BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang Masalah
Perang terhadap korupsi merupakan fokus
yang sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan
merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur
yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah
perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang
imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah .
Di Indonesia Korupsi dikenal dengan
istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah
menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat
yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Berdasakan
laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia
adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya
tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada
tahun 2002 bersama dengan Kenya. Sedangkan Pada tahun 2005 PERC
mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia[1]).
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang
baru dan menjadi endemik yang sangat lama semenjak pemerintahan Suharto
dari tahun 1965 hingga tahun 1997. Penyebab utamanya karena gaji pegawai
negeri dibawah standar hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang
lemah. Secara sistematik telah diciptakan suatu kondisi, baik disadari
atau tidak dimana gaji satu bulan hanya cukup untuk satu atau dua
minggu. Disamping lemahnya sistem pengawasan yang ada memberi kesempatan
untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri
untuk mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik untuk
kepentingan pribadi walau dengan cara melawan hukum.
Selain itu, sistem peradilan pidana
Indonesia tidak berjalan efektif untuk memerangi korupsi. Sehingga
pelaku korupsi terbebas dari jeratan hukum. Menurut Bank Dunia bahwa
korupsi di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan
pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda
beberapa kelembagaan seperti Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya bertugas untuk memberantas
korupsi[2]).
Kejadian tersebut di atas menyebabkan
protes dan penolakan dari masyarakat luas terhadap pemerintahan Suharto
maupun para penggantinya. Adanya korupsi dimana-mana dan timbulnya
perasaan jengkel karena keadilan yang dinantikan masyarakat tak kunjung
tiba, ditambah lagi keadaan ekonomi rakyat kian parah. Indonesia
Corruption Watch mengemukakan bahwa hal tersebut di atas menghasilkan
krisis ekonomi di Indonesia yang berujung dengan kejatuhan rezim
Suharto.
Reformasi nasional tahun 1998 yang
berhasil menjatuhkan pemerintahan Suharto pada bulan Mei 1998 tidak
serta merta mengeliminasi korupsi. Walaupun Presiden berikutnya setelah
era Suharto berjanji untuk memerangi korupsi tetapi hanya sedikit sekali
kemajuan yang dicapai untuk memerangi korupsi. Bahkan para presiden
pengganti Suharto telah tercemari skandal korupsi seperti pengumpulan
dana politik secara melawan hukum. Banyak para pejabat negara telah
terlibat dalam skandal korupsi termasuk para pejabat tinggi negara,
petinggi Golkar, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P)[3]).
Dalam kampanye pemilihan Presiden pada
tahun 2004 yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusung dan
berjanji untuk memerangi korupsi sebagai tujuan utamanya. Jawaban untuk
memerangi korupsi merupakan harapan seluruh bangsa Indonesia minus
koruptor. Hal inilah yang menarik pemilih untuk memilihnya dan berhasil
mengalahkan Megawati.
Pembentukan Komisi Pemberantas Korupsi
(KPK) dimaksudkan untuk memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab
tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan pidana di Indonesia. KPK
secara resmi dibentuk dengan adanya UU. Nomor 30 tahun 2002 dan setelah
terpilihnya pimpinan dan Ketua KPK pada tanggal 16 Desember 2003.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengidentifikasi
permasalahan hukum yang akan dikaji berkaitan dengan penulisan tugas
dalam mata kuliah Delik-delik Khusus ini yaitu bagaimanakah peranan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia ?
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin “coruptio” atau “corrutus”, selanjutnya disebutkan bahwa coruptio itu berasal dari kata corrumpere suatu kata latin yang lebih tua. Menurut bahasa eropa seperti Inggris, istilah korupsi adalah : corruption, corrup. Perancis : corruption. Dan dalam bahasa Belanda : corruptie. Dalam
bahasa Indonesia arti dari kata korupsi itu ialah kebusukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari
kesucian.
Arti dari korupsi yang telah diterima
dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu telah disimpulkan oleh
Poerwadarminta dalam kamus umum bahsa Indonesia bahwa korupsi adalah :[4])
“Perbuatan yang buruk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya, lalu dalam kamus besar
bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan edisi kedua 1995 mengartikan korupsi sebagai penyelewengan
atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain. Jadi secara epistemologis kata
korupsi berarti kemerosotan dari keadaan yang semula baik, sehat, benar
menjadi penyelewengan, busuk, kemerosotan itu terletak pada fakta bahwa
orang menggunakan kekuasaan, kewibawaan, dan wewenang jabatan menyimpang
dari tujuan yang semula dimaksud”.
B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Pengertian tindak pidana korupsi
berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi lebih luas seperti yang tercantum di dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan, dihukum
karena tindak pidana korupsi, yaitu :[5])
- Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
- Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada atau yang karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
- Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
- Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan Pasal 420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
Pengertian tindak pidana korupsi
berdasarkan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
lebih luas lagi yaitu dengan dicantumkan korporasi sebagai subjek hukum.
Pengertian korporasi sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyebutkan, bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
BAB III
PENDAPAT HUKUM
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
lembaga negara yang dalam melaksakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi).
Tujuan dibentuknnya KPK tidak lain adalah
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. KPK dibentuk karena institusi (Kepolisian,
Kejaksaan, Peradilan, Partai Politik dan Parlemen) yang seharusnya
mencegah korupsi tidak berjalan bahkan larut dan terbuai dalam korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum
dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi
perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan.
Karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara,
dan menghambat pembangunan nasional. Begitu parahnya maka korupsi di
Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime).
Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah
dibentuk KPK yang mempunya wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum
menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super body).
Awal pembentukan KPK dengan semangat yang
tinggi untuk memberantas korupsi, namun beberapa bulan terbentuk
nampaknya KPK dibiarkan untuk mati suri. Hal tersebut terjadi karena
kesalahan pemerintah dan DPR pada waktu itu yang tidak serius
memfasillitasi KPK untuk membangun infra struktur yang kuat. Hal ini
terbukti dengan KPK tidak punya penyidik sendiri, tidak punya pegawai,
tidak punya gedung yang representatif dan tidak punya peralatan serta
infra struktur untuk bergerak cepat.
Dalam tahun pertama menjalankan
peranannya sebagai ujung tombak memerangi korupsi, KPK menghadapi
beberapa kendala yang klasik antara lain keterlambatan pencairan dana
dari pemerintah. Hal ini mengundang kritik miring dari berbagai pihak
seperti Munarman, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
bahwa KPK hanya mencari-cari alasan apabila ditagih tentang kinerja
pimpinan KPK. Dia juga menambahkan bahwa sulitnya memberantas korupsi
karena pemerintah khususnya pejabat-pejabat yang berwenang dalam
memberantas korupsi sama sekali tidak memiliki kemauan politik (political will).
Selanjutnya Satya Arinanto, dosen Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia mengatakan tidak ada upaya KPK dalam menjalankan peranannya
memberantas korupsi bukan karena faktor keterlambatan dana, karena KPK
juga dapat dana dari luar negeri maupun bantuan asistensi dari
partnership. Faktor lain yang menghambat adalah kosongnya posisi
Sekretaris Jendera KPK hampir delapan bulan setelah dibentuk, sehingga
mengganggu jalannya roda administrasi. Sebenarnya hal ini bisa
ditanggulangi dengan mengangkat Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal.
Karena hampir setengah setahun tidak
menunjukkan kinerjanya maka KPK menuai keritik tajam dari pakar hukum
Prof Dr. Achmad Ali, yang juga anggota Komisi Nasional HAM dan praktisi
hukum Bambang Widjayanto mengatakan bahwa KPK lebih menempatkan diri
seperti akademisi, dan menjadi institusi wacana yang terlalu
mengada-ada. Prof Dr. Andi Hamzah menekankan bahwa dalam enam bulan
pertama KPK baru mau mencari apa yang harus dikerjakan.
Sebenarnya untuk melakukan peranannya KPK
diberikan kewenangan yang luar biasa seperti yang diatur dalam Pasal 6
butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bahwa lembaga ini dapat bertindak mulai dari:
- Mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi;
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
- Melakukan tindakan pencegahan korupsi;
- Memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam menangani kasus KPK diberi
kewenangan memperpendek jalur birokrasi dan proses dalam penuntutan.
Jadi KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu tugas Kepolisian dan
Kejaksaan yang selama ini tidak berdaya dalam memerangi korupsi.
Disamping itu dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002,
KPK diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang
berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik. Selanjutnya KPK mengambil alih kasus
korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan apabila :
- laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditinjaklanjuti;
- Proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarut-larut/ tetunda tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan;
- Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya;
- Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
- Adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; atau
- Keadaan lain yang menurut pertimbangnan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, KPK juga diberi kerwenangan untuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
- Melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat pengak hukum dan penyelengara negara;
- Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau
- Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Untuk memerangi tindak pidana korupsi
yang dikategorikan sebagai tindak pidana luara biasa (extra ordinary
crime), maka KPK diberi tambahan kewenangan yang tidak dimiliki
instititusi lain yaitu:
- Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
- Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian keluar negeri;
- Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
- Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
- Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait;
- Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
- Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri;
- Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Melihat kewenangan KPK, maka tidak heran
kalau kalangan hukum menyebutnya sebagai lembaga super (superbody).
Disamping itu, peranan KPK melebihi dari Kepolisian dan Kejaksaan dimana
Kepolisian dan Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan dan Penuntutan (SPPP) dalam perkara tindak pidana korupsi,
sebaliknya berdasarkan Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak
berwenang mengeluarkan SPP untuk menghindari adanya main mata antara
tersangka dan aparat KPK. Dengan kewenangan yang super tersebut KPK
mampu mengeliminasi korupsi secara konseptual dan sistematis. Masyarakat
tidak mau tahu akan keluh kesah KPK bekait dengan kurangya personil
maupun kesendirian KPK dalam menangani tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantas Korupsi mulai
memainkan perannya dengan membawa mantan Abdullah Puteh, mantan Gubernur
Nangroe Aceh Darussalam menjadi tersangka korupsi pengadaan helikopter.
Tahun 2005 merupakan kejutan dari pelaksanaan peran KPK dalam memerangi
korupsi yaitu berhasil menangkap Mulyana Wira Kusuma, anggota Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang mencoba menyuap salah seorang auditor BPK.
Kasus ini sekaligus mengungkap praktik korupsi di tubuh KPU yang
menyeret Nazarudin Syamsudin, Ketua, Rusadi Kantaprawira anggota KPU dan
Pejabat Sekreris Jenderal KPU serta stafnya.
Dalam waktu tidak beberapa lama KPK
menangkap pengacara Abdulah Puteh dan panitera Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta. Dilanjutkan dengan tindakan KPK menangkap pengacara Probosutejo
dan lima pegawai MA yang terlibat transaksi penerimaan uang suap
sebanyak 6 miliar. Hal ini menyebabkan KPK menggeledah dan memeriksa
tiga hakim agung, termasuk ketuanya Bagir Manan. Kemudian Suratno,
direktur Administrasi dan Keuangan RRI dibawa kepengadilan begitu juga
dengan rekanan RRI, Fahrani Husaini.
Lagi-lagi masyarakat dikejutkan dengan
perlakuan diskriminasi KPK sewaktu memeriksa Bagir Manan karena tidak
memanggil Bagir Manan di kantor KPK tapi malah datang kekantor dan
diruangan Bagir Manan di MA. Hingga kini kasusnya tidak jelas dan
terkesan menguap ditelan awan. Ketua KPK mengakui dalam kata sambutannya
memperingati dua tahun berdirinya lembaga tersebut bahwa perang
terhadap korupsi yang dilakukannya bagaikan “kesunyian dan kesendirian”
karena tidak ada kemauan yang serius ditingkat kekuasaan, kecuali
kepura-puraan belaka. Bahkan beberapa kasus di atas tanpa rasa malu tak
jarang koruptor dilindungi dengan kekuasaan dan cara-cara invisible
hand. Dia menegaskan bahwa ditengah upaya semu perang terhadap korupsi
yang dilakukan KPK, semua jadi penonton baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif tetap diam terpaku mesti satu persatu fakta
dipertontonkan. Tidak ada satupun instansi yang mencoba memperbaiki
sistemnya.
KPK tidak akan bisa melaksanakan perannya
secara optimal bilamana tidak didukung oleh keinginan dan tindakan
nyata pemerintah dalam penegakan hukum, terutama perang terhadap
korupsi. Hal ini terlihat bahwa perombakan kabinet yang baru-baru ini
dilakukan oleh presiden sama sekali tidak menyentuh sekali bidang
penegakan hukum. Bukankah untuk sudah disindir oleh Prof Dr. Azyumardi
Azra bahwa ikan membusuk dari kepala, jadi untuk memerangi korupsi
mulailah dari pimpinan tertinggi di lembaga atau departemen tersebut.
Selama itu tidak dilakukan maka perang terhadap korupsi tak ubahnya
dengan berperang melawan angin dan hanya retorika semata-mata.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atas pendapat hukum diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- Untuk memerangi korupsi diperlukan komitmen kuat dan kerja sama serta koordinasi yang baik antar instansi pemerintah dan aparat penegak hukum. Tugas memberantas korupsi hanya dapat dilakukan apabila semua komponen bangsa bersatu dan saling mendukung dalam segala upaya pemberantasan korulsi.
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 secara jelas sudah memberikan kewenangan kepada KPK yang sangat kuat dan besar untuk melakukan pemberantasan korupsi secara sistemik dan menjadikan KPK sebagai tongggak utama dalam pemberantasan korupsi.
B. Rekomendasi
Sebagai saran penulis sampaikan dalam
penulisan ini yaitu agar pemberantasan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat berjalan dengan
baik, maka diperlukan komitmen yang kuat dan peningkatan kerja sama
serta koordinasi dengan instansi pemerintah dan penegak hukum lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Alumni AHM-PTHM, 1982.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 1993.
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1996.
Soedjono Dirjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, Cv Sinar Baru, Bandung, 1984.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
[1]) Kompas, 19 Maret, 2005.
[2]) Kompas, 21 Oktober 2003.
[3]) Tempo, 23-29 April, 2002.
[4]) Djoko Prakoso dan Ali Suryati, Upetisme Ditinjau Dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi cetakan I tahun 1971, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm. 8.
[5]) R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, hlm. 434.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar