HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Jumat, 26 April 2013

OBJEK HAK TANGGUNGAN



Hak Milik

          Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa “semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”. Sifat-sifat hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”, maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh Pengaturan mengenai hak milik tercantum dalam Pasal 20-27 UUPA. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Yang dapat menjadi subjek hak milik:
a.    WNI;
b.    Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh pemerintah;
c.    Orang-orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan.

Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu bisa terjadi karena Penetapan Pemerintah atau ketentuan Undang-Undang. Setiap peralihan, hapusnya dan pembeban hak milik dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Hak milik hapus bila:
a.    Tanahnya jatuh kepada negara,
karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;
karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
karena ditelantarkan;
karena ketentuan pasal ayat (3) dan 26 ayat (2).
b.    Tanahnya musnah.


 Hak Guna Usaha (HGU)

          Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk  mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan HGU terdapat pada Pasal 28-34 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 2-18.
Peralihan Hak Guna Usaha terjadi karena:

a.    jual beli;
b.    tukar menukar;
c.    penyertaan dalam modal;
d.    hibah;
e.     pewarisan.

Subjek HGU:
a.    WNI;
b.    Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Terjadinya hak guna usaha karena penetapan Pemerintah.

Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna usaha adalah:
a)    Tanah negara;
b)   Tanah negara yang merupakan kawasan hutan, setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan;
c)    Tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak Guna Usaha diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat  diperpanjang paling lama 25 tahun. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGU diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf  a, yaitu :
“Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun”.

Hak guna usaha hapus karena:
a.    Jangka waktunya berakhir
b.    Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.    Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.   Dicabut untuk kepentingan umum;
e.    Ditelantarkan;
f.     Tanahnya musnah;
g.    Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960.




 Hak Guna Bangunan (HGB)

            Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Tidak mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik seseorang. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan mengenai HGB terdapat dalam Pasal 35-40 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 19-38.

Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena:
a.    jual beli;
b.    tukar menukar;
c.    penyertaan dalam modal;
d.   hibah;
e.    pewarisan.

Subjek HGB:
a.    WNI;
b.    Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah:
a.    Tanah negara;
b.    Tanah hak pengelolaan;
c.    Tanah hak milik.

Hak guna bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGB diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf b, yaitu:
“Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun”.

Hak guna bangunan hapus karena:
a.    Jangka waktunya berakhir;
b.    Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.    Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.   Dicabut untuk kepentingan umum;
e.    Ditelantarkan;
f.     Tanahnya musnah;
g.    Ketentuan dalam pasal 36 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960.

 Hak Pakai

            Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No. 5 Tahun 1960. Pengaturan mengenai Hak Pakai terdapat dalam Pasal 41-43 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 39-59.

Hak Pakai diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Mengenai peralihan hak:
o  Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang;
o  Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

Subjek hak pakai:
a.    WNI;
b.    Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.    Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.   Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
e.    Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
f.     Badan-badan keagamaan dan sosial;
g.    Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
h.    Terjadinya hak pakai karena pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah.

Hak Pakai Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah:
a.    Tanah negara;
b.    Tanah hak pengelolaan;
c.    Tanah hak milik.

Jangka waktu:
a.    Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu;
b.    Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada:
• Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
• Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;
• Badan Keagamaan daan badan sosial.

Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu Hak Pakai diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf c, yaitu:
“Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun”.

Hak pakai hapus karena:
a.    Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
b.    Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang HakMilik sebelum jangka waktunya berakhir karena:
c.    tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52; atau
tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang
dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau
d.   putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
e.    Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
f.     dicabut berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 1961;
g.    Ditelantarkan;
h.    Tanahnya musnah;
i.      Hapus karena hukum (pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat subyek yang berhak/dapat memegang Hak Pakai).


Hak Atas Satuan Rumah Susun

            Dalam pasal 12 ayat 1 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985, ditetapkan bahwa rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Ketentuan tersebut mengatur hal baru karena sebelum adanya UURS, objek utama dari hak jaminan adalah tanah. Dalam keadaan tertentu, jika dikehendaki para pihak, hak jaminan yang dibebankan atas suatu bidang tanah dapat meliputi juga bangunan yang ada di atasnya.
Dalam Pasal 12 tersebut, yang merupakan obyek pokok hak jaminan yang dibebankan bukan tanahnya, melainkan bangunan rumah susunnya. Pasal 12 UURS juga memuat ketentuan yang penting bagi Hukum Jaminan Indonesia, bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan atas tanah dimana rumah susun itu dibangun beserta rumah susun yang akan dibangun, sebagai jaminan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.
Keistimewaan lembaga ini adalah bahwa bangunan yang pada saat hak tanggungan dibebankan belum ada dapat ikut terbebani hak tanggungan, masuk akal kiranya bahwa yang sudah ada juga dapat ikut terbebani. Tetapi semuanya itu dapat diperjanjikan secara tegas dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, karena tidak terjadi dengan sendirinya seperti dalam hukum yang menggunakan asas pendekatan (accessie).

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa hukum tanah kita menggunakan asas pemisahan horizontal, sehingga selain harus diperjanjikan, bangunan yang dapat ikut terbebani hak tanggungan tersebut, menurut kenyataannya harus bersifat permanen dan milik dari yang punya tanah.
Hak milik atas satuan rumah susun juga dapat dijadikan jaminan kredit. Kemungkinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 13 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang menyatakan, bahwa hal milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan jika tanahnya hak milik atau Hak Guna Bangunan, atau Fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah negara.

Dari ketentuan tersebut dapat dibaca bahwa yang menjadi obyek pokok jaminan Hak Tanggungan bukan tanahnya melainkan hak milik atas satuan rumah susunnya, sehingga Hak Tanggungan atau Fidusia yang dibebankan meliputi selain satuan rumah susun yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun yang dijaminkan.

Ketentuan ini diadakan untuk memungkinkan diperolehnya Kredit Pemilik Rumah (KPR) guna membayar lunas harga satuan rumah susun yang dibeli pengembaliannya dapat dilakukan secara angsuran KPR tersebut baru dapat diberikan setelah rumah susun yang bersangkutan selesai dibangun dan telah pula dilakukan pemisahan dalam satuan – satuan rumah susun yang bersertifikat.
Menurut ketentuan Pasal 12 dan 13 Undang – Undang No.16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (“UURS”) bahwa rumah susun dan satuan rumah susun dapat dijadikan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. Mengenai tata cara pembebanan dan penerbitan tanda buktinya, diuraikan sebagai berikut.

Pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam pasal 14 dan 15 UURS, dimana dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dan wajib didaftarkan pada Kantor Agraria (sekarang kantor pertanahan) Kabupaten / Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak bersangkutan. Tata caranya sama dengan pembebanan Hak Tanggungan yang obyek pokoknya tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang belaku.
Selanjutnya pembebanan Hak Tanggungan tersebut dalam rangka memenuhi syarat publisitas, yang merupakan salah satu syarat bagi yang sahnya dan kelahiran Hak Tanggungan yang diberikan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

Berdasarkan Pasal 13 ayat 2 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (“UUHT”) juncto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendafataran Tanah, maka PPAT yang membuat pembebanan Hak Tanggungan tersebut selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya pembebanan Hak Tanggungan tersebut, wajib menyampaikan APHT yang dibuatnya berikut dokumen – dokumen yang bersangkutan seperti sertifikat tanahnya (kalau yang dijaminkan rumah susun atau tanah tempat akan dibangunnya rumah susun) atau sertifikat HMSRS (kalau yang dijaminkan satuan rumah susunnya) kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Dan PPAT wajib menyampaikan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan. Pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pambuatan Buku Tanah Hak Tanggungannya, diikuti dengan penerbitan sertifikat Hak Tanggungan serta pencatatan adanya Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan sertifikat tanah rumah susun atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (“HMSRS”) yang dijadikan jaminan.

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan tersebut Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT, yang membuktikan pemberian Hak Tanggungan tersebut.

Kecuali diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah atau HMSRS yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah / pemegang HMSRS yang bersangkutan. Sedangkan sertifikat hak tanggungannya diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.

Jumat, 14 Desember 2012

Tentang Putusan P T U N



Putusan   P T U N
1.         Proses memutuskan sengketa tata usaha negara
Putusan pengadilan harus mencerminkan 4 (empat) kriteria pokok dari asas-asas  peradilan yang baik sebagaimana diutarakan oleh de Waard (dalam Sidharta,1996: 332-333):

1)         Decisie bentrisel (right to a decision), asas bahwa seorang hakim harus menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang waktu yang pantas. Termasuk disini hak setiap orang untuk mengajukan gugatan (perkara), dan larangan bagi hakim untuk menolak mengadili/memeriksa perkara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

2)         Verdidigings beginsel (a fair hearing), asas bahwa setiap pihak yang  berperkara berhak atas kesempatan membel diri dan bahwa kedua belah pihak juga.harus mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama dalam mengetahui, mengajukan berkas-berkas pembuktian dan memperoleh informasi..

3)         Onpgrtijdigheids beginsel (no bias), asas bahwa putusan dijatuhkan secara obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau anggota-anggota instansi peradilan, ataupun didasarkan atas motif-motif yang tidak bersifat zakeiijk, ataupun adanya kontak (hubungan) secara tersembunyi dari salah satu pihak atau di luar perkara dengan hakim, sehingga menyimpang dari prosedur semestinya.

4)         Motiverings beginsel (reasons and argumentations of decision), .asas bahwa putusan hakim harus memuat.alasan-alasan hukum yang jelas dan.dapat dimengerti, serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang runtut. Sekalipun bagi hakim ada kebebasan dan diskresi untuk menentukan dan menjatuhkan putusannya, namun kesemuanya itu harus didasarkan pada argumen-argumen yang dapat diawasi dan diikuti (controleerbaarheid).

Metode yang dipergunakan dalam musyawarah majelis Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut adalah sebagai berikut (Pasal 97 ayat (3), (4), dan (5)):

1. Prinsipnya adalah bahwa putusan yang dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, dengan perkecualian, jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat putusan diambil dengan suara terbanyak.

2. Apabila musyawarah. majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, maka. permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majeiis berikutnya.

3. Apabila musyawarah-majelis betikutnya tidak dapat diambil suara terakhir Hakim Ketua.Majelis yang.menentukan.

Putusan yang harus dihasilkan nmelalui musyawarah dengan prinsip Permufakatan bulat berkaitan dengan segi objektivitas putusan. Sudikno (1998: 54) berpendapat bahwa apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaidah hukum; maka yang secara langsung mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar putusan (ratio decidendi).
Sebelum putusan dihasilkan, harus dicermati pula kemungkinan adanya Perubahan keadaan yang terjadi selama proses berjalan, yang sedikit banyak kiranya ada pengaruhnya terhadap putusan yang, akan dijatuhkan Pengaruh tersebut dapat diklasifikasikan atas (Indroharto, 1993: 120-121):

1.         Pengaruh penrbahan-perubahan keadaan tersebut terhadap penilaian atau pengujian yang harus dilakukan Pengadilan mengenai keputusan TUN yang digugat
2.         Pengaruh perubahan-perubahan keadaan tersebut terhadap putusan diktum yang dijatuhkan oleh Pengadilan.

Mengenai perubahan-perubahan keadaan tersebut perlu dibedakan antara:
1.         Perubahan mengenai peraturan yang berlaku  .
2.         Perubahan mengenai posisi-posisi hukum serta situasi kepentingan-kepentingan tertentu.
3.         Perubahan dalam kebijaksanaan Tergugat.
Pengertian istilah ruang tertutup untuk musyawarah majelis Hakim tersebut (Pasal 97 ayat 1), kiranya harus ditafsirkan demi objektivitas dan kemandirian Pengadilan dan tidak diartikan tertutup terhadap perkembangan keadaan sehubungan dengan sengketa yang akan diputus.

Sehubungan dengan upaya menemukan atau mencari hukumnya, tidak sekedar mencari undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret yang dicarikan hukumnya. Kegiatan tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Guna mencari atau menemukan hukumnya atau undang¬undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, perisHwa korilcrit itu hams diarahkan kepada undang-undangnya,sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan pedstiwanya yang konkrit (Mertokosumu, 1988: 60).

Diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dalam pembuatan putusan di PTUN, mengingat asas setiap putusan PTUN mempunyai kekuatan mengikat erge omnes, sesuai dengan karakter hukum publik sengketa tata usaha negara.

Prinsip penting yang harusdiperhatikan mengenai prosedur putusan pengadilan adalah putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat 1). Sanksi terhadap tidak dipenuhinya prinsip tersebut, putusan Pengadilan tersebut menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 108 ayat 3).

Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang, salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.

Ditinjau dari prosesnya, putusan pengadilan dapat diklasifikasikan atas (bandingkan Pasa1185 ayat (1) HIR):
1.         Putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.

Putusan akhir ini terdiri dari:  .           . .         . .
a. Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir). Putusan cundemnatair adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi: memberi, berbuat, dan tidak berbuat.

b. Putusan akhir yang bersifat menciptakan. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan keadaan hukum.

c. Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.


2. Putusan sela atau putusan antara (interlocutair vonis). “Putusan yang fungsinya adalah untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Macam-macam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah (Pasa97 ayat 7):

a. Gugatan ditolak
Menolak gugatan berarti memperkuat keputusan badan atau pejabat administrasi negara.

b. Gugatan dikabulkan    .
Mengabulkan gugatan. berarti tidak membenarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara, baik seluruhnya atau sebagian.

c. Gugatan tidak diterima
Tidak menerima gugatan berarti gugatan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

d. Gugatan gugur
Gugatan gugur, apabila (para) pihak atau (para) kuasanya, kesemuanya tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan dan telah dipanggil secara patut.  ,
Putusan akhir tersebut di atas, menurut sifatya dapat dibagi dalam 3
jenis, yaitu:

1. Putusan yang bersifat pembebanan (condemnatoir). Putusan yang mengan-
dung pembebanan.
Misalnya.tergugat dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat. tergugat dibebani membayar ganti rugi atau melakukan rehabilitasi (Pasal 9 ayat 9 butir huruf a, b, q Pasai 47 ayat 10 dan 11).Contoh: surat pemberhentian pegawai dibatallcan dan melakukan rehabilitasi.

2. Putusan yang bersifat pemyataan (declaratoir).          .
Putusan yang hanya menegaskan suatu keadaan hukum yang sah. Misalnya: penetapan dismisal (Pasa162). Contoh gugatan tidak diterima atau tidak berdasarkan. Penetapan perkara diperiksa dengan acara cepat (Pasal 48). Beberapa perlu digabungkan atau dipisah-pisahkan dan lain-lain.

3. Putusan yang bersifat penciptaan (constifutif).
Putusan yang melenyapkan suatu keadaan hukum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Misalnya tergugat selain dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat, juga dibebani kewajiban yang hams dilakukan oleh tergugat untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru (Pasal 97 ayat 9 huruf b).

Ditinjau dan kekuatan putusan. maka terdapat tiga macam kekuatan yang, terdapat pada putusan Hakim. yaitu:
-  kekuatan mengikat
Putusan Hakim yang telah bersifat tetap, tidak dapat digunakan upaya hukum lagi atau telah pasti memiliki kekuatan mengikat. Putusan Hakim di Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap memiliki kekuatan mengikat erga omnes, artinya dapat berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa.

-  kekuatan eksekutorial .
Putusan Hakim yang telah berkekuatan tetap pada umumnya dapat dijalankan, sehingga disebut.. telah memiliki kekuatan eksekutorial.

-  kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuklian putusan Pengadilan itu sejajar dengan akta otentik, sehingga selalu diakui kebenarannya sepanjang telah berkekuatan hukum tetap.

II.Pertimbangan tentang hukumnya
a. Analisis logika deduktif
b. Memuat penilaian/pengujian yuridis hakim atas obyek sengketa.
c. Merupakan sikap/pendirian hakim berdasarkan keyakinannya terhadap suatu sengketa tata usaha negara tertentu
d. Konklusi dari perbedaan pendapat para pihak tentang legalitas Keputusan TUN.    .
e. Didasari asas ius curia novit
f. Dapat mengandung identifikasi AAUPB
g. Merupakan penilaian tentang hubungan yuridis antara Keputusan TUN dengan kerugian yang ditimbulkannya. Hakim harus menentukan  batas-batas korelasi antara KTUN dengan kepentingan penggugat.
h. Didalamnya mengandung prinsip pembebanan pembuktian.

III. Bab Mengadili
a.   Bersifat declaratoir dalam hal: 1). Penerimaan atau penolakan gugatan
dan Penilaian keabsahan Keputusan TUN obyek sengketa.

b. Bersifat candemnatoir terhadap: 1). Keberlakuan Keputusan TUN: kewajiban-tergugat untuk mencabut Keputusan TUN; 2). Pemberian ganti rugi dan/atau rehabilitasi; 3). Biaya perkara yang hams ditanggung oleh salah satu pihak dalam sengketa yang dikalahkan.

Berkaitan dengan metode pengingkaran tersebut, Malt sebagaimana dikurip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa Through disavowal, the court may avoid the feeling of doing politics, and may aid in keeping conflicts, also of values alive. But what it does is also in a away to close its eyes to the problem. A variant of the lex specialis principle will often be involved in the argumentation.

Bila diterjemahkan maknanya adalah melalui pengingkaran, pengadilan dapat membantu dalam mempertahankan pertentangan, juga terhadap nilai-nilai, tetapi, apa yang dilakukan juga berada dalam suatu cara untuk menghindari permasalahan. Berbagai prinsip lex specialis akan sering terlibat dalam argumentasi.

Penafsiran kembali (reinterpretation) adalah langkah untuk mengatasi terjadinya antinomi/konflikantar norma hukum dengan cara hakim menafsirkan kembali suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penetapan suatu KTUN untuk memberikan solusi hukum atas terjadinya sengketa tata usaha negara. Sehubungan dengan penafsiran kembali (reinterpretation) tersebut, Malt sebagainiana dikutip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa this possibility has already been, mentioned several times before. A (hard) conflict, both logical and a pragmatical one, established after primary interpretation of the conflicting rules, can often be solved through a reinterpretation of the conflicting rules. Terjemahannya adalah bahwa sebuah konflik terbentuk setelah menafsirkan aturan-aturan utama yang berkonflik sering dapat dipecahkan melalui penafsiran kembali aturan-aturan itu.

Sehubungan pengertian pembatalan (invalidation), Malt sebagaimana dikutip oleh Pranjoto (2006: 172-174) menyatakan bahwa invalidation as positively chosen solution is most practical as a result of applying the lex superior principle. Maknanya pembatalan yang dipilih secara positif karena paling prakfis sebagai suatu akibat penetapan pdnsip lex superior. Berdasarkan prinsip pembatalan tersebut, hakim tata usaha negara dapat membatalkan berlakunya suatu KTUN, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pembatalan atas KTUN yang diuji di Peradilan TUN- tersebut dimaksudkan agar KTUN itu dapat disinkronisasikan dengan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tinggi.oleh badan atau pejabat TUN yang membuat KTUN itu.

2. Elemen-elemen Yang Harus Ada Pada Putusan
Sebagai syarat imperatif. Putusan Pengadilan harus memuat (Pasal 104 ayat 1);
a. Kepala Putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Hal ini karena menumt Pasal 4 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004, peradilan dilakukan sesuai dengan bunyi rumusan kepala putusan tersebut. Title tersebut yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan sehingga dapat dilaksanakan.

b. Nama, jabatan, Kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa.

c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas ini membuktikan bahwa argumen-argumen yang dikemukakan kedua belah pihak sesuai dengan asas audi et alteram partem telah menjadi bagian dari putusan, dan secara adil serta objektif dijadikan dasar pertimbangan putusan.

d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Pertimbangan (konsiderans) merupakan dasar dan putusan. Pertim-bangan dapat meliputi pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Sifat aktif Hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara tampak pada penilaian alat bukti sesuai dengan, asas pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 100 dan Pasal 107). Fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan selama pemeriksaan sengketa, juga memiliki relevansi terhadap penimbangan Hakim.        .

e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
Harus dicantumkan argumen yuridis sehubungan dengan sengketa yang diperiksa. Pasal 14 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dad putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUNo. 48 Tahun 2009 diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion). Dissenting opinion merupakan perpaduan konsep rechtsstaat dengan angle saxon, karena semula hal itu bertumbuh dari konsep anglo saxon.

f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
Amar (diktum) putusan merupakan tanggapan atau jawaban petitum. Amar putusan di Peradilan Tata Usaha Negara mengacu pada Pasa197 ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11) UU  Peradilan TUN.

g. Closing statement
Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus nama panitem serta keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak. Selambat-lambatnya 30 hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan. Putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang. ApabiIa Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.