HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Sabtu, 18 Mei 2013

HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN


Dalam hukum di Indonesia, perikatan atau perjanjian diatur dalam Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada buku ke III. Perikatan adalah suatu persepakatan antara dua belah pihak atau lebih yang mengikat pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Tujuan perikatan adalah mendapat prestasi, yakni memberi sesuatu, melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Sesuai dengan pasal 1234 BW, bahwa "tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau, untuk tidak berbuat sesuatu". Artinya suatu perikatan atau perjanjian itu bertujuan untuk menciptakan hukum yang mengikat dan harus dipatuhi oleh pihak yang terlibat di dalamnya.

Sumbernya berasal dari undang-undang. Adapun syarat sah perjanjian atau perikatan merujuk pada pasal 1320 BW adalah
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. suatu hal tertentu, dan
4. suatu sebab yang halal.

Poin pertama, "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" artinya adalah pihak-pihak yang membuat suatu perikatan harus mencapai kata sepakat. Poin kedua, "kecakapan untuk membuat suatu perikatan" artinya pihak-pihak yang membuat suatu perikatan harus cakap atau mampu bertanggung jawab secara hukum. Poin ketiga, "suatu hal tertentu" artinya suatu perikatan dikatakan sah bila adanya hal atau obyek tertentu. Poin keempat, "suatu sebab yang halal" artinya suatu perikatan dikatakan sah bila disepakatinya perikatan karena suatu sebab yang halal atau legal.

Dari penjelasan di atas, poin pertama dan kedua merupakan syarat obyektif, maksudnya bila terdapat paksaan, ceroboh / kelalaian atau penipuan maka perikatan tersebut tidak sah karena dapat dimungkinkan bahwa pihak-pihak yang bersangkutan tidak mencapai kata sepakat atau salah satu pihak tidak cakap hukum. Sehingga tidak memenuhi syarat-syarat obyektif. Atau dapat juga dibatalkan melalui upaya-upaya hukum.

Sedangkan poin ketiga dan keempat merupakan syarat subyektif. Perikatan yang tidak memenuhi syarat subyektif seperti sebab perikatan yang melanggar hukum atau tidak adanya obyek perikatan, maka perikatan tersebut otomatis batal demi hukum tanpa melakukan upaya hukum.

Hapusnya suatu perikatan atau perjanjian apabila dipenuhinya prestasi yang telah disepakati, percampuran harta misalnya akibat perkawinan atau berubahnya obyek dalam perikatan yang telah disepakati bersama sehingga timbulnya perikatan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar