Istilah whistle blower dan justice collaborator kini
kerap muncul dalam penanganan kasus korupsi di KPK. Istilah keduanya
dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011
tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Dalam SEMA disebutkan, whistle blower
adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan
bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak
pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam
kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam
proses peradilan.
Tindak
pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi,
terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang,
perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat
terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah
dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.
Dalam
SEMA dijelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk
menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana
tertentu tersebut. Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 Ayat (2) dan
Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption)
tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, setiap negara peserta
wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus
tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan
kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu
kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.
Sedangkan
Ayat (3) pasal tersebut adalah, setiap negara peserta wajib
mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar hukum
nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang
memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.
Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes). Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi UU No. 7 Tahun 2006 dan meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional menjadi UU No. 5 Tahun 2009.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, menjadi whistle blower maupun justice collaborator memiliki perlindungan berbeda satu sama lain. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal itu menyebutkan, whistle blower
atau saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah
diberikan. Sedangkan justice collaborator atau saksi sekaligus
tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun,
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
pidananya.
Untuk menyamakan visi dan misi mengenai whistle blower dan justice collaborator,
dibuatlah Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan
HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK). Peraturan Bersama tersebut mengatur tentang Perlindungan
Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Menurut
Denny, terdapat empat hak dan perlindungan yang diatur dalam peraturan
bersama ini. Pertama, perlindungan fisik dan psikis bagi whistle blower dan justice collaborator. Kedua, perlindungan hukum. Ketiga penanganan secara khusus dan terakhir memperoleh penghargaan.
Untuk penanganan secara khusus, terdapat beberapa hak yang bisa diperoleh whistle blower atau justice collaborator
tersebut. Yakni, dipisahnya tempat penahanan dari tersangka atau
terdakwa lain dari kejahatan yang diungkap, pemberkasan perkara
dilakukan secara terpisah dengan tersangka atau terdakwa lain dalam
perkara yang dilaporkan.
Kemudian,
dapat memperoleh penundaan penuntutan atas dirinya, memperoleh
penundaan proses hukum seperti penyidikan dan penuntutan yang mungkin
timbul karena informasi, laporan dan atau kesaksian yang diberikannya.
Serta bisa memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan
wajahnya atau menunjukkan identitasnya.
Selain
penanganan secara khusus, saksi sekaligus pelaku tindak pidana tersebut
bisa memperoleh penghargaan berupa keringanan tuntutan hukuman,
termasuk tuntutan hukuman percobaan. Serta memperoleh pemberian remisi
dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku apabila saksi pelaku yang bekerjasama adalah seorang narapidana.
Semua hak ini bisa diperoleh oleh whistle blower atau justice collaborator dengan persetujuan penegak hukum.
Dalam kasus korupsi yang ditangani di KPK, setidaknya ada dua orang yang sudah disebut sebagai justice collaborator.
Pertama, mantan Anggota DPR dari Fraksi PDIP Agus Tjondro Prayitno yang
divonis bersalah menerima suap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia (DGS BI) tahun 2004. Agus sendiri sudah memperoleh
pembebasan bersyarat sejak akhir Oktober tahun lalu.
Selain itu, Agus, mantan Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang juga memperoleh label justice collaborator.
Rosa sendiri telah divonis bersalah karena menyuap Sesmenpora Wafid
Muharram dalam proyek pembangunan wisma atlet di Palembang. Kini, Rosa
tengah menunggu pembebasan bersyarat. Sebelumnya, LPSK bersama KPK
mengajukan permohonan agar Rosa diberikan pengurangan hukuman (remisi)
yang diharapkan bisa berujung ke pembebasan bersyarat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar