pokok perkara.

Pengajuan Sita Jaminan
Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim / Ketua Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan berlangsung dan untuk penyitaan tersebut Hakim / Ketua Majelis membuat surat penetapan. Penyitaan dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Negeri / Juru Sita dengan dua orang pegawai pengadilan sebagai saksi.
Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan terhadap barang milik tergugat (conservatoir beslag) dan sita jaminan terhadap barang milik penggugat (revindicatoir beslag) (Pasal 227, 226 HIR. Pasal 261, 260 RBg.).
Permohonan agar dilakukan sita jaminan, baik itu sita conservatoir atau sita revindicatoir, harus dimusyawarahkan Majelis Hakim dengan seksama, apabila permohonan tersebut cukup beralasan dan dapat dikabulkan maka Ketua Majelis membuat penetapan sita jaminan. Sita jaminan dilakukan oleh Panitera / Jurusita yang bersangkutan dengan disertai dua orang pegawai Pengadilan Negeri sebagai saksi.

Penyusunan permohonan sita jaminan
Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan Ketua Pengadilan / Majelis wajib terlebih dahulu mendengar pihak tergugat.
Dalam mengabulkan permohonan sita jaminan, Hakim wajib memperhatikan :
1. Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir terhadap barang bergerak tertentu milik penggugat yang ada di tangan tergugat yang dimaksud dalam surat gugat), setelah terlebih dahulu mendengar keterangan pihak tergugat (lihat Pasal 227 ayat (2) HIR/Pasal 261 ayat (2) RBg.).
2. Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan harus didaftarkan sesuai ketentuan dalam Pasal 227 (3) jo Pasal 198 dan Pasal 199 HIR atau pasal 261 jo pasal 213 dan Pasal 214.
3. Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar / bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah yang disita belum terdaftar / belum bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan. Tindakan tersita yang bertentangan dengan larangan tersebut adalah batal demi hukum.
4. Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik penggugat yang disita dengan sita revindicatoir, harus tetap dipegang / dikuasai oleh tersita. Barang yang disita tidak dapat dititipkan kepada Lurah atau kepada Penggugat atau membawa barang itu untuk di simpan di gedung Pengadilan Negeri.
Apabila telah dilakukan sita jarninan dan kemudian tercapai perdamaian antara kedua belah pihak yang berperkara, maka sita jaminan harus diangkat.

Syarat-syarat Pendaftaran & Registrasi Surat Kuasa :
1. Surat Kuasa Asli beserta fotocopy
2. Fotocopy Kartu Advokat
3. Fotocopy Berita Acara Penyumpahan Di Pengadilan Tinggi

PENDAFTARAN GUGATAN/PERMOHONAN TINGKAT PERTAMA
1. Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan Gugatan/Permohonan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan di bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
1. Surat Permohonan/Gugatan
2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Kuasa Hukum)
3. Bukti bukti yang menguatkan untuk mengajukan Gugatan atau Permohonan, seperti KTP, KK, Surat Kuasa, Akte dll
2. Penggugat / Kuasanya membayar panjar biaya gugatan dengan menyetorkan uang panjar perkara melalui bank yang ditunjuk oleh Pengadilan
3. Memberikan bukti tranfer serta menyimpan salinannya untuk arsip
4. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugata/Permohonan
5. Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan yang disampaikan oleh Juru Sita/Juru Sita Pengganti
6. Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan
Tata cara pemanggilan
Pemanggilan para pihak agar hadir pada sidang yang telah ditentukan dibuat dalam bentuk surat tertulis yang lazim juga disebut relaas panggilan. Pemanggilan secara lisan dianggap tidak sah, demikian menurut pasal 390 HIR. Surat panggilan tersebut berisi:
1. Nama yang dipanggil.
2. Hari, jam, dan tempat sidang.
3. Membawa saksi-saksi yang diperlukan.
4. Membawa surat-surat yang hendak digunakan.
5. Penegasan dapat menjawab gugatan dengan surat.
Syarat-syarat tersebut bersifat akumulatif dan bukannya alternatif, sehingga jika salah satu tidak terpenuhi maka panggilan tidak sah. Demikian pula syarat-syarat tersebut bersifat memaksa (imperatif), dan bukannya fakultatif. Menurut Yahya Harahap, syarat pertama dan syarat kedua itu bersifat mutlak harus ada, sedangkan syarat selebihnya dapat ditolerir, dalam arti tidak serta merta dapat dinyatakan tidak sah.

Tahap mediasi
1. Proses Pra Mediasi
* Para pihak dalam hal ini penggugat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim
* Pada hari pertama sidang majelis hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui proses mediasi.
* Para pihak dapat memilih mediator hakim atau non hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam waktu 1 (satu) hari.
* Apabila dalam waktu 1 (satu) hari belum ditentukan maka majelis menetapkan mediator dari para hakim.
2. Proses Mediasi
* Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak
* Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi Pemanggilan saksi ahli dimungkinkan atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
* Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan para pihak dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik
* Apabila diperlukan, kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya, dapat dilakukan
3. Proses Akhir Mediasi
* Jangka waktu proses mediasi di dalam pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja, dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.
* Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani kedua pihak, dimana hakim dapat mengukuhkannya sebagai sebuah akta perdamaian
* Apabila tidak tercapai suatu kesepakatan, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan Hukum Acara yang berlaku.

Proses dan Tahapan Persidangan Perkara Perdata
Sebelum Majelis Hakim sampai kepada pengambilan putusan dalam setiap perkara yang ditanganinya, terlebih dahulu melalui proses pemeriksaan yang merupakan tahap-tahap dalam pemeriksaan itu. Tanpa melalui proses pemeriksaan persidangan ini majelis hakim tidak akan dapat mengambil putusan dalam perkara perdata yang ditanganinya.. Melalui proses persidangan ini pula semua pihak, baik penggugat maupun tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan sesuatu dan mengemukakan pendapatnya serta menilai hasil pemeriksaan persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Pada akhir dari proses pemeriksaan persidangan hakim akan mengambil putusan. Proses persidangan ini merupakan salah satu aspek yuridis formil yang harus dilakukan hakim untuk dapat mengambil putusan dalam perkara perdata.
Proses pemeriksaan persidangan perkara perdata di Pengadilan yang dilakukan oleh hakim, secara umum diatur dalam HIR (Herzien Indonesis Reglement) untuk Jawa dan Madura dan Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten).
Pada garis besarnya proses persidangan pidana pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri terdiri dari 4 (empat) tahap sebagai berikut :
Tahap Mediasi
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim, kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) hadir, maka Majelis Hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan wajib mengusahakan upaya perdamaian dengan mediasi, yaitu suatu cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan diibantu oleh mediator.Mediator ini adalah pihak netral yang membantu para pihak yang berperkara dalam perundingan untuk mencari penyelesaian secara mufakat. Mediator ini bisa dari Hakim Pengadilan (yang bukan memeriksa perkara) dan bisa juga dari pihak luar yang sudah memiliki sertifikat mediator.

Kewajiban mediasi ini diatur secara umum dalam pasal 130 HIR dan secara khusus diatur secara lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 01 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Kesempatan mediasi diberikan oleh Majelis Hakim selama 40 hari dan apabila masih belum cukup dapat diperpanjang selama 14 hari. Pada kesempatan tersebut kedua belah pihak akan mengajukan apa yang menjadi tuntutannya secara berimbang untuk mendapatkan titik temu dalam penyelesaian sengketa secara win win solution. Apabila dalam proses ini dicapai kesepakatan, maka dapat dituangkan dalam suatu akta perdamaian yang ditandatangani kedua belah pihak dan diketahui oleh Mediator. Akta kesepakatan ini disampaikan kepada Majelis Hakim untuk mendapatkan Putusan Perdamaian.
Akan tetapi sebaliknya jika dalam jangka waktu tersebut diatas tidak tercapai perdamaian dan kesepakatan, maka Mediator akan membuat laporan kepada Majelis Hakim, yang menyatakan mediasi telah gagal diakukan.

Tahap Pembacaan Gugatan (termasuk Jawaban, Replik, Duplik)
Apabila Majelis Hakim telah mendapatkan pernyataan mediasi gagal dari mediator, maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke tahap ke-2 yaitu pembacaan surat gugatan. Kesempatan pertama diberikan kepada pihak penggugat untuk membacakan surat gugatannya. Pihak penggugat pada tahap ini dapat diberi kesempatan untuk memperbaiki surat gugatannya apabila ada kesalahan-kesalahan, sepanjang tidak merobah pokok gugatan. Bahkan lebih dari itu pihak penggugat dapat mencabut gugatannya. Kedua kesempatan tersebut diberikan sebelum tergugat mengajukan jawabannya.

Setelah pembacaan surat gugatan, maka secara berimbang kesempatan kedua diberikan kepada pihak tergugat atau kuasanya untuk membacakan jawabannya. Jawaban yang dibacakan tersebut bisa berisi hanya jawaban/bantahan terhadap dalil-dalil gugatan itu saja, bisa juga berisi dalam eksepsi dan dalam pokok perkara karena memang dari gugatan tersebut ada yang perlu dieksepsi. Bahkan lebih dari itu dalam jawaban bisa berisi dalam konpensi, dalam eksepsi, dalam pokok perkara dan dalam rekonpensi (bila pihak tergugat ingin menggugat pihak penggugat secara bersama-sama dalam perkara tersebut).

Acara jawab menjawab ini akan berlanjut sampai dengan replik dari pihak penggugat dan duplik dari pihak tergugat. Replik merupakan penegasan dalil-dalil Penggugat setelah adanya jawaban dari tergugat, sedangkan duplik penegasan dari bantahan/jawaban tergugat setelah adanya replik dari penggugat. Dengan berlangsungnya acara jawab menjawab ini sampai kepada duplik akan menjadi teranglah apa sebenarnya yang menjadi pokok sengketa antara pihak penggugat dan tergugat.
Bilamana dalam jawaban tergugat ada eksepsi mengenai kompetensi pengadilan, yaitu pengadilan yang mengadili perkara tersebut tidak berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan, maka sesuai dengan ketentua pasal 136 HIR/ pasal 162 Rbg Majelis Hakim akan menjatuhkan putusan sela terhadap eksepsi tersebut. Putusan sela tersebut dapat berupa mengabulkan eksepsi dengan konsekuensi perkara dihentikan pemeriksaannya dan dapat pula eksepsi tersebut ditolak dengan konsekuensi pemeriksaan perkara akan dilanjutkan dengan tahap berikutnya.
Dalam tahap ke-2 ini sudah dapat kita lihat, bahwa semua pihak diberi kesempatan yang sama dalam mengemukakan sesuatu dalam mempertahankan dan membantah suatu gugatan terhadapnya. Kesempatan yang sama akan kita lihat juga ketika nanti dalam tahap pembuktian.

Tahap Pembuktian
Tahap pembuktian merupakan tahap yang cukup penting dalam semua proses pemeriksaan perkara, karena dari tahap inilah nantinya yang akan menentukan apakah dalil penggugat atau bantahan tergugat yang akan terbukti. Dari alat-alat bukti yang diajukan para pihak, Majelis Hakim dapat menilai peristiwa hukum apa yang terjadi antara penggugat dengan tergugat sehingga terjadi sengketa. Dari peristiwa hukum yang terbukti tersesebut nantinya Majelis Hakim akan mempertimbangkan hukum apa yang akan diterapkan dalam perkara tersebut dan memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam perkara tersebut.

Untuk membuktikan suatu peristiwa yang disengketakan, Hukum Acara Perdata sudah menentukan alat-alat bukti yang bisa diajukan para pihak di persidangan, yaitu tersebut dalam pasal 164 HIR/pasal 284 Rbg yaitu:
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. pengakuan dan
5. sumpah

Kesempatan pertama mengajukan pembuktian akan diberikan oleh Majelis Hakim kepada pihak penggugat. Dalam praktek persidangan terlebih dahulu pihak penggugat akan mengajukan bukti surat yaitu berupa fotocopy yang ditempeli matrei dan telah dibubuhi cap kantor pos. Dipersidangan fotcopy bukti surat tersebut akan dicocokkan dengan aslinya oleh Majelis Hakim guna memastikan fotocopy surat adalah benar. Setelah bukti surat dari pihak penggugat, dilanjutkan bukti surat dari pihak tergugat dengan prosedur yang sama seperti bukti surat pada penggugat.

Dipersidangan pihak tergugat diberi kesempatan untuk menelihat dan meneliti surat yang diajukan pihak penggugat dan begitu juga sebalinya pihak penggugat juga diberi kesempatan untuk melihat dan meneliti bukti surat yang diajukan tergugat. Masing-masing pihak dapat mengemukakan tanggapan terhadap bukti surat tersebut dan tanggapan itu dicatat dalam berita acara sidang. Akan tetapi dalam praktek persidangan tanggapan terhadap bukti surat itu sering para kuasa hukum para pihak menyatakan akan menanggapinya dalam kesimpulan yang akan diajukan pada persidangan tahap-4.

Orang yang akan menjadi saksi untuk didengar keterangannya di persidangan biasanya dibawa sendiri oleh para pihak, setelah bukti surat selesai diajukan. Tetapi ada juga saksi tidak bisa dibawa sendiri oleh para pihak, oleh karenanya kuasa para pihak dapat minta ke Majelis Hakim agar saksi tersebut dipanggil melalui Pengadilan. Biasanya kesaksian seperti ini adalah orang-orang yang karena jabatannya harus dipanggil secara resmi, seperti pegawai kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) denganmembawa surat-surat yang berkaitan dengan sertifikat tanah, lurah atau kepala desa dengan membawa buku leter C dan lain-lain.

Majelis Hakim terlebih dahulu akan mendengar keterangan saksi dari pihak penggugat. Setelah saksi dari penggugat selesai didengar keterangannya selanjutnya giliran saksi tergugat didengar keterangannya. Mengenai siapa-siapa yang tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi dan siapa-siapa yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi sudah diatur dalam pasal 145 dan pasal 146 HIR / pasal 172 dan pasal 174 Rbg, karena mereka terikat hubungan keluarga atau hubungan karena perkawinan.

Dalam praktek saksi tidak menerangkan sendiri apa yang ia ketahui (yang ia dengar, ia lihat dan ia alami) sendiri, akan tetapi Majeis Hakim secara bergantian akan mengajukan pertanyaan kepada saksi tentang hal-hal yang relevan dengan pokok materi perkara. Setelah Majelis selesai mengajukan pertanyaan, kasempatan akan diberikan kepada para pihak untuk mengajukan pertanyaan. Disinilah peran kuasa hukum seperti advokat sangat diperlukan kemahiran mengajukan pertanyaan kepada saksi. Advokat semestinya sudah mengantongi sejumlah pertanyaan yang relevan untuk menguatkan dalil gugatan atau jawabannya sebelum mengajukan pertanyaan dimuka persidangan. Hal ini perlu dilakukan agar pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada saksi jangan sampai melemahkan dalil gugatan atau dalil jawabannya sendiri.
Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh kuasa para pihak dilakukan secara adil dan secara berimbang, menunjukkan bahwa peradilan dilakukan secara tidak memihak untuk mencari kebenaran dalam suatu perkara.

Tahap Kesimpulan
Pengajuan kesimpulan oleh para pilah setelah selesai acara pembuktian tidak diatur dalam HIR maupun dalam Rbg, akan tetapi mengajukan kesimpulan ini timbul dalam praktek persidangan. Dengan demikian sebenarnya ada pihak yang tidak mengajukan kesimpulan tidak apa-apa. Bahkan kadang-kadang para pihak menyatakan secara tegas tidak akan mengajukan kesimpulan akan tetapi mohon kebijaksanaan hakim untuk memutus dengan seadil-adilnya.

Sebenarnya kesempatan pengajuan kesimpulan ini sangat perlu dilaksanakan oleh kuasa hukum para pihak, karena melalui kesimpulan itulah seorang kuasa hukum akan menganalisis dalil-dalil gugatannya atau dalil-dalil jawabannya melalui pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Dari analisis yang dilakukan itu akan mendapatkan suatu kesimpulan apakah dalil gugatan terbukti atau tidak, dan kuasa penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar gugatan dikabulkan. Sebaliknya kuasa tergugat memohon kepada Majes Hakim agar gugatan penggugat ditolak.
Bagi Majelis Hakim yang akan memutuskan perkara, kesimpulan ini sangat menolong sekali dalam merumuskann pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim akan menilai anlisis hukum kesimpulan yang dibuat kuasa hukum para pihak dan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam dalam putusan bilamana analisis tersebut cukup rasional dan beralasan hukum. Bahkan penemuan hukum oleh Hakim dalam putusannya berawal dari kesimpulan yang dibuat oleh kuasa hukum.

Tahap Putusan
Setelah melalui beberapa proses dan tahap persidangan, maka proses persidangan sampailah pada tahap terakhir yaitu pembacaan putusan. Menurut sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Selanjutnya dikatakan, bahwa suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu:
1. kepala putusan,
2. identitas para pihak,
3. pertimbangan dan,
4. amar.
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan.
Selain kepala putusan pada halaman pertama dari putusan juga dicantumkan identitas para pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat secara lengkap sesuai dengan surat gugatan penggugat.
Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan. Pertimbangan ini dibagi dua yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Dalam rumusan putusan sering dibuat dengan huruf kapital dengan judul “ TENTANG DUDUKNYA PERKARA dan TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM “. Didalam pertimbangan tentang duduknya perkara memuat isi surat guagatan penggugat, isi surat jawaban tergugat yang ditulis secara lengkap, alat-alat bukti yang diperiksa di persidangan baik alat bukti dari pihak pengguat maupun alat bukti dari pihak terguagat. Kalau ada saksi yang diperiksa, maka nama saksi dan seluruh keterangan saksi tersebut dicantumkan dalam pertimbangan ini.
Pertimbangan hukum suatu putusan perkara perdata adalah merupakan pekerjaan ilmiah seorang hakim, karena melalui pertimbangan hukum inilah hakim akan menerapkan hukum kedalam peristiwa konkrit dengan menggunakan logika hukum. Biasanya pertimbangan hukum ini diuraikan secara sistematis mulai dengan mempertimbangkan dalil-dalil gugatan yang sudah terbukti kebenarannya karena sudah diakui oleh tergugat atau setidak-tidaknya tidak dibantah oleh tergugat. Setelah merumuskan hal yang terbukti tersebut lalu akan dirumuskan pokok sengketa berdasarkan bantahan tergugat.

Pokok sengketa ini akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan para pihak. Pertama akan diuji dengan bukti surat/akta otentik atau dibawah tangan yang diakui kebenarannya. Bukti surat tersebut juga akan dikonfrontir dengan keterangan saksi-saksi yang sudah didengar keterangannya. Dengan cara demikian maka hakim akan mendapatkan kesimpulan dalam pokok sengketa tersebut yang benar dalil penggugat atau dalilnya tergugat. Bila yang benar menurut pertimbangan hukum adalah dalil penggugat maka gugatan akan dikabulkan dan pihak penggugat adalah pihak yang menang perkara. Sebaliknya berdasarkan pertimbangan hukum putusan dalil-dalil gugatan pengugat tidak terbukti dan justru dalil jawaban tergugat yang terbukti, maka gugatan akan ditolak, sehingga pihak tergugat yang menang dalam perkara tersebut.
Jadi bila ditinjau dari menang kalahnya para pihak, maka putusan perkara perdata dapat dibagi menjadi dua yaitu gugatan dikabulkan dan gugatan ditolak. Ada lagi jenis putusan karena kurang sempurnanya gugatan karenya tidak memenuhi formalitasnya suatu gugatan yaitu putusan gugatan tidak dapat diterima.

Didalam amar putusan akan dicantumkan secara tegas ketiga jenis putusan tersebut dengan pernyataan sebagai berikut.
1. Apabila gugatan dikabulkan rumusannya: Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya dan seterusnya.
2. Apabila gugatan ditolak maka rumusannya berbunyi: Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Dan
3. Apabila gugatan tidak dapat diterima, rumusannya: Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.
Setelah putusan diucapkan oleh hakim, maka kepada para pihak diberitahukan akan haknya untuk mengajukan upaya hukum jika tidak menerima putusan tersebut.

Penutup
Setelah memperhatikan uraian tersebut diatas maka dapatlah dikatakan, bahwa pada setiap tahap persidangan perkara perdata kedua belah pihak sama-sama didengar dan diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu. Demikian sedikit uraian singkat tentang proses dan tahapan persidangan perdata semoga kita semua memahami serta menggunakan semua kesempatan pada setiap tahap persidangan tersebut secara profesional dan proporsional.

Alat-alat Bukti Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Alat-alat bukti yang dapat diperkenankan di dalam persidangan disebutkn dalam Pasal 164 HIR yang terdiri dari:
a) bukti surat
b) bukti saksi
c) persangkaan
d) pengakuan
e) sumpah
Dalam praktik masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan, yaitu pengetahuan hakim.

Praktik pembuktian
Hakim yang memeriksa perkara perdata berwenang membagi beban pembuktian di antara para pihak yang bersengketa. Pembagian beban pembuktian tersebut dilaksanakan dengan mengingat asas fair trial dalam persidangan sehingga harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan. Hukum pembuktian mengajarkan bahwa pembuktian dilaksanakan berdasarkan atas prinsip berikut ini :
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Perlu dicatat bahwa beban pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari pada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir ini dibebankan kepada pihak yang lebih mampu untuk membuktikannya.

Sehubungan dengan itu, Hakim jangan sampai memerintahkan untuk membuktikan hal yang negatif yaitu janganlah membebankan kepada si penjual bahwa ia belum menerima pembayaran karena akan lebih mudah bagi si pembeli untuk membuktikan bahwa ia sudah membayar.

sumber : https://www.academia.edu/37697896/Hukum_Acara_dan_Praktek_Perdilan_Perdata?auto=download

Tidak ada komentar:

Posting Komentar