HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Kamis, 09 Mei 2013

KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM



KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM
(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan)

            Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan. Politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Dalam pembuatan aturan perundangan peran politik hukum sangat penting dan dapat mencakup dua hal, yaitu:

1. Sebagai alasan mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
2. Untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal.

Dalam cita hukum, politik harus diposisikan sebagai variabel yang terpengaruh oleh hukum. Arah dan tujuan pembangunan di bidang hukum harus terus diupayakan terfokus dan bertahap menuju arah dan tujuan bernegara sebagaimana yang dicita-citakan. Pancasila itu sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, maka timbul konsekuensi-konsekuensi yang bersifat imperatif bagi negara dan penyelenggaraan negara. Konsekuensi yang bersifat imperatif (mengharuskan/mewajibkan) itu, bahwa segenap aspek kehidupan negara dan penyelenggaraan negara serta setiap realisasi dan pelaksanaan sistem hukum positif Indonesia harus senantiasa sesuai Pancasila.

            Secara ilmiah, hukum dapat determinan atas politik, tetapi sebaliknya dapat pula politik determinan atas hukum. Dari sudut metodologi, keduanya benar secara ilmiah menurut asumsi dan konsepnya masing-masing. Hukum adalah produk politik adalah benar bila didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Hukum adalah produk politik juga menjadi salah apabila yang menjadi adasrnya das sein atau jika hukum tidak diartikan sebagai undang-undang.

            Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa politik sebagai independent variable secara ekstrem dibedakan atas politik yang demokratis dan politik yang otoriter, sedangkan hukum sebagai independent variable dibedakan atas hukum yang responsif dan hukum yang ortodoks. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan konfigurasi  politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks.
            Hubungan konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif dan konfigurasi  politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks memang benar sepanjang menyangkut politik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Namun terkadang konfigurasi politik yang otoriter sejauh menyangkut produk hukum privat dan tidak terkait dengan hubungan kekuasaan melahirkan hukum yang responsif.
Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapatkan tempat yang sangat menonjol. BPUPKI dan PPKI saat itu sepakat untuk memilih demokrasi dalam kehidupan bernegara yang kemudian dituangkan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari sini terlihat bahwa pada saat itu Indonesia dibentuk para pendiri yang mendambakan suatu negara hukum yang berasaskan demokrasi. Pada perkembangan di awal kemerdekaan saat itu sekitar
Konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959 mulai ditarik lagi ke arah yang otoriter sejak tahun 1957, ketika Presiden Soekarno melemparkan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin dimana pada periode ini lahir Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Konsepsi ini menempuh jalan konstitusionalnya ketika pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekritnya.
Menurut konsepsi demokrasi terpimpin, kehidupan politik periode sebelumnya merupakan sistem yang sangat bertentangan dengan budaya bangsa karenanya harus ditinggalkan. Yang terjadi dalam demokrasi terpimpin adalah tidak adanya demokrasi karena yang ditonjolkan adalah terpimpinnya sehingga konfigurasi politik yang nampak adalah konfigurasi otoriter.


Konfigurasi politik otoriter dapat dilihat dari :
·         Kekuasaan pemerintah yang berpusat di Istana Prsiden sangat kuat
·         Kekuasaan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah.
·         Kewenangan DPR sering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Perpu untuk akhirnya perlemen hasil pemilu pada 1955 dibubarkan dengan sebuah Penpres.
·         Kehidupan pers ditekan sedemikian rupa melalui pemberedelan, sensor, dan pemenjaraan.
·         Pada era demokrasi terpimpin ada 3 kekuasaan politik yang saling tolak-tarik dan saling memanfaatkan yaitu presiden Sukarno, Angkatan Darat, dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada pada Sukarno.
Pada awal mulanya hukum perburuhan merupakan bagian dari hukum perdata yang
diatur dalam bab VII A Buku III KUHPerdata tentang perjnjian kerja. Namun pada
perkembangannya tepatnya setelah Indonesia merdeka hukum perburuhan Indonesia
mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya terbitlah UU No. I Tahun1951
tentang berlakunya UU No. 12 Tahun 1948 tentang kerja, UU No. 22 Tahun 1957 tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No. 14 Tahun 1969 tentang pokok-pokok
ketenagakerjaan dan lain-lain.
            Apabila kita mengubungkan antara teori konfigurasi yang diungkapkan oleh Moh. Mahfud MD yaitu konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan konfigurasi  politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks, namun terkadang konfigurasi politik yang otoriter sejauh menyangkut produk hukum privat dan tidak terkait dengan hubungan kekuasaan melahirkan hukum yang responsif dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan adalah benar adanya.
Mengapa demikian ? Menurut penulis hal tersebut benar adanya karena pada Tahun 1957 di Indonesia menampilkan konfigurasi politik otoriter yang didasarkan pada paham demokrasi terpimpin yang menurut Moh. Mahfud MD akan melahirkan hukum yang ortodoks. Kekuasaan pemerintah yang berpusat di Istana Prsiden sangat kuat, sedangkan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah. Kewenangan DPR sering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Perpu. Kehidupan pers ditekan sedemikian rupa melalui pemberedelan, sensor, dan pemenjaraan. Pada era demokrasi terpimpin ada 3 kekuasaan politik yang saling tolak-tarik dan saling memanfaatkan yaitu presiden Sukarno, Angkatan Darat, dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada pada Sukarno.
Salah satu produk hukum yang lahir pada era demokrasi terpimpin saat itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mulai berlaku pada 4 Agustus 1957. Pada saat itu Penyelesaian perburuhan di Indonesia diatur dalam UU No.22 tahun 1957 yang terdiri dari sembilan bagian dan 32 pasal serta penjelasan. Adapun cara dan tingkat penyelesaian perselisihan perburuhan menurt UU ini adalah:
1) Pada tingkat pertama pihak-pihak yang berselisih harus berusaha menyelesikan kesulitan dalam lapangan perburuhan dengan jalan perundingan antara kedua belah pihak.
2) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesapakatan, pihak-
pihak yang berselisih dapat menempuh jalan arbitrse yang
diatur lebih lengkap dalam UU ini.
3) Apabila arbitrase tidak dikehendaki para pihak dapat meminta perantaraan dari pegawai kementrian perburuhan yang khusus ditunjuk untuk itu.
4) Apabila meenurut pegawai daya upayanya tidak berhasil perantaraan selanjutnya diberikan kepada panitia daerah.
5) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan maka panitia daerah berhak memberikan anjuran
6) Dalam hal-hal tertentu panitia berhak memberikan putusan yang berupa anjuran
7) Terhadap putusan panitia daerah yang bersifat mengikat selama 14 hari dapat dimintikan pemeriksaan ulang pada panitia pusat.
8) Putusan panitia pusat bersifat mengikat dan tidak bisa dimintakan banding
9) Jika suatu pihak hendak melakukan tindakan maka maksud
ituharus diberitahukan dengan surat kepada pihak lawan dan
panitia daerah.
10) Panitia daerah / pusat disusun berdasarkan atas asas tripartij terdiri dari wakil pemerintah,buruh dan majikan

            Ciri-ciri dari produk hukum otoriter Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan adalah :
·         Memuat ketentuan-ketentuan yang memfokuskan kekuasaan pada lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden.
·         Selain sebagai kepala eksekutif secara praktis presiden menjadi ketua lembaga legislatif karena jika presiden tidak mau menandatangani sebuah Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah maka Rancangan Undang-Undang tidak dapat berlaku.
·         Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan juga memuat ketentuan yang multi tafsir yang pada era demokrasi terpimpin maka penafsiran konstitusi yang harus diterima sebagai kebenaran adalah penafsiran yang dibuat oleh presiden.
·         Undang-undang ini juga terlalu banyak memberi atribusi kewenangan pada lembaga legislatif untuk mengatur hal-hal yang sangat penting dengan tanpa ada limitasi yang tegas di dalam UUD padahal presiden sangat dominan dalam proses pembentukan undang-undang.
Pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah adalah sama, yaitu bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat. Namun yang produk hukum yang dibuat oleh badan legislatif tersebut pasti ada kekurangannya. Begitu pula yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, ketika UU No. 22 Tahun 1957 dibuat pada saat itu sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan keadilan dalam perburuhan.
Namun seiring dengan perkembangan jaman undang-undang tersebut tidak sesuai lagi dan harus diperbaharui. Agar dapat memenuhi semua kebutuhan hukum masyarakat, maka peraturan perundang undangan harus selalu mengalami perkembangan dan pembaharuan, sehingga yang terbaru saat ini keluarlah Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, yang intinya sama yaitu untuk memberikan keadilan bagi masyarakat terutama dalambidang ketenagakerjaan.
Berdasarkan analisis penulis, produk hukum dari politik hukum demokratis akan menghasilkan produk hukum yang responsif antara lain Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 yang lebih efektif dan efisien dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia, dari pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1957. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar penulis berpendapat bahwa UU No. 2 tahun 2004 lebih efektif dari UU Nomor 22 tahun 1957, yaitu pada kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sebenarnya UU No. 22 Tahun 1957 sudah cukup bagus dalam memberikan keadilan bagi masyarakat. Berikut ini beberapa aspek yang bisa menjadi dasar bagi kita untuk menilai keefektifitasan peraturan perundang-undangan tersebut:
1.               Ruang lingkup subyek atau para pihak dalam perselisihan
Dalam UU No. 22 Tahun 1957 ruang lingkupnya terlalu sempit, yaitu para pihak dalam perselisihan hanya antara serikat pekerja dan pengusaha atau kumpulan pengusaha saja. Dalam hal ini undang-undang tidak mengakomodir kepentingan seorang tenaga kerja yang tidak dengan serikat pekerja. Sedangkan UU No 2 Tahun 2004, ruang lingkupnya cukup luas yaitu mengakomodir pekerja perorangan maupun serikat pekerja dengan pengusaha maupun kumpulan pengusaha.
2.               Ruang lingkup jenis atau bentuk perselisihan dalam UU No. 22 Tahun 1957 permasalahan yang diaturpun tidak luas, yaitu hanya mengatur tentang perselisihan hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan keadaan perburuhan. Masih ada beberapa permasalahan yang sangat dimungkinkan muncul tapi tidak diatur, seperti perselisihan kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat pekerja. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 diatur secara jelas tentang permasalahan ini.
3.               Prosedur atau mekanisme penyelesaian sengketa, mekanisme penyelesaian yang didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1957 kurang efektif dan tidak efeisien, bahkan terkesan berbelit-belit dan lama. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu :
·         Pertama : Banyaknya tingkatan-tingkatan lembaga yang harus dilalui dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial menyebabkan proses penyelesaiannya memakan waktu dan biaya yang banyak.
·         Kedua : Keputusan dari masing-masing lembaga yang daya mengikatnya tidak atau kurang kuat, menyebabkan para pihak kurang manghargai keputusan dari lembaga yang bersangkutan, sehingga harus mengajukan fiat eksekusi. Seperti contohnya keputusan arbitrase yang dapat dimintakan banding ke P4P, padahal yang namanya keputusan arbitrase itu harusnya bersifat final dan mengikat.


Jumat, 26 April 2013

   S E L A M A T    D A T A N G



Ini adalah blog education di peruntukkan untuk saling belajar dan bertukar pikiran dan pendapat..

 

Semoga bisa bermanfaat bagi seluruh pengguna dunia maya terlebih bagi pengunjung blog saya ini..

 

Demikian perkenalan blog hukum ini, saya ucapkan terima kasih bagi pengunjung yang berkenan mampir membaca di blog saya ini...









GIRIK YANG TELAH MENJADI WARKAH


                                                   
                                                   BADAN PERTANAHAN NASIONAL



Pertanyaan Contoh:
AYAH kami mempunyai sebidang tanah seluas sekitar 5.000 m2 di wilayah Jakarta Selatan dengan bukti surat berupa surat girik. Setahun yang lalu ayah kami menjual sebagian tanah tersebut, seluas 3.000 m2. Untuk keperluan persertipikatan tanah yang dijual, maka girik tersebut pinjamkan kepada si pembeli tanah dan sampai saat ini girik tersebut belum dikembalikan.
Tiga bulan yang lalu ayah kami meninggal dunia menyusul ibu kami yang telah lama meninggal.  Sebagai ahli waris, saya anak tertua dari 4 bersaudara, wajib mengurus tanah keluarga kami.
Namun sewaktu saya tanyakan kepada si pembeli tanah tersebut tentang girik itu, ia mengatakan telah diserahkan ke kantor pertanahan. Saya kemudian menanyakan ke kantor pertanahan dan dikatakan oleh petugas, bahwa girik tersebut telah menjadi warkah dan tidak dapat dikeluarkan.
Kami juga mencoba menanyakan ke kantor kelurahan setempat bagaimana prosedur pengurusan hak atas tanah tersebut, malah dijawab jika ingin mensertipikatkan tanah tersebut luasnya tinggal 1.000 m2, karena ada rencana pembukaan jalan.
Saya bertambah bingung, adik-adik saya menginginkan dibagi saja tanah tersebut namun bagaimana caranya, mohon bantuan Pak Erwin Kallo memberikan petunjuk praktis menyelesaikan masalah kami ini. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih.
Mansyur Safri, Jakarta Selatan (DKI Jakarta)

Jawaban:
MENYIMAK persoalaan Bapak, maka dapat kami uraian beberapa permasalahan dan cara menyelesaikannya sebagai berikut:
  1. Tentang bukti hak atas tanah, di mana girik yang dapat menjadi dasar permohonan hak (sertifikasi) telah dijadikan warkah dari sertipikat yang telah diterbitkan atas tanah yang terjual. Benar bahwa segala dokumen yang berkaitan dengan suatu permohonan hak atas tanah (girik, akta jual-beli/pelepasan hak dan lain-lain) tidak dapat ditarik kembali atau dikeluarkan dari warkah. Namun hal itu dapat diatasi dengan mengajukan permohonan ke kantor pertanahan (BPN) yang bersangkutan, agar dapat mengeluarkan surat keterangan, bahwa dalam girik tersebut masih terdapat sisa tanah yang tidak termasuk di dalam sertipikat sebelumnya, dengan menyertakan bukti (foto copy surat pelepasan hak dan dirik tersebut) yang dapat dimintakan kepada pembeli sebelumnya atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang membuat akta pelepasan tersebut. Kemudian dengan dasar Surat Keterangan tersebut dapat diajukan permohonan hak atas tanah yang masih tersisa tersebut.
  2. Tentang kepemilikan tanah, dengan meninggalnya ayah Anda, maka secara otomatis tanah tersebut menjadi tanah warisan (budel). Untuk itu diperlukan terlebih dahulu adalah Fatwa Waris yang dapat diajukan pada Pengadilan Agama, jika keluarga anda beragama Islam atau penetapan waris pada Pengadilan Negeri setempat untuk menentukan siapa-siapa ahli waris yang sah dan bagian-bagiannya. Setelah itu para ahli waris dapat menunjuk dengan surat kuasa kepada salah seorang ahli waris untuk mengurus baik persetipikatan transaksi jual beli, jika ingin dijual.
  3. Tentang luas tanah berkurang, yang pertama-tama harus dilakukan yaitu memastikan letak batas-batas tanah tersebut. Benar  bahwa jika terdapat rencana jalan, maka luas tanah di dalam persertipikatan tersebut akan berkurang. Namun  demikian tanah yang menjadi jalan tersebut tetap akan memperoleh ganti rugi dari instansi yang berwenang. Sebaiknya hal ini Anda pastikan dengan memohon penerbitan advis planning dari Dinas Tata Kota setempat. Jika benar maka rencana jalan tersebut akan tergambar di dalam advis planning tersebut.
  4. Tentang pembagian tanah waris, itu dapat saja dilakukan dengan terlebih dahulu disertipikatkan secara keseluruhan (Sertipikat Induk) lalu diajukan pemecahan sertipikat sesuai bagian warisnya masing-masing. Namun sebelumnya harus ada kesepakatan para ahli waris mengenai letak bidang-bidang tanah yang dibagi tersebut. Tetapi saya usulkan, agar lebih praktis dan adil, sebaiknya tanah tersebut disertipikatkan secara keseluruhan terlebih dahulu lalu dijual. Kemudian  hasil penjualan itu dibagi secara proporsional sesuai hak waris masing-masing. Dengan cara ini dapat mencegah perselisihan masalah letak bidang tanah yang akan dibagi.

Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim



Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim
(Lanjutan : UPAYA PERDAMAIAN)

Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Sesungguhnya tanpa harus menunggu permohonan hak ingkar dari pihak yang berperkara maupun dari ketua pengadilan, hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipuntelah bercerai. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak.
Apabila diketahui hakim yang akan menyidangkan terkait hubungan-hubungan sebagai mana tersebut di atas dengan pihak-pihak yang berperkara dan tidak mengundurkan diri, maka Ketua Pengadilan Agama harus memerintahkan hakim tersebut untuk mundur. Apabila hakim tersebut adalah ketua pengadilan sendiri, maka perintah pengunduran dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding, apabila hakim yang seharusnya mengundurkan diri masih tetap melakukan pemeriksaan dan sampai pada putusan, maka perkara harus segera diperiksa dan diputus ulang dengan susunan majelis yang berbeda, dan putusan yang telah terlanjur diucapkan menjadi batal demi hukum.

F. 3. Perubahan Gugatan
Perubahan bias berarti menambah, mengurangi bahkan bias jadi mencabut gugatan. Hal ini bias dilakukan penggugat, dengan ketentuan harus diajukan pada sidang pertama yang dihadiri pihak tergugat dalam persidangan, namun demikian harus ditawarkan kepada pihak tergugat untuk melindungi haknya, dikecualikan dalam hal pencabutan, yakni gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa, tetapi jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberikan jawaban, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat.
Perubahan yang bersifat menyempurnakan, menegaskan atau menjelaskan surat gugatan adalah diperbolehkan, demikian juga dalam hal mengurangi tuntutan, menurut putusan kasasi Nomor 209 K/Sip/1970 tanggal 6 Maret 1971, bahwa perubahan gugatan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum perdata, dengan catatan tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil, walaupun tidak ada tuntutan subsider.

Beberapa kemungkinan melakukan perubahan dalam suatu gugatan adalah meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Perubahan Total, gugatan diubah baik mengenai positanya maupun petitumnya, hal ini tidak dibenarkan karena mengakibatkan tergugat merasa dirugikan haknya untuk membela diri.
2) Perbaikan, maksudnya adalah melakukan perbaikan surat gugatan yang menyangkut hal-hal yang tidak prinsip hanya terbatas mengenai format, titik, koma atau kata.
3) Pengurangan, mengurangipada bagian-bagian tertentu dalam posita ataupun petitumnya, hal ini diperbolehkan, sebagai contoh semula penggugat menuntut nafkah madhiyah dalam komulasi perkara perceraian, namun hal tersebut dihilangkan karena tidak inginberbelit-belit.
4) Penambahan, melakukan penambahan dalam positaatau petitumnya, hal ini sering terjadi di mana dalam positanya telah diungkap panjang lebar, namun pada petitumnya tidak terdapat tuntutan.

Perubahan gugatan bila dilakukan secara tertulis jugabisa dengan lisan di muka persidangan majelis hakim, perubahan bisa dilakukan sepanjang tergugat belum memberikan jawaban, apabila sudah memberikan jawabannya, maka tergugat berkesempatan untuk setuju atau tidak setuju. Perubahan tidak dibenarkan dilakukan setelah pembuktian, dimana tinggal menunggu putusan majelis hakim.
Apabila penggugat bersikukuh mempertahankan gugatanatau permohonan yang diajukan dan tidak melakukan perubahan dalam surat gugatannya serta tidak mau berdamai, maka sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.

F. 4. Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat bisa dilakukan secara tertulis dan bisa dilakukan secara lisan. Di dalam mengajukan jawaban, tergugat bisa hadir secara pribadi atau mewakilkan kepada kuasa hukumnya. Ketidakhadiran tergugat secara pribadi atau wakilnya dalam sidang, walaupun mengirimkan surat jawaban, maka dalam hal seperti ini hakim harus mengenyampingkannya, kecuali dalam hal jawaban berupa eksepsi atau tangkisan bahwa pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara itu.

Pada tahap jawaban tergugat, ada beberapa kemungkinan yang bias dilakukan tergugat, yakni :
a. Eksepsi
Adalah sanggahan atau perlawanan yang dilakukan pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak mengenai pokok perkara dengan maksud agar hakim menetapkan gugatan dinyatakan tidak diterima atau ditolak.
Penggugat yang mengajukan eksepsi disebut “excipien”. Ada 2 (dua) bentuk eksepsi, yakni dalam bentuk “prosesual eksepsi” (eksepsi formil) yakni eksepsi yang berdasar hukum formil dan dalam bentuk “materiil eksepsi” yaitu eksepsi dalam bentuk materiil.

b. Mengakui Sepenuhnya
Apabila seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan penggugat diakui sepenuhnya dalam tahap jawaban tergugat di persidangan, maka perkara dianggap telah terbukti dan gugatan dapat dikabulkanseluruhnya, dikecualikan dalam hal gugatan perceraian.
Khusus perkara perceraian, meskipun mungkin tergugat telah mengakui sepenuhnya mengenai alasan-alasan cerai yang diajukan penggugat, namun hakim tidak serta merta menerimanya, hakim harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai tersebut dengan alat bukti yang memadai. Hal ini mengingat bahwa :
1) Perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah. Karena meskipun perceraian itu telah mencapai suatu kondisi hukum yang halal karena telah mempunyai alasan-alasan yang cukup namun tetap dibenci oleh Allah SWT. Apalagi perceraian yang makruh lebih-lebih yang haram.
2) Undang-undang Perkawinan mempunyai prinsip mempersulit perceraian, karena begitu beratnya akibat perceraian yang terjadi baik bagi bekas suami maupun bekas isteri dan terutama bagi anak-anak mereka.
3) Untuk menghindari adanya kebohongan-kebohongan besar dalam hal perceraian tersebut.

c. Mengingkari Sepenuhnya
Jika tergugat dalam jawabannya mengingkari sepenuhnya dalam alasan-alasan yang diajukan penggugat dalam surat gugatannya, maka pemeriksaan dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai dapat dibuktikan sebaliknya.

d. Mengakui dengan Klausula
Jika alasan-alasan atau sebagian alasan gugatan diakui tergugat, maka pengakuan itu harus seutuhnya diterima dan hakim tidak boleh memisah-misahkan, dan pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana biasa.

e. Jawaban Berbelit-belit (Referte)
Jika tergugat memberikan jawaban berbelit-belit atau menyerahkan sepenuhnya (tidak mengingkari juga tidak mengakui) kebijakan majelis hakim, maka pemeriksaan berlanjut sebagaimana biasa.

f. Rekonvensi
Diantara hak tergugat dalam berperkara di muka sidang adalah hak mengajukan gugat balik (rekonvensi) terhadap penggugat. Dalam hal demikian kedudukan tergugat dalam konvensi berubah menjadi penggugat dalam rekonvensi, sebaliknya penggugat dalam konvensi juga berubah menjadi tergugat dalam rekonvensi.


F. 5. Replik Penggugat
Tahapan berikutnya setelah tergugat menyampaikan jawabannya adalah menjadi hak pada pihak penggugat untuk memberikan tanggapan (replik) atas jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya. Kemungkinan dalam tahap ini penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau kemungkinan juga penggugat mengubah sikap dengan membenarkan jawaban atau membantah jawaban tergugat.

F. 6. Duplik Tergugat
Apabila penggugat telah menyampaikan repliknya, dan tergugat dalam tahap ini diberikan kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Isinya membantah jawaban sekaligus replik penggugat. Yang perlu diketahui bahwa acara jawab menjawab (replik-duplik) dapat diulangi sampai ada titik temu atau titik perselisihan antara penggugat dan tergugat, sebagai masalah pokok yang akan dibawa ke tahap pembuktian.

F. 7. Pembuktian
Pada tahap pembuktian, kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti diberikan kepada pihak penggugat maupun tergugat secara berimbang, biasanya dalam praktik perkara perceraian beban pembuktian lebih ditekankan ke[ada pihak penggugat / pemohon dimaksudkan untuk menguatkan gugatannya atau permohonannya.

F. 8. Kesimpulan (Konklusi) Para Pihak
Pada tahap kesimpulan (konklusi), baik pihak penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat sebagai kata akhir dalam proses pemeriksaan, kesimpulan tersebut sesuai dengan pandangan masing-masing pihak, disampaikan dengan singkat.

F. 9. Putusan atau Penetapan Hakim
Setelah melalui tahapan-tahapan dalam pemeriksaan, maka pada tahap akhir yang ditunggu-tunggu kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat adalah adanya putusan atau penetapan. Pada tahap ini hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertimbangan hukum (berdasar pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasan dan dasar hukumnya.