HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Selasa, 21 Mei 2013

HUKUM HUMANITER


Hukum Humaniter

I. PENDAHULUAN
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172).
Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.

Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandfangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.

Selama keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengizinkan negara melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara megabaikan beberapa kewajiban negara berdasarkan konvenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan bangsa,” tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat darurat( Komnas HAM, 1998, 72).

Dalam konteks lokal (Aceh), barangkali materi ini terasa semakin penting, sebab terdapat berbagai kasus yang bisa menjurus kepada konflik bersenjata, dan dengan latar belakang mana, menimbulkan pertanyaan : bagaimana penerapan Hukum Humaniter di dalam konflik-konflik di daerah ini? Bagaimana pula aspek Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam penerapan tersebut? dan perlukan Hukum Humaniter dan HAM disosialisasikan kepada berbagai kalangan seperti angkatan bersenjata, pejabat pemerintahan, para akademisi, praktisi dan bahkan kepada masyarakat umum.

Kita coba dekati dulu pembahasan kita pada istilah, yaitu HAM dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Kedua istilah ini sering disinggung oleh media massa atau masyarakat, namun keduanya sering pula disalahgunakan, bahkan sering dianggap sebagai ciptaan baru dari kebijaksanaan internasional. Istilah HAM dan HHI sebenarnya berasal dari dua sistem hukum yang berbeda. Namun, keduanya sangat erat hubungannya, saling berkaitan, saling pengaruh mempengaruhi sehingga sering terjadi tumpang tindih. HHI dan HAM mempunyai tujuan yang sama yaitu perlindungan manusia( Arlina Permanasari, 1999:36), tetapi HHI dan HAM merupakan dua bagian dari hukum yang berbeda jika dilihat dari segi lingkup penerapannya dan sasarannya.

HHI adalah hukum darurat yang hanya diterapkan apabila terjadi pertikaian bersenjata, baik internasional maupun dalam negeri. HHI terdiri dari peraturan dan ketentuan yang mengatur cara/pelaksanaan yang mencakup antara lain ketentuan yang mengatur cara dan alat berperang, baik secara aktif turut serta dalam permusuhan (kombatan) maupun mereka yang tidak turut aktif dalam permusuhan (penduduk sipil). Mungkin di sini dapat kita katakan Hukum Humaniter adalah “peraturan permainan” yang harus ditaati oleh para pemain, dalam hal ini para pihak dalam perang.

Sementara itu, HAM berlaku dalam situasi apapun baik pada waktu perang maupun di masa damai. Ketentuan-ketentuan HAM menjadi hak dan kebebasan baik sipil, politik, ekonomi sosial maupun budaya setiap orang demi tercapainya perkembangan harmonis setiap individu dalam masyarakat. HAM memberikan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Hak-hak tersebut terdapat dalam Hukum Internasional dan hak-hak yang bersifat paling penting dimuat pula dalam undang-undang berbagai negara. Adapun yang dimaksu dengan HAM disini adalah perlindungan Internasional HAM atau Hukum Internasional HAM yaitu segala peraturan tentang kemanusian yang harus dipenuhi oleh semua negara.

Ada baiknya sebelum dijelaskan Hukum Humaniter dan hubungannya dengan HAM, perlu kita mempertibangkan suatu pertanyaan; “Apakah Hukum Humaniter itu berguna?”. Kalau kita melihat/mendengar informasi dari berbagai negara yang terlibat dalam pertikaian bersenjata, setiap hari ada berita mengenai peperangan, pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhadap tawanan perang, penyiksaan, pemerkosaan, hukuman mati yang dijatuhkan tanpa proses pengadilan, masyarakat sipil yang menderita kelaparan selama di bawah pendudukan musuh, dan sebagainya.

Adanya perang tersebut tentu adanya pelanggaran terhadap penerapan Hukum Humaniter. Karena itu, kita boleh bertanya apakah Hukum Humaniter ini hanya merupakan sebuah hasrat yang mencerminkan semacam dunia ideal, tetapi jauh dan berbeda dengan dunia nyata. pemikiran seperti ini tidak salah, tetapi terlalu pesimis. Kita harus mengakui bahwa Hukum Humaniter sering tidak dipatuhi, tetapi kita harus melihat seluruh situasi dimana peraturan-peraturan Hukum Humaniter ini benar-benar dihormati. Dengan pertimbangkan semua kasus dimana jiwa manusia dapat diselamatkan, Karena para peserta tempur masih mempunyai rasa perikemanusiaan sesuai dengan Hukum Humaniter.

Kemudian timbul pertanyaan berikutnya? apakah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, semakin meningkat, atau merupakan perasaan kita saja ? Dalam hal ini kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor:
1. Kita mempunyai kecenderungan dan lebih tertarik pada pelanggaran Hukum Humaniter, karena adanya korban. Sementara, kita jarang mendengar tentang pertukaran tawanan perang antar dua negara, pemberian makanan bagi masyarakat sipil yang menderita kelaparan, dan penghukuman orang yang bersalah karena melanggar Hukum Humaniter. Dari situ timbul kesimpulan bahwa lebih sering Hukum Humaniter tidak dihormati. Tetapi kalau kita membaca laporan tahunan ICRC, kita mendapat gambaran yang lebih lengkap, yakni banyak sekali situai dimana korban jiwa dapat dihindari atau masalah humaniter dapat diatasi dengan menerapkan peraturan-peraturan Hukum Humaniter dan hadiranya ICRC melaksanakan tugasnya di seluruh dunia.

2. Adanya teknologi mengakibatkan media massa dapat melaporkan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia, lebih akurat, cepat dan bergambar. Perkembangan ini ada baiknya, karena dengan meyaksikan kejadian dramatis timbul opini publik dan adanya akibat politik yang mahal sekali harus dibayar oleh setiap pelanggaran Hukum Humaniter. Oleh karena itu, ada negara yang membatasi kebebasan pers untuk merahasiakan informasi. Tetapi pada suatu saat, infomrasi tersebut pasti akan diketahui pula.

3. Kita juga tidak boleh melupakan usaha ICRC untuk membatasi jumlah pelanggaran terhadap Hukum Humaniter. Secara pasif, ICRC menugaskan delegasi di lapangan sudah bersifat efektif untuk mencegah adanya pelanggaran. Secara aktif, ICRC dapat bertindak langsung pada instansi pemerintah yang bersangkutan supaya pelanggaran dihentikan. Dengan demikian, masalah perikemanusiaan dapat dihindari dan diatasi dengan menerapkan Hukum Humaniter.

4. Melihat kita mempertimbangkan jumlah pelanggaran, kita juga harus sadar bahwa kadang-kadang pelanggaran itu disebabkan karena kurang pengetahuan saja. Bagaimana mungkin orang dapat mematuhi hukum, sedangkan peraturannya belum diketahui? Kekurangan pengetahuan mengenai Hukum Humaniter baik dipihak yang melanggar maupun korbannya. Hukum Humaniter terdiri dari hak dan kewajiban yang perlu disebarluaskan, sehingga pihak yang mempunyai kewajiban dapat bersikap sesuai dengan aturan-aturan dan pihak yang mempunyai hak dapat meminta agar aturan-aturan itu dihormati.
Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas, dapat disimpulkan bawa Hukum Humaniter tetap berguna, meskipun lebih sering terdengar tentang pelanggaran daripada penerapannya. Yang pasti, kita perlu terus meningkatkan usaha untuk mendukung pelaksanaan Hukum Humaniter untuk mencegah semaksimal mungkin adanya pelanggaran.
II. Sejarah Singkat Hukum Humaniter Internasional
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino Itali Utara, pasukan Perancis dan Itali sedang sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu pertempuran yang sangat mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda dari Swiss bernama Henri Dunant tiba di sana dengan harapan dapat bertemu dengan Kaisar Perancis, Napoleon. Henry Dunant secara kebetulan menyaksikan langsung pertempuran Solferino. Waktu itu, dinas medis militer yang sedang bertugas di medan pertempuran sangat kurang untuk dapat merawat korban pertempuran tersebut. Dalam pertempuran tersebut yang mati atau luka ada 3 marsekal, 9 jenderal, 1.566 opsir dari segala tindakan dan kurang lebih 40.000 bintara dan prajurit yang mati dalam jangka waktu 15 jam sebanyak 38.000 orang kebanyakan karena tidak mendapat pertolongan/pengobatan pada waktu atau kurang perawatan (G.I.A.D Draper, 1958:2). Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengkoordinasikan bantuan untuk mereka.


Setelah kembali ke Swiss, dia menggambarkan pengalaman itu dalam sebuah buku berjudul “Kenangan dari Solferino”, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan.
1. Pertama, membentuk organisasi sukarelawan, yang akan disiapkan dimasa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang.
2. Kedua mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang, serta sukarelawan dari organisasi tersebut pada waktu memberikan perawatan.


Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk mengembangkan kedua gagasan tersebut. Mereka bersama sama membentuk “Komite internasional untuk bantuan para tentara yang cedera”. yang sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah/Internasional Committee of the Red Cross (ICRC).
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864 diadakan Konfrensi Internasional yang menyetujui “Konfensi untuk perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang”( Muchtar Kusumatmadja, 1986,4). Ini merupakan tahapan pertama dalam pengembangan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Kemudian konvensi ini disempurnakan dan dikembangkan menjadi empat Konvensi Jenewa tahun 1949, yang disebut juga dengan Hukum Perikemanusiaan Internasional yang pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi kejatan korban yang cedera ataupun mati, serta kerusakan harta benda yang disebabkan oleh pertikaian bersenjata.
Perlu ditanamkan keyakinan bahwa hubungan antara perang dan hukum juga seperti bentuk hubungan antara manusia lainnya, yaitu diatur oleh ketentuan-ketentuan atau dengan kata lain ada aturannya.


Sama sekali tidak benar anggapan kebanyakan orang yang mengatakan perang dan hukum merupakan dua kata yang tiada sangkut-pautnya atau dalam perang lenyaplah segala hukum sebagaimana dikatakan oleh Cicero yang dalam bahasa Romawi disebutkan dengan “inter arma silent leges”( Muchtar Kusumaatmadja, 1986:9).
Dahulu kala perang memang merupakan suatu pembunuhan besar-besaran antara kedua belah pihak yang berperang. Pembunuhan besar-besaran ini hanya merupakan salah satu bentuk perwujudan dari naluri mempertahankan diri baik dalam pergaulan antara manusia maupun dalam pergaulan antar bangsa. Karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah manusia. Suatu kenyataan yang menyedihkan sebagaimana yang ditulis oleh Jean Pictet pada tahun 1962 bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian dan bagaimana setelah tahun 1962 ada tahun yang tidak terjadi perang?.


Naluri mempertahankan diri dengan cara berperang yang tidak mengenal batas merugikan umat manusia, perlu diadakan pembatasan-pembatasan dengan menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa.
Di samping pertimbangan-pertimbangan perang di atas yang bersumber pada kecemasan akan pembalasan dan didasarkan atas penyelamatan diri sendiri, maka dengan bertambah majunya peradaban orang mulai pula menginsafi bahwa kekejaman itu bertentangan dengan martabat manusia dan penghargaan atas diri, jiwa dan kehormatan.
Dalam bentuk yang modern perang sebenarnya didasarkan pada rasa kemanusiaan. Di India sejak dahulu kala telah ada peraturan hukum perang yang bertujuan menlindungi orang-orang yang tidak berdaya, luka dan sakit. Dalam cerita Mahabrata mengandung larangan untuk menyerang orang yang telah meletakkan senjata, luka berat, pelarian, tidak dapat turut lagi dalam pertempuran, minta ampun, sedang tidur, makan, dan minum sangat lelah atau gila, mengikuti tentara musuh sebagai pembantu atau yang melakukan pekerjaan kasar( M.W. Mouton, 1947.


Dalam Hukum Internatioanal India Kuno terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang, dan perlakuan tawanan perang, yang hampir sama dengan peraturan Den Haag mengenai peperangan di darat padat tahun 1907. Yunani Kuno dan Roma mengenal ketentuan-ketentuan yang melarang pemakaian racun, pembunuhan tawanan perang dan penyerangan atas tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang berharga dari orang Romawi kepada hukum perang modern adalah definisi dari pengertian kombatan dalam suatu peperangan harus dimulai dari suatu pernyatan perang.


Agama Kristen yang mengajarkan umatnya untuk mencintai sesamanya, juga telah meluaskan semangat perikemanusiaan dalam perang. Akan tetapi perikemanusiaan atas lawan ini sering hanya terbatas pada musuh yang seagama saja, sedangkan lawan yang berlainan agamanya masih terjadi kebuasan-kebuasan. Misaknya dalam perang salib, orang Islam lebih berperikemanusiaan dari pada lawan mereka.


Dalam hukum Islam, khususnya hukum perang Islam jelas menggambarkan pengaruh perkemanusiaan. Selain ajaran tentang jihad (perang suci) sebagai perang adil (bellum justum) yang merupakan bagian penting dari pada hukum perang Islam, ada pula ketentuan-ketentuan yang jelas mengenai cara memulai perang, larangan untuk menyerang anak-anak, wanita, orang-oarang sakit dan lanjut usia, pembagian harta rampasan perang, perlakuan tawanan perang, cara mengakhiri perang dan sebagainya. Larangan untuk menimbulkan kerusakan dan penderitaan yang tidak perlu didasarkan atas ajaran perikemanusiaan sebagaimana tercantum dalam al-Quran.


Apabila kita tinjau hukum perang pada masa sekarang dapat kita membedakan dalam jus ad bellum atau hukum tentang perang yang mengatur bagimanakah suatu negara dibenarkan untuk menggunakan kekerasan senjata (Hukum Den Haag) dan jus bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang (Hukum Jenewa). Karena eratnya hubungan Konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang dengan asas perikemanusiaan maka konvensi ini juga disebut hukum humaniter.


Istilah Hukum Humaniter mencakup seluruh peraturan Internasional yang bermaksud melindungi baik orang menderita akibat pertikaian senjata, maupun objek yang tidak langsung mendukung usaha militer. Untuk HHI ini ada beberapa istilah yang digunakan, pada masa lalu digunakan hukum perang. Perubahan situasi dan kondisi istilah Hukum perang diganti dengan hukum konflik bersenjata dan istilah ini digunakan oleh ABRI, kemudian berubah menjadi Hukum Humaniter Internasional dan istilah ini digunakan oleh kalangan akademisi.


Sebelum Konvensi Jenewa pertama disepakati pada tahun 1864, sudah terdapat beberapa peraturan dalam Hukum Perang. Tetapi peraturan tersebut tidak bersifat formal dan biasanya hanya dipatuhi berdasarkan persetujuan khusus antara pemimpin militer, dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. HHI baru diakui secara internasional dan permanen, setelah adanya konvensi Jenewa tersebut.
HHI seperti yang dikenal masa ini terdiri dari Hukum Jenewa (Perlindungan terhadap Korban Perang) dan Hukum Den Haag(Sarana dan (cara berperang). Pada makalah ini akan difokuskan pada Hukum Jenewa. Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang yang disebut juga Konvensi Palang Merah, mencakup empat buah konvensi yang masing-masing bernama:
1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medang Perang.
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, dan Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
3. Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang.
4. Konvensi Jenewa tentang Perlindungan kepada para Penduduk Sipil dalam Peperangan.

ad.1 Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan kondisi Tentara yang Cedera dan Sakit di Medan Perang.

Konvensi Jenewa pertama ditandatangani pada tahun 1864 oleh 12 Negara yang pada waktu itu, mempunyai posisi penting di bidang politik internasional. Pada tahun 1864, Konvensi Jenewa terdiri dari 10 pasal yang mengatur tentang perbaikan kondisi Prajurit yang cedera dan sakit dimedan perang. Konvensi ini menetapkan bahwa:
a. Prajurit yang cedera dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat, tampa mempedulikan kebangsaannya;
b. Petugas kesehatan dan sarana serta prasarana yang digunakan untuk merawat prajurit yang cedera dan sakit di medan perang harus diberikan status netral;
c. Lambang Palang merah di atas dasar putih disetujui sebagai tanda pelindung;
Setelah itu, Konvensi Jenewa tersebut direvisi dan dikembangkan pada tahun 1906 dan 1929, menjadi Konvensi Jenewa I tahun 1949.

ad.2 Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Kondisi Tentara yang Cedera, Sakit, Korban Kapal Karam dalam Peperangan di Laut.
Pada Konvensi Den Haag yang diadakan tahun 1899, perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa pertama diperluas mencakup korban kapal karam pada waktu terjadi peperangan dilaut. Ketentuan-ketentuan ini dikembangkan kembali pada Konvensi Den Haag tahun 1907. Berdasarkan kedua Konvensi Den Haag, disusun pada tahun 1949 Konvensi Jenewa II tentang perbaikan kondisi tentara yang cedera, sakit dan korban kapal karam dalam peperangan dilaut. Isi dan konvensi tersebut adalah penyesuaian ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa I untuk situasi perang di laut.


ad.3 Konvensi Jenewa III tentang perlakuan Tawanan Perang
Konvensi Den Haag yang diselenggaran pada tahun 1899 dan 1907, menyinggung pula soal tawanan perang. Namun demikian, pada waktu Perang Dunia I, ketentuan-ketentuan yang mengatur persyaratan penahanan dan perlakuan tawanan perang masih kurang oleh karena itu, pada tahun 1929, disusun Konvensi Jenewa tentang perlakuan tawanan perang yang terdiri dari 97 pasal.
Konvensi ini menegaskan bahwa:
a. Tawanan perang bukanlah seorang Kriminal, tetapi pihak musuh yang tidak dapat lagi turut serta dalam pertempuran;
b. Oleh karena itu, tawanan perang harus diperlakukan secara manusiawi selama ditahan;
c. Tawanan perang harus dibebaskan pada waktu permusuhan sudah berakhir.
Konvensi Jenewa ini dikembangkan kembali pada tahun 1949, menjadi Konvensi Jenewa III.

ad.4 Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan
Sebelum tahun 1949, HHI belum dapat diterapkan untuk melindungi masyarakat sipil. Pada waktu Perang Dunia II, ribuan orang sipil menjadi korban. Hal ini sangat menggemparkan opini masyarakat internasional, sehingga pada tahun 1949 disetujui Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan.


Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 sudah ditandatangani oleh 188 Negara (31 Maret 1997). Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi-Konvensi Jenewa pada tahun 1958. Dengan menandatangani Konvensi-konvensi Jenewa, setiap negara diwajibkan pada waktu pertikaian bersenjata untuk:
a. Merawat orang yang cedera dan sakit, tanpa mempedulikan kebangsaannya.
b. Menghormati manusia dalam integritas fisik, martabat, hak keluarga, keyakinan moral dan agamanya.
c. Melarang penyiksaan, perlakuan kejam, hukuman mati tanpa didahului proses pengadilan yang sah, pembasmian, deportasi, penyanderaan, perampokan dan perusakan harta benda sipil.
d. Mengizinkan delegasi ICRC (Palang Merah Internasional) untuk mengunjungi para tawanan perang dan interniran sipil (orang yang ditempatkan di suatu lokasi dan kebebasannya dibatasi) dan untuk berbicara dengan mereka tanpa saksi.


Ada dua prinsip yang penting dalam HHI:
• Selalu harus dibedakan antara penduduk sipil dan peserta tempur, antara sarana sipil dan sarana militer, sehingga serangan hendaknya hanya diarahkan ke sasaran militer.
• Selalu harus dipertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan perikemanusiaan dan kepentingan militer, sehingga korban kerusakan akibat operasi militer tidak bersifat berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang terdapat dari operasi tersebut.
Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 diterapkan pada waktu pertikaian bersenjata internasional. Pasal 3 yang sama dalam 4 Konvensi Jenewa sering disebut merupakan sebuah konvensi dalam bentuk kecil, karena mengungkapkan dengan baik semangat HHI.
Pasal ini menegaskan peraturan minimal yang harus dihormati dalam pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional. Untuk maksud ini, tindakan-tindakan berikut dilarang dilakukan setiap saat dan di semua tempat:
“Pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, hukuman badan, pengudungan (pemotongan anggota badan), penghinaan atas kehormatan pribadi, penyanderaan, hukuman kolektif, hukuman mati tanpa melalui proses pengadilan yang sah,serta setiap perlakukan yang kejam dan penganiayaan”


Meskipun lingkup penerapan dari empat Konvensi Jenewa tersebut sudah diperluas namun pertikaian bersenjata yang pecah setelah tahun 1949 masih menunjukkan kekurangan dari sistem perlindungan HHI, oleh karena itu, Konvensi-konvensi Jenewa dilengkapi dengan dua buah Protokol Tambahan pada tahun 1977. Protokol-protokol tanbahan ini melengkapi empat Konvensi Jenewa, tanpa bermaksud menggantikannya.


Protokol Tambahan I
Protokol I diterapkan dalam pertikaian bersenjata yang bersifat internasional dan perang kemerdekaan nasional suatu bangsa memperjuangkan haknya untuk menentukan nasib sendiri. Semua hak dan kewajiban yang ditegaskan dalam HHI dengan demikian dapat diterapkan pada konflik semacam itu.


Meskipun Konvensi Jenewa IV berkaitan dengan perlakuan terhadap masyarakat sipil dalam masa peperangan, namun perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil masih dirasakan kurang. Jadi Protokol I menegaskan kembali prinsip-prinsip itu dan menjadikannya bersifat operasional. Diantara prinsip-prinsip itu adalah larangan penyerangan terhadap masyarakat sipil dan semua penyerangan yang membabi-buta, perlindungan sarana yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat sipil (seperti bahan makanan, instalasi air minum atau sarana irigasi), larangan masyarakat sipil menderita kelaparan sebagai metode perangan, perlindungan instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya (seperti bendungan atau statiun tenaga nuklir untuk produksi listrik dan sebagainya), perlindungan obyek budaya dan tempat-tempat pemujaan. Kesemuanya itu merupakan suatu bagian aturan yang cukup besar, guna melindungi masyarakat sipil.
Di antara lain ditegaskan bahwa melakukan aksi balas dendam terhadap masyarakat sipil adalah dilarang. Oleh karena itu sangat tidak mungkin untuk membenarkan pelanggaran terhadap larangan penyerangan terhadap rakyat sipil dengan alasan bahwa pihak lain telah melakukan hal serupa.


Dalam Protokol I, ketentuan-ketentuan mengenai bantuan Humaniter untuk masyarakat sipil diperkuat dalam artian apabila masyarakat sipil mengalami kekurangan makanan, obat-obatan dan kebutuhan dasr lainnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian bersenjata diwajibkan untuk mengizinkan dan mendukung operasi bantuan Humaniter yang ditujukan untuk masyarakat sipil tersebut.


Protokol Tambahan II
Ada negara yang selalu menunjukkan keenganan untuk menyetujui Hukum Internasional dimaksud untuk mengatur situasi yang dianggap sebagai masalah internal. Negara-negara itu baru merubah sikap tersebut pada tahun 1949 dengan menyepakati Pasal 3 yang sama dalam empat Konvensi Jenewa yang mengatur tentang Pertikaian Bersenjata dalam negeri. Protokol II dengan melengkapi Pasal 3 itu, memperluas perlindungan pertikain bersenjata yang berlangsung dalam negeri. Protokol II memberikan rincian, namun tidak mengubah Pasal 3 Konvensi Jenewa. Penting diperhatikan di sini, Protokol II seperti Pasal 3 Konvensi Jenewa, tidak menghambat pemerintah untuk memelihara ketertiban umum dan untuk mempertahankan persatuan nasional serta integritas teritorial dengan semua cara yang sah.
Protokol II ini tidak mempengaruhi status hukum anggota gerakan pemberontak yang tetap berada di bawah hukum nasional.


Bagian utama dari Protokol II memuat aturan-aturan yang memperkuat perlindungan korban pertikaian bersenjata dalam negeri dan sekaligus memperkuat landasan hukum untuk kegiatan Palang Merah. khususnya bagi mereka yang telah meletakkan senjata setelah ikut serta dalam permusuhan, mereka berhak atas perlakuan yang manusiawi. Setiap orang yang ditahan mempunyai beberapa hak dasar yang mutlak dihormati, guna melindungi kehidupan, kesehatan, dan martabat, serta menjamin hubungan mereka dengan keluarga masing-masing tetap terjalin. Pihak instansi pemerintah tetap berwenang untuk menuntut orang-orang yang dituduh melawan hukum.Di sini terdapat pula beberapa jaminan peradilan yang harus dihormati, guna menjamin setiap orang yang dituntut sehubungan dengan pertikaian bersenjata, berhak mendapat pengadilan yang adil dan wajar. Hak dan jaminan tersebut mendekatkan Hukum Humaniter Internasional dengan perlindungan yang diberikan oleh Hak Asasi Manusia.


Protokol Tambahan II ini sampai dengan tanggal 3 Maret 1997, telah diratifikasi oleh 147 negara, sedangkan Protokol Tambahan II oleh 139 negara. Protokol-protokol Tambahan Konvensi Jenewa, sampai saat ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

III. Hubungan antara Hukum Humaniter Internasional dengan Hak Asasi Manusia
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa tujuan HHI dan HAM adalah sama untuk perlindungan manusia. HHI akan diterapkan jika terjadinya pertikaian bersenjata sedangkan HAM diterapkan setiap saat.


Secara singkat dapat dikatakan bahwa HHI diciptakan khusus untuk melindungi dan memelihara hak asasi (kehidupan, kesehatan dan sebagainya) korban dan non-kombatan dalam pertikaian bersenjata. HHI merupakan hukum darurat yang diterapkan dalam situasi tertentu. Sedangkan HAM, dengan melindungi hak-hak manusia, menuju pada perkembangan harmonis setiap orang yang hanya dapat tercapai di masa damai.
Dalam perjanjian-perjanjian internasional mengenai HAM, perlindungan hak dan jaminan dapat dibatasi ataupun dihapus, apabila berlangsung perang atau karena alasan lainnya yang mengancam stabilitas nasional.


Namun perlu diketahui dalam hukum internasional ada beberapa HAM yang penerapannya tidak dapat diperkecualikan, meskipun dalam keadaan yang sangat luar biasa, sepeti pada waktu berlangsung pertikaian bersenjata. Jadi berdasarkan hukum yang berlaku, hak-hak yang dianggap sebagai intisari dari HAM ini, tetap terjamin. Dengan demikian, setiap negara yang telah menandatangani perjanjian internasional mengenai HAM, apapun alasannya, tidak dapat membenarkan tindakan yang mengurangi perlindungan minimal yang diberikan kepada setiap individu.


Intisari atau “hard-core” HAM yang dimaksud meliputi:
a. Hak untuk hidu (Pasal 6 Covenant, 2 Konvensi Roma, 4 Pakta San Jose).
b. Larangan penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (Pasal 7 Covenat, 3
Konvensi Roma, 5 Pakta San Jose)
c. Larangan perbudakan(Pasal 8 Covenant, 4 Konvensi Roma, 6 Pakta San Jose)
d. Jaminan pengadilan(Pasal 15 Covenant, 7 Konvensi Roma, 9 Pakta san Jose).


Ad.a. Hak untuk hidup
Pasa 6 Covenant Hak Sipil dan Politik mengatur tentang Hak untuk hidup.
Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa kehidupan dilinungi oleh HHI dengan adanya Konvensi Jenewa yang menetapkan kewajiban untuk mengumpulkan dan merawat orang yang sakit dan cedera, dan yang mengatur tentang perlakuan tawanan perang, interniran sipil dan masyarakat sipil di bawah pendudukan musuh, serta tentang hukuman mati seperti; ketentuan yang melarang pelaksanaan hukuman mati dalm 6 bulan berikut keputusan pengadilan atau yang melarang hukuman mati dijatuhkan pada orang berumur di bawah 18 tahun, pada wanita hamil, maupun ibu yang mempunyai anak masih kecil (Konvensi Jenewa IV, Pasal 68 dan 75)


Dalam HHI, korban perang yaitu orang yang jatuh dalam tangan pihak musuh, tidak boleh dibunuh. Tetapi, selama terlibat dalam pertikaian bersenjata, peserta tempur tidak mungkin mendapat perlindungan atas kehidupan mereka. Namun dalam HHI terdapat beberapa ketetntuan yang melarang penggunaan senjata yang dapat mengakibatkan penderitaan yang berlebihan atau tidak peril. Khususnya untuk melindungi masyarakat sipil, Protokol Tambahan I mengharuskan adanya keseimbangan antara kepentingan militer dan keperluan perikemanusiaan (principle of proportionality).Dengan demikian, serangan hanya boleh diarahkan pada sasaran militer, meskipun masih dapat terjadi korban sipil secara insidentil. Protokl Tambahan I juga melindungi kehidupan dengan melarang tindakan untuk membuat orang sipil menderita kelaparan sebagai suatu metode peperangan, serta merusak sarana yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya, Di samping itu, untuk keselamatan orang sipil, dapat ditentukan lokasi bebas yang tidak boleh dijadikan sasaran militer.


Ad. b. Larangan Penyiksaan
Dalam HAM, pelanggaran ini ditetapkan dalam Covenant mengenai Hak Sipil dan Politik Pasal 7. Dalam HHI sebagian besar dari Konvensi-konvenai Jenewa dapat dilihat dalam Prakteknya merupakan rincian mengenai cara meperlakukan korban pertikaian bersenjata.


Ad.c. Larangan Perbudakan.
Dalam HAM, pelanggaran perbudakan diatur dalam Pasal 8 Konvensi Hak Sipil dan Politik. Dalam HHI, diatur dalam Protokol II Tahun 1977 pada Pasal 4 ayat 2 huruf f. Di samping itu, ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang serta perlakuan orang sipil di bawah pendudukan musuh mempunyai pulam efek perlindungan bagi para korban pertikaian bersenjata terhadap segala bentuk perbudakan.


Ad. d. Jaminan pengadilan.
Dalam HAM, jaminan pengadilan walaupun tidak dinyatakan sebagai hak-hak yang termasuk hard-core, telah diakui sebagai hak-hak yang amat penting, supaya HAM lainnya dapat diterapkan secara efektif. Dalam HHI, jaminan pengadilan sudah dimasukkan dalam Konvensi Jenewa sejak penyusunannya, karena pengalaman menunjukkan bahwa perlu pemeriksaan pengadilan untuk mencegah adanya hukuman mati yang dijalankan di luar proses pengadilan, maupun yang tidak manusia.


Hak dan jaminan dasar tersebut di atas tidak dapat dikecualikan dan tetap berlaku, baik di masa damai maupun pada waktu pertikaian bersenjata. Hak dan Jaminan dasar ini mutlak dihormati pula dalam situasi kekacauan dalam negeri, di mana pemerintah yang bersangkutan terpaksa mengambil tindakan yang luar biasa untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum.

HHI dengan tujuan membatasi kekerasan, memuat pula peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut di atas dianggap merupakan hak minimal. Jadi intisari hak-hak manusia ini menjamin perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun pada waktu perang. Hak-hak manusia ini merupakan bagian dari kedua sistem hukum yaitu HHI dan HAM.
Hak dan jaminan dasar tersebut di atas tidak dapat diperkecualikan dan tetap berlaku, baik di masa damai maupun pada waktu pertikaian bersenjata. Hak dan jaminan dasar ini mutlak dihormati pula, dalam situasi kekacauan dalam negeri, di mana pemerintah yang bersangkutan terpaksa mengambil tindakan yang luar biasa untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum.


Dapat dikatakan pula bahwa meskipun lingkup perlindungan HHI tidak seluas lingkup perlindungan yang diberikan oleh HAM, ketentuan-ketentuan HHI tidak dapat diperkecualikan, justru karena kepentingan militer telah dipertimbangkan dalam penyusunan ketentuan-ketentuan tersebut. Jika terjadi sengketa bersenjata, setiap negara penandatangann harus menerapkan HHI sepenuhnya, dan tidak dapat membenarkan pelanggaran terhadap HHI dengan alasan pematuhan ketentuan-ketentuan HHI itu mengurangi kemampuannya untuk berperang. HHI disusun dengan mempertimbangkan kepentingan militer maupun kepentingan humaniter, sehingga penerapan HHI tidak mungkin menghambat kemenangan perang.


IV HHI dan HAM juga mempunyai beberapa perbedaan dan persamaan.
Perbedaan antara HHI dan HAM

Jika membandingkan antara HHI dan HAM, terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:
• HHI yang dikenal pada awal dengan istilah hukum perang, dianggap sebagai hukum yang paling lama dalam sistem hukum publik internasional, dan peraturan-peraturan yang termuat dalam sistem hukum tersebut mewarnai hubungan tingkat internasional yang pertama di jalin. Sedangkan HAM merupakan suatu bagian yang masih muda dalam sistem hukum publik internasional.


• HAM disusun pertamanya untuk masa damai. Sedangkan HHI diciptakan khususnya untuk waktu berlangsungnya pertikaian bersenjata.


• Ketentuan-ketentuan HAM dimaksudkan untuk menjamin penghormatan hak dan kebebasan setiap orang supaya terlindungi dari penyalahgunaan oleh istansi pemerintah, sehingga setiap orang dapat mengembangkan diri sepenuhnya dalam masyarakat. Sedangkan HHI sebagai suatu sistem hukum darurat bertujuan memberikan perlindungan terhadap ancaman dan bahaya akibat pertikaian bersenjata atau situasi kekerasan lainnya yang disebabkan oleh manusia.


• HAM dijamin dalam dua sistem hukum, yaitu ditingkat universal dan regional. Sedangkan ketentuan-ketentuan HHI termuat dalam perjanjian-perjanjian yang berlaku dirtingkat intenasional tanpa adanya instrumen hukum regional.


• Ditingkat internasional, tujuan utama HAM adalah menghukum setiap pelanggaran. Sedangkan HHI lebih mengarah pada peningkatan perlindungan dan solidaritas terhadap para korban.


• Dalam HHI, setiap individu yang menjadi korban, meskipun memperoleh manfaat dari perlindungan hukum ini tidak dimungkinkan untuk menuntut langsung suatu negara apabila terjadi pelanggaran. Sedangkan HAM memberikan HAK dan Jaminan langsung kepada setiap orang untuk dapat membuka proses pengadilan jika terjadi pelanggaran.


• Mekanisme pelaksanaan HHI melibatkan negara penandatangan, negara pelindung dan ICRC. Sedangkan mekanisme pelaksanaan HAM melibatkan negara-negara nasional, seperti badan promosi dan penyelidikan, serta instansi pengadilan dari setiap negara maupun para individu sendiri.


• Hak yang diberikan oleh HHI bersifat “inalienable”, berarti hak tersebut tidak dapat ditolak oleh orang yang ditujukan sebagai penerima. Sedangkan setiap orang boleh menggunakan hak dan jaminan yang diberikan oleh HAM sesuai dengan pendapat dan kepentingannya sendiri.


• Oleh karena itu individu menjadi subyek hukum yang aktif, sedangkan di bawah HHI individu lebih dianggap sebagai obyek pelindungan hukum.

Persamaan antara HHI dan HAM
Setelah melihat perbedaan seperti tercatat di atas, perlu pula dilihat kesamaan yang ada antara HAM dan HHI:


• Dahulu, HHI dianggap sebagai hukum yang hanya dapat diterapkan ditingkat negara, sedangkan HAM langsung berlaku ditingkat perorangan. Sebenarnya, Konvensi-konvensi Jenewa serta Ptotokol-protokol Tambahannya memuat pula ketentuan-ketentuan yang memberikan kewajiban kepada negara penandatangan, sekaligus menjamin hak pribadi orang yang dilindungi.


• HHI menentukan kelompok-kelompok orang yang dilindungi, seperti orang yang cedera dan tawanan perang, sedangkan HAM berlaku untuk semua orang tanpa memberikan status khusus. Tetapi meskipun lingkup penerapan HHI bersifat lebih terbatas, perkembangan terakhir hukum tersebut mengikuti pendekatan yang sama dengan sistem HAM dengan upaya memperluas perlindungan HHI bagi semua orang sipil.


• Dari satu sisi, landasan pengaturan HAM adalah hak-hak yang berkaiatan dengan manusia, yaitu kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum, dsb. Berdasarkan hak-hak asasi ini, peraturan-peraturan dirumuskan untuk menjamin perkembangan manusia dalam segala aspek, yang merupakan tujuan peraturan tersebut. Dari sisi lain, HHI dimaksudkan untuk membatasi kekerasan, oleh karena itu HHI memuat peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak manusia yang sama sebab hak-hak tersebut di atas dianggap merupakan hak-hak minimal.


VI. Kesimpulan
Meskipun terdapat beberapa kesamaan, kedua sistem ini yaitu HHI dan HAM tetap terpisah. Kemungkinan untuk menerapkan ketentuan HHI dan HAM bersama tidak berarti bahwa kedua sistem hukum ini dapat disatukan.Ruang lingkup perlindungan HHI tidak seluas lingkup perlindungan yang diberikan oleh HAM, ketentuan-ketentuan HHI tidak dapat diperkecualikan, karena kepentingan, militer telah dipertimbangkan dalam penyusunan hukum tersebut. Apabila terjadi sengketa bersenjata, setiap negara penandatanganan harus menerapkan HHI sepenuhnya, dan tidak dapat membenarkan pelanggaran HHI dengan alasan pematuhan ketentuan-ketentuan HHI mengurangi kemampuan untuk berperang. HHI disusun dengan dengan mempertimbangan baik kepentingan militer maupun kepentingan humaniter, sehingga penerapan HHI tidak mungkin menghambat kemenangan.


Dalam perjanjina internasional mengenai HAM, perlindungan hak dan jaminan (yang tidak termasuk intisari HAM) dapat dibatasi ataupun dihapus, apabila berlangsung perang atau karena alasan lain yang mengancam stabilitas nasional. Tetapi pengalaman telah membuktikan secara nyata, bahwa pelanggaran berat dan yang berlebihan terhadap HAM dapat mengakibatkan ketegangan, kerusuhan, maupun pertikaian bersenjata. Jika terjadi situasi demikian, penghormatan HAM akan semakin kecil dan kebutuhan untuk menerapkan HHI menjadi semakin besar.


Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua sistem hukum HHI dan HAM tidak saling bersaing, melainkan saling melengkapi. Semoga dalam perkembangan masing-masing, kedua sistem ini dapat saling mempengaruhi, agar perlindungan yang diberikan oleh HHI dan HAM akan semakin kuat, sehingga hak dan kebebasan setiap manusia semakin terjamin dalam hukum internasional


DAFTAR PUSTAKA
Anne-Sophie Gindroz, “Hukum Humaniter Internasional Sejarah Sumber & Prinsip”, Makalah Penataran Hukum Humaniter dan HAM, FH- Unsyiah, Banda Aceh, 1998.
Fadilah Agus (editor), Hukum Humaniter Suatu Perseptif, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Usakti, Jakarta, 1997.

Haryomataram GPH, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, l984.
——-, “Hukum Humaniter Hubungan dengan Keterkaitannya dengan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata (Pidato Pengukuhan)”, Fakultas Hukum Usakti, jakarta, 1997.

——-, “Uraian Singkat tentang Armed Conflict (Konflik Bersenjata”, Makalah Penataran Hukum Humaniter Internasional dan HAM, FH-USU, Medan, Pebruari 1998.
Marion-Harroff-Tavel, Kegiatan Komite Internasional Palang Merah (International Committee of The red Cross/ICRS), Pada Waktu Kekerasan Dalam Negeri, ICRC Regional Jakarta.
Mochtar Kusumaatmadja,Konevensi-konvensi Palang Merah th. 1949, Binacipta, Bandung l986.
——-, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1997.

HUKUM PERPAJAKAN


HUKUM PERPAJAKAN
Pajak merupakan lapangan hukum yang utama. Soal pajak adalah soal negara berarti bahwa menyangkut seluruh rakyat yang berada di wilayah Republik Indonesia. Hukum pajak belum lama menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri yang berarti bahwa hukum pajak itu menjadi sumber inspirasi baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat popularitas.

Sehubungan dengan perubahan struktur masyarakat maka hukum perpajakan Indonesia mengalami perubahan-perubahan dan disesuaikan dengan jiwa baru atau jiwa reformasi dalam era globalisasi dunia, karena itu maka hukum perpajakan Indonesia bukan saja penting bagi pendidikan akan tetapi perlu mendapat perhatian khusus dari para pemimpin rakyat dan politisi.

Arti hukum perpajakan
Hukum pajak disebut juga hukum fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Hukum perpajakan merupakan bagaian dari hukum public yang mengatur hubungan-hubungan antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak.

Tugas hukum perpajakan
Menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum itu. yang penting disini adalah tidak boleh diabaikan latar belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat.
Luasnya hukum perpajakan erat hubungannya dengan klehidupan masyarakat terutama dibidang kehidupan ekonomi dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan perpajakan sering berubah-ubah atau mengharuskan perubahan-perubahan peraturan pajaknya. Artinya cara pengatran pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagai reaksi dari perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat itu.

Devinisi hukum perpajakan
Menurut Prof . Dr. Adriani
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib pajak sesuai peraturan-peraturannya dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk serta kegunaannya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian diatas tersebut adalah :
  • Memasukkan pajak dianggapnya suatu keharusan dalam arti yang luas, disamping itu devinisi ini dititik beratkan pada fungsi budgetair sedangkan pajak masaih mempunyai fungsi lain yaitu fungsi mengatur.
  • Yang dimaksud dengan tidak mendapat pretasi kembali dari negara adalah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran itu sendiri, prestasi seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari pihak kepolisian dan TNI.
Sudah barang tentu diperoleh dari para pembayar pajak itu, akan tetapi diperolehnya itu tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu sendiri, buktinya orang yang tidak membayarpun dapat mengenyam kenikmatannya.

Menurut Prof DR. Suparman Sumahamijaya
Didalam desertasinya “Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong” yang dibuat di UNPAD pada tahun 1964 menyebutkan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menuntut biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dikesimpulkan yang dari pengertian diatas tersebut adalah :
-        Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang-undang serta peraturan pelaksanannya
-        Dalam pembayaran pajak, tidak ada ketentuan untuk mendapatkan prestasi individu atau perorangan oleh pemerintah
-        Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah
-        Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintahan yang bila dari peasukannya masih terdapat surplus maka dipergunakan untuk membiayai kepentingan umum (public interest)
-        Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgetair yaitu mengatur bagaiman pajak itu dibayar.

Prof.Dr.Rohmat Soemitro, S.H, didalam bukunya berjudul “Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan” isinya sebagai berikut :
Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdsarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapatkan kontra prestasi atau jasa timbal yang langsung,dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Penjelasan tentang defenisi tersebut diatas adalah sbb:
-        Dapat dipaksakan artinya bila hutang itu tidak dibayar maka dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan,melalui surat paksa dan surat sita serta dilakukan penyanderaan. Yang dimaksud dengan kontraprestasi berarti tidak mendapatkan prestasi dari pemerintah.
-        Pajak adalah pweralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya (kelebihannya) digunakan kepentingan public/persediaan untuk kepentingan public

Prof. DR. Smeets
Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum,yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

Dalam hal ini smets mengakui bahawa defenisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter saja,dan kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada defenisinya.
Sistem perpajakan yang lama tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional, maka peran pajak sangat penting bagi subjek pajak karena penerimaan pajak dalam negeri sangat dibutuhkan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan nsaional. Oleh karena itu pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor  28 tahun 2007 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang tata cara pemungutan pajak, dan juga Undnag-undang Nomor 17 tahun 2000 sebagai pengganti dari Undag-undang Nomor 10 tahun 1994 tentang PPh.
Karakteristik dan prinsip dari pemungutan pajak adalah sbb:
  1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dan maupun peran serta warga negara dan angoota masyarakat (wajib pajak) untuk membiayai keperluan pemerintah dan pembangunan nasional.
  2. Anggoata masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mebayar dan melapor sendiri pajak yang terhutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakn dengan lebih mudah,tertib dan terkendali.
  3. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan berada pada anggota masyarakat wajib pajak itu sendiri. Pemerintah dan pengawasan serta pemeriksaan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak,berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan itu.
Kesimpulan:
Disimpulan, bahwa dalam sistem pemungutan pajak ini, fiskus memberi kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hakdan kewajiban perpajakan bagi masyarakat wajib pajak lebih diperhatikan, sehingga dapat merangsang peningakatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat.
Pengertian-pengertian:
  1. Wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-unjdangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.
  2. Badan adalah perseroan terbatas,BUMN atau BUMD dalam bentuk apapun, persekutuan,perseroan atau perkukmpulan lainnya seperti: firma,kongsi,perkumpulan kopersasi,yayasan atau lembaga dan bentuk usaha yang lain yang tetap.
  3. Surat paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan UU No.19 tahun 2000 tentang penagihan pajak negara dengan surat paksa
  4. Masa pajak adalah jangka waktu tertentu yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terhutang. Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun takwimatau tahun kalender.
Wajib pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun takwim selama 12 bulan hal ini harus dilaporkan kepada Dirjen pajak setempat. Ketentuan tersebut dapat dilaksanakan apabila telah disetujui oleh Dirjen pajak.
  1. Tahun pajak sama dengan tahun takwim atau sama dengan tahun kalender dimulai 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008, hal ini berarti pembukuan dimulai 1 anuari 2008 dan berakhir 31 Desemberd 2008 (disebut juga tahun pajak 2008).
  1. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim
-        1 uli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009
Pembukuan dimulai dari 1 Juli 2008 dan berakhir pada 30 Juni 2009 karena 6 bulan pertama jatuh pada tahun 2008 maka disebut tahun pajak 2008
-        1 April 2008 sampai dengan 30 Maret 2008
Pembukuan dimulai 1 April 2008 dan berakhir pada 30 Maret 2009 disebut juga tahun pajak 2008 karena lebih dari 6 bulan jatuh pada tahun 2009.

Hukum pajak termasuk hukum public
Hukum pajak adalah sebagian dari hukum public dan meruakan bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungangan antara penguasa dan warganya, artinya ketentuan yang memuat cara-cara, mengatur pemerintah.
 
Yang termasuk kedalam hukum publik :
-        Hukum Tatat Negara
-        Hukum Pidana
-        Hukum Administratif

Hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administrative, meskipun ada yang menghendaki agar hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum adminuistratif yang diartikan sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administrative yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum pajak pada umumnya mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.

Hubungan hukum pajak dengan hukum perdata
Hukum perdata adalah bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antar orang-orang pribadi, dimana hukum pajak banyak sekali sangkut pautnya, ini berarti bahwa kebanyakan hukum pajak mencari dasar pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkup perdata seperti:
-        Pendapatan
-        Kekayaan
-        Perjanjian atau penyerahan
-        Pemindahan hak karena warisan
Penerimaan Negara
  1. BEA dan CUKAI
Pada hakekatnya bea dan cukai termasuk pajak tidak langsung dan merupakan pungutan pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)
BEA
  1. Bea masuk yaitu dipungut atas barang yang dimasukan kedalam daerah pabean berdasarkan harga nilai barang tersebut atau berdasarkan tariff yang sudah ditentukan.
  2. Bea keluar yaitu dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan keluar daerah pabean berdasarkan tariff yang sudah sitentukan bagi masing-masing golongan barang, bea ini sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi dan sekarang diganti dengan “pajak export tambahan”.
CUKAI
Yaitu pungutan yang dikenakan atasa barang-barang tertetu berdasarkan tariff yang sudah ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu.
Contoh : rokok, minuman keras, dsb.
  1. RETRIBUSI
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara langsung dan nyata kepada pembayar.
Contoh : retribusi parker, retribusi jalan tol, dsb.
  1. IURAN
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan pembayar.
Contoh : iuran sampah, iuran keamanan, dsb.
Dalam prakteknya tidak ada perbedaan yang tajam antara pemberian jasa atau fasilitas kepada individu atau kelompok sehingga terdapat istilah retribusi dan iuran”.
  1. SUMBANGAN
Yaitu pungutanyang tidak termasuk kedalam retribusi dan iuran dengan demikian pungutan yang dilakukan tidak jelas nampak ada diberikan suatu balas jasa atau fasilitas sebagai imbalannya.
Contoh ; sumbangan wajib.

Hubungan Kausalitas Antara Politik dan Hukum Di Indonesia


Hubungan Kausalitas Antara Politik dan Hukum Di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Hubungan kausalitas antara antara politik dan hukum sebagai sub system kemasyarakatan disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Dari pendekatanm empirik hal itu merupakan suatu aksioma yang tak dapat diitawar lagi. Tepai ada juga para yuris yang lebih percaya dengan semacam mitos bahwa politiklah yang harus tunduk pada aturan hukum. Inipun , sebagai das sollen, tak dapat disalahkan begitu saja. Bahwa hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tetentua akan melahirakan hukum dengan karakter tertentu pula. kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya bisa dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan hukum. Perangkat hukum kita, sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan atas hukum. Inilah tragedi panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di Indonesia. Bagaimana gejala ini bisa dijelaskan? Strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan hukum untuk menuju kaadilan?

Asumsi dasar dari pemikiran diatas adalah bahwa hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada jaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Setiap hari kita melihat, mendengar bahwa di ibukota penggusuran sedang berlangsung terhadap ribuan warga pinggiran di ibukota, hanya dengan alasan bahwa mereka telah melanggar Perda DKI. Dalam logika seperti itu, hukum diberi fungsi, terutama, sebagai instrumen program pembangunan karena sebenarnya hukum bukanlah tujuan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum (Mahfud : 1999). Pertama kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut “das sollen” yang mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Tokohnya antara lain Roscoe Pound dengan “law as a tool of social engineering“. Adalah wajar jika ada keinginan untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyrakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan menjadi lebih relevan. Tetapi dari kaum realis seperti Von Savigny dengan “hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya“. Ini berarti bahwa hukum, mau tidak mau, menjadi independent variable atas keadaan diluarnya, terutama keadaan politiknya.

BAB II
PEMBAHASAN
  1. A. Hukum sebagai Produk Politik
Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyaraktanya akan menjadi lebih relevan.Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Bahwa keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi produk hukum, untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua Undang-undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi (Mahfud :1999).

Satjipto Rahardjo (1985 :71) mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Artinya banyak sekali praktik politik yang secara substansif hal-hal diatas dimaksudkan untuk menegaskan bahwa di dalam kenyataan empiric politik sanagat menentukan bekerjanya hukum. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan hukum disini sangat tergantung pada keadaan politiknya.
Pertanyaannya adalah, jika pengabdian hukum lebih cenderung pada kekuasaan, apakah tidak ada ruang bagi ekspresi hukum untuk praktik demokrasi?

Demokrasi dan Hukum
Bahwa ada kaitan yang sangat erat antara demokrasi dan hukum tidaklah dapat dibantah. Hubungan antara demokrasi dan hukum ibarat dua sisi sekeping mata uang logam : dimana ada demokrasi disitu ada hukum. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Negara-negara yang demokratis akan melahirkan hukum yang berwatak demokratis, sedangkan negara yang otoriter atau non-demokratis akan lahir hukum yang non-demokratis pula. Kesulitan yang muncul adalah bahwa sekarang ini tidak ada satupun negara di dunia ini yang mengaku tidak demokratis.

B.   RELASI POLITIK DAN HUKUM DI INDONESIA
Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.

Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.

Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.

Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang bersenjata dapat bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat kepolisian, massa dapat mengadili pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara pengadilan membebaskan koruptor kelas kakap. Dunia hukum Indonesia berada dalam kuasa “demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”.

a.    Hukum dalam Subordinasi Politik
Adalah runtuhnya rezim otoriter Soeharto dan keinginan untuk membangun kembali suatu tatanan masyarakat yang demokratis yang memunculkan upaya-upaya peninjauan ulang, revisi dan amandemen terhadap segala bentuk sistem dan perangkat hukum yang ada. Namun sejarah mencatat bahwa proses lahirnya hukum memang tidak lepas dari sejarah kekuasaan atau politik itu sendiri. Sejak masa Imperium Roma sampai dengan Hitler, Sejak masa Sriwijaya hingga Megawati Sokarnoputri.

Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru sebenarnya sekadar menyempurnakan apa yang dikenal dengan “The Ducth Law of The Sea”, suatu upaya kolonial Belanda untuk mengintervensi hukum adat yang berlaku di nusantara. Prinsipnya hukum tersebut dugunakan sebagai instrumen kepentingan penjajah di wilayah jajahannya dimana VOC misalnya mendiskriminasikan pribumi sebagai warga kelas dua.

Ada lima langkah yang dilakukan Orde Baru untuk “menyempurnakan” hukum sebagai alat untuk menjinakkan masyarakat: Pertama, melakukan kooptasi terhadap lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk Mahkamah Agung (MA) sehingga menyebabkan MA kehilangan fungsi pro justitia-nya. Kedua, memusnahkan pranata sosial, misalnya peradilan adat atau kearifan lokal yang selama bertahun-tahun menjadi mekanisme penjaga keseimbangan dalam lingkungan adat tertentu. Ketiga, kanalisasi semua pertarungan dan konflik yang terjadi di masyarakat pada peradilan yang disediakan negara sehingga negara dapat mengontrol konteks, peristiwa dan putusan yang akan ditetapkan. Keempat, membentuk instrumen-instrumen quasi untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Pengadilan, DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dibentuk seakan-akan bekerja untuk keadilan, namun ternyata hanya pura-pura, tidak beres dan tidak jelas. Dan kelima, persoalannya bukan hanya imparsialitas dan independensi, namun juga masuknya praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme.

Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Law enforcement menjadi kehilangan ruang, sehingga Ronald Katz kemudian menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.

b.   Hukum yang Lumpuh dan Dilumpuhkan?
Dalam pandangan Lord Acton, upaya perbaikan hukum secara menyeluruh menyangkut perubahan pada the content of the law, the structure of the law, dan the culture of the law. Persoalannya, di Indonesia perubahan yang dilakukan semata-mata baru pada the content of the law, seperti dengan membuat sebanyak mungkin undang-undang dan peraturan untuk mengatasi persoalan di masyarakat, itu pun seringkali tidak didasarkan pada pembacaan yang sungguh-sungguh atas kebutuhan masyarakat akan undang-undang dan peraturan serta tidak dirumuskan secara partisipatoris (kasus upaya pemaksaan pengesahan undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya misalnya). The structure of the law-nya masih dihuni oleh pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan aktif dalam rangkaian keputusan atau praktek hukum yang menyimpang. Apalagi the culture of the law-nya, budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang profesionalisme sebagai aparatur penegak hukum.

Kondisi hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan ketiadaan keseriusan pemerintah untuk mengedepankan agenda law erforcement dan hambatan-hambatan politis lainnya. Desakan untuk melakukan pembersihan secara radikal terhadap institusi hukum (Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah Agung) serta pencabutan keputusan-keputusan yang melanggar prinsip-prinsip keadilan (TAP MPRS No XXV dan UU Subversif) yang pernah dirintis Abdurahman Wahid, tidak lagi berlanjut seiring dengan jatuhnya Wahid. Upaya Gus Dur justru dihambat dengan berbagai cara, termasuk dengan penggulingan dirinya.

Artinya, dalam kondisi dimana proses pemulihan hukum dari kelumpuhan tengah berlangsung, upaya-upaya untuk mempertahankan kelumpuhannya juga gencar dilakukan berbagai pihak. Dalam konteks transisional, semua upaya tersebut dilakukan tidak lain untuk mempertahankan ketidakpastian hukum demi membebaskan pihak-pihak yang bermasalah sekaligus tetap mempertahankan previledge yang hanya dapat dipetik dalam situasi ketidakpastian (pengadilan mantan presiden Soeharto misalnya.

Ada proses demoralisasi yang panjang dalam dunia hukum kita. Juga ada masalah sistem yang mendukung munculnya demoralisasi tersebut. Sistem peradilan kolonial yang kita gunakan secara tambal sulam tidak direvisi total pada tataran prinsipil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peradilan yang berkeadilan namun lebih merupakan alat kontrol yang represif. Sehingga barang siapa yang ingin selamat dari jerat hukum, dia akan melakukan upaya-upaya kolusi yang mendorong suburnya demoralisasi.
  1. B. Pengaruh Demokrasi dan Otoritarian
Dalam memotret kasus Indonesia dengan kerangka teori tersebut, maka sejarah politik dan hukum di Indonesia dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1966, dan periode 1966 sampai sekarang, sedangkanm produk-produk hukum diarahkan pada hukum-hukum public dengan contoh hukum-hukum tentang Pemilu, Pemda dan Agraria. Secara spesifik gambaran hubungan kausalitas tersebut adalah sebagai berikut;
  1. Keadaan Politik
Pada periode 1945-1959, meskipun pernah berlaku samapai tiga macam UUD (UUD 1945 dan UUDS 1950), kehidupan politik berjalan secara demokratis meskipun jika dilihat dari sudut UUD 1945 (Aturan Peralihan Pasal IV) pada awal perjalanannya kehidupan politik Negara sangat memusat ditangan Presiden. Pada Periode 1959-1966, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kehidupan demokrasi merosot tajam dan yang muncul adalah system politik otoriter dengan Soekarno sebagai actor utama. Periode system politi yang ke tiga yaitu periode 1966 sampai sekarng atau periode Orde Baru. Pada mulanya era Orde Baru ini pun berlangsung dibawah system politik yang demokratis menurut ukuran konvensional diatas. Tetapi langgam demokratis ini hanyalah perjalanna awal ketika pemerintah sedang menyusun format politik baru.
  1. Produk Hukum
Studi tersebut memperlihatkan secara jelas hubungan kausalitas atau dependensi hukum atas politik. Pada hukum-hukum public yang berkaitan dengan kekuasaan (gezagsverhouding) terlihat sekali bahwa system politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum yang karakternya responsive atau populastik, sedangkan system politik yang otoriter sebnantiasa melahirkan hukum yang memiliki karakter ortodoks/konservatif. Lahirnya Orde Baru dengan obsesi pembangunan ekonomi berorientasi pada pertumbuhan juga melahirkan produk hukum pemda yang tidak responsive. Hal itu didasarkan pada keinginan untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan yang dapat menjamin stabilitas yang menjadi prasyarat pembangunan. Langgam ototitarian periode initelah melahirkan UU No. 5 Tahun 1974 yang muatan ciri-ciri konservatifnya terlihat pada : Pertama, asas otonomi yang seluas-luasnya diganti dengan asas otonomi nyata dan bertanggung jawab, Kedua dominasi pusat terhadap daerah cukup menonjol yang ditandai dengan kewenangan pusat untuk mengangkat kepal daerah tanpa terikat peringkat hasil pemilihan di DPRD, Ketiga, kepala daerah merangkap sebagai kepala wilayah dengan kedudukan sebagai penguasa tunggal, keempat adanya mekanisme pengawasan preventif, responsive, dan umum dari pusat terhadap daerah.
  1. Menuju Hukum Responsif
Uraian diatas telah menunjuukkan bahwa situasi politik tertentu dapat melahirkan hukum dengan karakter tetentu pula yang secara teoretis dikotomis system politik demokratis akan melahirkan hukum yang responsive, sedangkan system politik yang otoriter akan malahirkan hukum yang konservatif/ortodoks. Kesimmpulan umum tersebut dapat  secara khusus dikaitkan dengan Indonesia yang ternyata memberikan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pada periode 1945-1959, keadaan politik Indonesia adalah demokratis dan telah melahirkan hukum yang berkarakter responsive. Kedua, pada periode 1959-1966, keadaan politik di Indonesia adalah otoriter dan telah melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks. Ketiga, pada periode 1966 –sekarang, keadaan politik di Indonesia adalah otoriter-non demokrasi dan telah melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam realitas empiris hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan. Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan bekerjanya hukum.Namun melihat ketidakjelasan politik hukum pada di era transisi ini, munculnya elemen kritis di kalangan masyarakat sipil, pemerintahan yang efektif dan kuat, serta lembaga pengadilan yang mampu menguji peraturan di dalam bingkai UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan.
Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Mahfud MD, Moh.1993. Perkembangan Politik Hukum, disertasi doctor dalam Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Moh. Mahfud MD.1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama Media : Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto,1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Sinar Baru.