HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Kamis, 09 Mei 2013

KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM



KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM
(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan)

            Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan. Politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Dalam pembuatan aturan perundangan peran politik hukum sangat penting dan dapat mencakup dua hal, yaitu:

1. Sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
2. Untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal.

Dalam cita hukum, politik harus diposisikan sebagai variabel yang terpengaruh oleh hukum. Arah dan tujuan pembangunan di bidang hukum harus terus diupayakan terfokus dan bertahap menuju arah dan tujuan bernegara sebagaimana yang dicita-citakan. Pancasila itu sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, maka timbul konsekuensi-konsekuensi yang bersifat imperatif bagi negara dan penyelenggaraan negara. Konsekuensi yang bersifat imperatif (mengharuskan/mewajibkan) itu, bahwa segenap aspek kehidupan negara dan penyelenggaraan negara serta setiap realisasi dan pelaksanaan sistem hukum positif Indonesia harus senantiasa sesuai Pancasila.

            Secara ilmiah, hukum dapat determinan atas politik, tetapi sebaliknya dapat pula politik determinan atas hukum. Dari sudut metodologi, keduanya benar secara ilmiah menurut asumsi dan konsepnya masing-masing. Hukum adalah produk politik adalah benar bila didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Hukum adalah produk politik juga menjadi salah apabila yang menjadi adasrnya das sein atau jika hukum tidak diartikan sebagai undang-undang.

            Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa politik sebagai independent variable secara ekstrem dibedakan atas politik yang demokratis dan politik yang otoriter, sedangkan hukum sebagai independent variable dibedakan atas hukum yang responsif dan hukum yang ortodoks. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan konfigurasi  politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks.
            Hubungan konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif dan konfigurasi  politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks memang benar sepanjang menyangkut politik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Namun terkadang konfigurasi politik yang otoriter sejauh menyangkut produk hukum privat dan tidak terkait dengan hubungan kekuasaan melahirkan hukum yang responsif.
Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapatkan tempat yang sangat menonjol. BPUPKI dan PPKI saat itu sepakat untuk memilih demokrasi dalam kehidupan bernegara yang kemudian dituangkan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari sini terlihat bahwa pada saat itu Indonesia dibentuk para pendiri yang mendambakan suatu negara hukum yang berasaskan demokrasi. Pada perkembangan di awal kemerdekaan saat itu sekitar
Konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959 mulai ditarik lagi ke arah yang otoriter sejak tahun 1957, ketika Presiden Soekarno melemparkan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin dimana pada periode ini lahir Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Konsepsi ini menempuh jalan konstitusionalnya ketika pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekritnya.
Menurut konsepsi demokrasi terpimpin, kehidupan politik periode sebelumnya merupakan sistem yang sangat bertentangan dengan budaya bangsa karenanya harus ditinggalkan. Yang terjadi dalam demokrasi terpimpin adalah tidak adanya demokrasi karena yang ditonjolkan adalah terpimpinnya sehingga konfigurasi politik yang nampak adalah konfigurasi otoriter.


Konfigurasi politik otoriter dapat dilihat dari :
·         Kekuasaan pemerintah yang berpusat di Istana Prsiden sangat kuat
·         Kekuasaan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah.
·         Kewenangan DPR sering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Perpu untuk akhirnya perlemen hasil pemilu pada 1955 dibubarkan dengan sebuah Penpres.
·         Kehidupan pers ditekan sedemikian rupa melalui pemberedelan, sensor, dan pemenjaraan.
·         Pada era demokrasi terpimpin ada 3 kekuasaan politik yang saling tolak-tarik dan saling memanfaatkan yaitu presiden Sukarno, Angkatan Darat, dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada pada Sukarno.
Pada awal mulanya hukum perburuhan merupakan bagian dari hukum perdata yang
diatur dalam bab VII A Buku III KUHPerdata tentang perjnjian kerja. Namun pada
perkembangannya tepatnya setelah Indonesia merdeka hukum perburuhan Indonesia
mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya terbitlah UU No. I Tahun1951
tentang berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang kerja, UU No. 22 Tahun 1957 tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No. 14 Tahun 1969 tentang pokok-pokok
ketenagakerjaan dan lain-lain.
            Apabila kita mengubungkan antara teori konfigurasi yang diungkapkan oleh Moh. Mahfud MD yaitu konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan konfigurasi  politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks, namun terkadang konfigurasi politik yang otoriter sejauh menyangkut produk hukum privat dan tidak terkait dengan hubungan kekuasaan melahirkan hukum yang responsif dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan adalah benar adanya.
Mengapa demikian ? Menurut penulis hal tersebut benar adanya karena pada Tahun 1957 di Indonesia menampilkan konfigurasi politik otoriter yang didasarkan pada paham demokrasi terpimpin yang menurut Moh. Mahfud MD akan melahirkan hukum yang ortodoks. Kekuasaan pemerintah yang berpusat di Istana Prsiden sangat kuat, sedangkan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah. Kewenangan DPR sering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Perpu. Kehidupan pers ditekan sedemikian rupa melalui pemberedelan, sensor, dan pemenjaraan. Pada era demokrasi terpimpin ada 3 kekuasaan politik yang saling tolak-tarik dan saling memanfaatkan yaitu presiden Sukarno, Angkatan Darat, dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada pada Sukarno.
Salah satu produk hukum yang lahir pada era demokrasi terpimpin saat itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mulai berlaku pada 4 Agustus 1957. Pada saat itu Penyelesaian perburuhan di Indonesia diatur dalam UU No.22 tahun 1957 yang terdiri dari sembilan bagian dan 32 pasal serta penjelasan. Adapun cara dan tingkat penyelesaian perselisihan perburuhan menurt UU ini adalah:
1) Pada tingkat pertama pihak-pihak yang berselisih harus berusaha menyelesikan kesulitan dalam lapangan perburuhan dengan jalan perundingan antara kedua belah pihak.
2) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesapakatan, pihak-
pihak yang berselisih dapat menempuh jalan arbitrse yang
diatur lebih lengkap dalam UU ini.
3) Apabila arbitrase tidak dikehendaki para pihak dapat meminta perantaraan dari pegawai kementrian perburuhan yang khusus ditunjuk untuk itu.
4) Apabila meenurut pegawai daya upayanya tidak berhasil perantaraan selanjutnya diberikan kepada panitia daerah.
5) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan maka panitia daerah berhak memberikan anjuran
6) Dalam hal-hal tertentu panitia berhak memberikan putusan yang berupa anjuran
7) Terhadap putusan panitia daerah yang bersifat mengikat selama 14 hari dapat dimintikan pemeriksaan ulang pada panitia pusat.
8) Putusan panitia pusat bersifat mengikat dan tidak bisa dimintakan banding
9) Jika suatu pihak hendak melakukan tindakan maka maksud
ituharus diberitahukan dengan surat kepada pihak lawan dan
panitia daerah.
10) Panitia daerah / pusat disusun berdasarkan atas asas tripartij terdiri dari wakil pemerintah,buruh dan majikan

            Ciri-ciri dari produk hukum otoriter Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan adalah :
·         Memuat ketentuan-ketentuan yang memfokuskan kekuasaan pada lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden.
·         Selain sebagai kepala eksekutif secara praktis presiden menjadi ketua lembaga legislatif karena jika presiden tidak mau menandatangani sebuah Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah maka Rancangan Undang-Undang tidak dapat berlaku.
·         Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan juga memuat ketentuan yang multi tafsir yang pada era demokrasi terpimpin maka penafsiran konstitusi yang harus diterima sebagai kebenaran adalah penafsiran yang dibuat oleh presiden.
·         Undang-undang ini juga terlalu banyak memberi atribusi kewenangan pada lembaga legislatif untuk mengatur hal-hal yang sangat penting dengan tanpa ada limitasi yang tegas di dalam UUD padahal presiden sangat dominan dalam proses pembentukan undang-undang.
Pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah adalah sama, yaitu bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat. Namun yang produk hukum yang dibuat oleh badan legislatif tersebut pasti ada kekurangannya. Begitu pula yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, ketika UU No. 22 Tahun 1957 dibuat pada saat itu sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan keadilan dalam perburuhan.
Namun seiring dengan perkembangan jaman undang-undang tersebut tidak sesuai lagi dan harus diperbaharui. Agar dapat memenuhi semua kebutuhan hukum masyarakat, maka peraturan perundang undangan harus selalu mengalami perkembangan dan pembaharuan, sehingga yang terbaru saat ini keluarlah Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, yang intinya sama yaitu untuk memberikan keadilan bagi masyarakat terutama dalambidang ketenagakerjaan.
Berdasarkan analisis penulis, produk hukum dari politik hukum demokratis akan menghasilkan produk hukum yang responsif antara lain Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 yang lebih efektif dan efisien dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia, dari pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1957. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar penulis berpendapat bahwa UU No. 2 tahun 2004 lebih efektif dari UU Nomor 22 tahun 1957, yaitu pada kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sebenarnya UU No. 22 Tahun 1957 sudah cukup bagus dalam memberikan keadilan bagi masyarakat. Berikut ini beberapa aspek yang bisa menjadi dasar bagi kita untuk menilai keefektifitasan peraturan perundang-undangan tersebut:
1.               Ruang lingkup subyek atau para pihak dalam perselisihan
Dalam UU No. 22 Tahun 1957 ruang lingkupnya terlalu sempit, yaitu para pihak dalam perselisihan hanya antara serikat pekerja dan pengusaha atau kumpulan pengusaha saja. Dalam hal ini undang-undang tidak mengakomodir kepentingan seorang tenaga kerja yang tidak dengan serikat pekerja. Sedangkan UU No 2 Tahun 2004, ruang lingkupnya cukup luas yaitu mengakomodir pekerja perorangan maupun serikat pekerja dengan pengusaha maupun kumpulan pengusaha.
2.               Ruang lingkup jenis atau bentuk perselisihan dalam UU No. 22 Tahun 1957 permasalahan yang diaturpun tidak luas, yaitu hanya mengatur tentang perselisihan hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan keadaan perburuhan. Masih ada beberapa permasalahan yang sangat dimungkinkan muncul tapi tidak diatur, seperti perselisihan kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat pekerja. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 diatur secara jelas tentang permasalahan ini.
3.               Prosedur atau mekanisme penyelesaian sengketa, mekanisme penyelesaian yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1957 kurang efektif dan tidak efeisien, bahkan terkesan berbelit-belit dan lama. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu :
·         Pertama : Banyaknya tingkatan-tingkatan lembaga yang harus dilalui dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyebabkan proses penyelesaiannya memakan waktu dan biaya yang banyak.
·         Kedua : Keputusan dari masing-masing lembaga yang daya mengikatnya tidak atau kurang kuat, menyebabkan para pihak kurang manghargai keputusan dari lembaga yang bersangkutan, sehingga harus mengajukan fiat eksekusi. Seperti contohnya keputusan arbitrase yang dapat dimintakan banding ke P4P, padahal yang namanya keputusan arbitrase itu harusnya bersifat final dan mengikat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar