Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa “semua hak
tanah mempunyai fungsi sosial”. Sifat-sifat hak milik yang
membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”,
maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai
orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh Pengaturan mengenai hak milik tercantum
dalam Pasal 20-27 UUPA. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain.
Yang dapat menjadi subjek hak milik:
a.
WNI;
b.
Badan-badan
hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh pemerintah;
c.
Orang-orang
asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini memperoleh hak
milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan.
Terjadinya hak milik menurut hukum adat
diatur dengan Peraturan Pemerintah, selain itu bisa terjadi karena Penetapan
Pemerintah atau ketentuan Undang-Undang. Setiap peralihan, hapusnya dan
pembeban hak milik dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan
setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak milik
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Hak milik hapus bila:
a.
Tanahnya jatuh
kepada negara,
karena pencabutan hak berdasarkan Pasal
18;
karena penyerahan dengan sukarela oleh
pemiliknya;
karena ditelantarkan;
karena ketentuan pasal ayat (3) dan 26
ayat (2).
b.
Tanahnya
musnah.
Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling
lama 25 tahun. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri
guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan Hak guna usaha dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan HGU terdapat pada Pasal
28-34 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 2-18.
Peralihan Hak Guna Usaha terjadi karena:
Peralihan Hak Guna Usaha terjadi karena:
a.
jual beli;
b.
tukar menukar;
c.
penyertaan
dalam modal;
d.
hibah;
e.
pewarisan.
Subjek HGU:
a.
WNI;
b.
Badan Hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Terjadinya hak guna usaha karena penetapan Pemerintah.
Terjadinya hak guna usaha karena penetapan Pemerintah.
Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat
pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang
Nomor 5 Tahun 1960. Hal ini dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor
Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak
guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Tanah yang dapat diberikan dengan hak
guna usaha adalah:
a)
Tanah negara;
b)
Tanah negara
yang merupakan kawasan hutan, setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari
statusnya sebagai kawasan hutan;
c)
Tanah yang
telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, setelah
terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Guna Usaha diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak guna usaha
diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Dengan
berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu
HGU diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf a,
yaitu :
“Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan
jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat
diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun”.
Hak guna usaha hapus karena:
a.
Jangka waktunya
berakhir
b.
Dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.
Dilepaskan oleh
pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.
Dicabut untuk
kepentingan umum;
e.
Ditelantarkan;
f.
Tanahnya
musnah;
g.
Ketentuan dalam
pasal 30 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960.
Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Tidak mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik seseorang. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pengaturan mengenai HGB terdapat dalam Pasal 35-40 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 19-38.
Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi
karena:
a.
jual beli;
b.
tukar menukar;
c.
penyertaan
dalam modal;
d.
hibah;
e.
pewarisan.
Subjek HGB:
a.
WNI;
b.
Badan Hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Tanah yang dapat diberikan dengan hak
guna bangunan adalah:
a.
Tanah negara;
b.
Tanah hak
pengelolaan;
c.
Tanah hak
milik.
Hak guna bangunan diberikan untuk
jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun.
Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka
Waktu HGB diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf b, yaitu:
“Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun”.
“Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun”.
Hak guna bangunan hapus karena:
a.
Jangka waktunya
berakhir;
b.
Dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c.
Dilepaskan oleh
pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d.
Dicabut untuk
kepentingan umum;
e.
Ditelantarkan;
f.
Tanahnya
musnah;
g.
Ketentuan dalam
pasal 36 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960.
Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No. 5 Tahun 1960. Pengaturan mengenai Hak Pakai terdapat dalam Pasal 41-43 UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 Pasal 39-59.
Hak Pakai diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Mengenai peralihan hak:
o Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain
dengan izin pejabat yang berwenang;
o Hak pakai atas tanah milik hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang
bersangkutan.
Subjek hak pakai:
a.
WNI;
b.
Orang asing
yang berkedudukan di Indonesia;
c.
Badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.
Badan hukum
asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
e.
Departemen,
Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
f.
Badan-badan
keagamaan dan sosial;
g.
Perwakilan
negara asing dan perwakilan badan Internasional.
h.
Terjadinya hak
pakai karena pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikan atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanah.
Hak Pakai Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat (Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah:
a.
Tanah negara;
b.
Tanah hak
pengelolaan;
c.
Tanah hak
milik.
Jangka waktu:
a.
Hak Pakai atas
tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun
atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu;
b.
Hak Pakai yang
diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk
keperluan tertentu diberikan kepada:
• Departemen,
Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
• Perwakilan
negara asing dan perwakilan badan Internasional;
• Badan
Keagamaan daan badan sosial.
Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu Hak Pakai diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf c, yaitu:
“Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun”.
Hak pakai hapus karena:
a.
Berakhirnya jangka
waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya
atau dalam perjanjian pemberiannya;
b.
Dibatalkan oleh
pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang HakMilik sebelum
jangka waktunya berakhir karena:
c.
tidak dipenuhinya
kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52; atau
tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau
tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau
d.
putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
e.
Dilepaskan
secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
f.
dicabut berdasarkan
Undang-undang Nomor 20 tahun 1961;
g.
Ditelantarkan;
h.
Tanahnya
musnah;
i.
Hapus karena
hukum (pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat subyek yang berhak/dapat
memegang Hak Pakai).
Hak Atas Satuan Rumah Susun
Dalam pasal 12 ayat 1 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985, ditetapkan bahwa rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. Ketentuan tersebut mengatur hal baru karena sebelum adanya UURS, objek utama dari hak jaminan adalah tanah. Dalam keadaan tertentu, jika dikehendaki para pihak, hak jaminan yang dibebankan atas suatu bidang tanah dapat meliputi juga bangunan yang ada di atasnya.
Dalam Pasal 12 tersebut, yang merupakan obyek pokok hak jaminan yang dibebankan bukan tanahnya, melainkan bangunan rumah susunnya. Pasal 12 UURS juga memuat ketentuan yang penting bagi Hukum Jaminan Indonesia, bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan atas tanah dimana rumah susun itu dibangun beserta rumah susun yang akan dibangun, sebagai jaminan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.
Keistimewaan lembaga ini adalah bahwa bangunan yang pada saat hak tanggungan dibebankan belum ada dapat ikut terbebani hak tanggungan, masuk akal kiranya bahwa yang sudah ada juga dapat ikut terbebani. Tetapi semuanya itu dapat diperjanjikan secara tegas dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, karena tidak terjadi dengan sendirinya seperti dalam hukum yang menggunakan asas pendekatan (accessie).
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa hukum tanah kita menggunakan asas pemisahan horizontal, sehingga selain harus diperjanjikan, bangunan yang dapat ikut terbebani hak tanggungan tersebut, menurut kenyataannya harus bersifat permanen dan milik dari yang punya tanah.
Hak milik atas satuan rumah susun juga dapat dijadikan jaminan kredit. Kemungkinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 13 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang menyatakan, bahwa hal milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan jika tanahnya hak milik atau Hak Guna Bangunan, atau Fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah negara.
Dari ketentuan tersebut dapat dibaca bahwa yang menjadi obyek pokok jaminan Hak Tanggungan bukan tanahnya melainkan hak milik atas satuan rumah susunnya, sehingga Hak Tanggungan atau Fidusia yang dibebankan meliputi selain satuan rumah susun yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun yang dijaminkan.
Ketentuan ini diadakan untuk memungkinkan diperolehnya Kredit Pemilik Rumah (KPR) guna membayar lunas harga satuan rumah susun yang dibeli pengembaliannya dapat dilakukan secara angsuran KPR tersebut baru dapat diberikan setelah rumah susun yang bersangkutan selesai dibangun dan telah pula dilakukan pemisahan dalam satuan – satuan rumah susun yang bersertifikat.
Menurut ketentuan Pasal 12 dan 13 Undang – Undang No.16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (“UURS”) bahwa rumah susun dan satuan rumah susun dapat dijadikan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan. Mengenai tata cara pembebanan dan penerbitan tanda buktinya, diuraikan sebagai berikut.
Pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam pasal 14 dan 15 UURS, dimana dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dan wajib didaftarkan pada Kantor Agraria (sekarang kantor pertanahan) Kabupaten / Kotamadya untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak bersangkutan. Tata caranya sama dengan pembebanan Hak Tanggungan yang obyek pokoknya tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang belaku.
Selanjutnya pembebanan Hak Tanggungan tersebut dalam rangka memenuhi syarat publisitas, yang merupakan salah satu syarat bagi yang sahnya dan kelahiran Hak Tanggungan yang diberikan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Berdasarkan Pasal 13 ayat 2 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (“UUHT”) juncto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendafataran Tanah, maka PPAT yang membuat pembebanan Hak Tanggungan tersebut selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya pembebanan Hak Tanggungan tersebut, wajib menyampaikan APHT yang dibuatnya berikut dokumen – dokumen yang bersangkutan seperti sertifikat tanahnya (kalau yang dijaminkan rumah susun atau tanah tempat akan dibangunnya rumah susun) atau sertifikat HMSRS (kalau yang dijaminkan satuan rumah susunnya) kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. Dan PPAT wajib menyampaikan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta tersebut kepada para pihak yang bersangkutan. Pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pambuatan Buku Tanah Hak Tanggungannya, diikuti dengan penerbitan sertifikat Hak Tanggungan serta pencatatan adanya Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan sertifikat tanah rumah susun atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (“HMSRS”) yang dijadikan jaminan.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan tersebut Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT, yang membuktikan pemberian Hak Tanggungan tersebut.
Kecuali diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah atau HMSRS yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah / pemegang HMSRS yang bersangkutan. Sedangkan sertifikat hak tanggungannya diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.