HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Selasa, 18 September 2012

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA



ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 


Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
  1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
  2. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
  3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).
Adagium ini menganjurkan supaya :
  1. Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
  2. Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
  3. Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
  1. Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan (formil).
  2. Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).
  3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis).
  4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa).
  5. Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
  6. Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
  7. Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.
8.     PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA
Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap SH).


Ruang Lingkup Pembuktian
1.    Sistem pembuktian
2.    Jenis alat bukti
3.    Cara menggunakan dan nilai
4.    Kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti

Sistem Pembuktian
1.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka atau ”conviction intime”
2.    Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif atau ”wettelijk stesel”
3.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis atau ”laconvictioan raisonel”
4.    Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau ”negatif wettelijk stesel”

Teori/Sistem Pembuktian
1.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction intime)
Terbukti tidaknya kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan atas penilaian keyakinan atau perasaan hakim. Dasar hakim membentuk keyakinannya tidak perlu didasarkan pada alat bukti yang ada.
2.    Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijk bewijs theori)
Apabila suatu perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan terdakwa terbukti bersalah tanpa mempertimbangkan keyakinannya sendiri
3.    Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction rasionnee)
Putusan hakim didasarkan atas keyakinannya tetapi harus disertai pertimbangan dan alasan yang jelas dan logis. Di sini pertimbangan hakim dibatasi oleh reasoning yang harus reasonable.
4.    Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijs theorie)
-          Sistem pembuktian ini berada diantara sistem positif wettelijk dan sistem conviction resionnee
-          Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Jadi sistem pembuktian yang dianut peradilan pidana Indonesia adalah sistem pembuktian ”negatief wettelijk stelsel” atau sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang harus:
-       Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya ”dua alat bukti yang sah”
-       Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

Sistem Pembuktian Yang Dianut Indonesia
-          Pasal 183 KUHAP ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Prinsip Minimum Pembuktian
Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu :
-          Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup).
-          Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu alat bukti sah saja sudah cupuk mendukung keyakinan hakim.

Prinsip Pembuktian
1.    Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan (notoire feiten)
2.    Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis).
3.    Pengakuan (keterangan) terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah.

BUKTI, BARANG BUKTI DAN ALAT BUKTI

BUKTI
KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa. Tindakan penyidik membuat BAP Saksi, BAP Tersangka, BAP Ahli atau memperoleh Laporan Ahli, menyita surat dan barang bukti adalah dalam rangka mengumpulkan bukti.
Dengan perkataan lain bahwa :
1.   Berita Acara Pemeriksaan Saksi;
2.   Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;
3.   Berita Acara Pemeriksaan Ahli/Laporan Ahli;
4.   Surat dan Barang bukti yang disita, kesemuanya mempunyai nilai sebagai BUKTI.

BARANG BUKTI
Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini harus dikenakan penyitaan terlebih dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya benda yang dikenakan penyitaan berada. Kecuali penyitaan yang dilakukan oleh penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu ada izin ketua pengadilan negeri setempat.
Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
1.   benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana,
2.   benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
3.   benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
4.   benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
5.   benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

ALAT BUKTI
KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti. Akan tetapi pada Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Rumusan pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa :
1.   alat bukti diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan.
2.   hakim mengambil putusan berdasarkan keyakinannya.
3.   keyakinan hakim diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah.
Adapun alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP ialah :
1.   keterangan saksi
2.   keterangan ahli
3.   surat
4.   petunjuk
5.   keterangan terdakwa

KETERANGAN SAKSI
Keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, alami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.
Syarat Sah Keterangan Saksi
1.   Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan)
2.   Keterangan saksi harus mengenaiperistiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan  alasan pengetahuannya (testimonium de auditu = terangan yang diperoleh dari orang lain tidak mempunyai nilai pembuktian).
3.   Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada pasal 162 KUHAP).
4.   Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis).
5.   Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
Yang memenuhi syarat sah keterangan saksi (5 syarat) :
1.   Diterima sebagai alat bukti sah
2.   Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak mengikat)
3.   Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki).
4.   Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain.

KETERANGAN AHLI
Keterangan yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan membuat terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan. 
Syarat Sah Keterangan Ahli
1.   Keterangan diberikan oleh seorang ahli
2.   Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu
3.   Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya
4.   Diberikan dibawah sumpah/ janji:
-  Baik karena permintaan penyidik dalam bentuk laporan
-  Atau permintaan hakim, dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan
Jenis Keterangan Ahli
1.   Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan atas permintaan penyidik)
2.   Keterangan ahli yang diberikan secara lisan di sidang pengadilan (atas permintaan hakim)
3.   Keterangan ahli dalam bentuk laporan atas permintaan penyidik/ penuntut hukum
DUA KETERANGAN AHLI = SATU ALAT BUKTI.
DUA KETARANGAN AHLI = DUA ALAT BUKTI.
Contoh merupakan satu alat bukti :
-       Keterangan ahli A : Sebab matinya korban karena rusaknya jaringan otak
-       Ketarangan ahli B : luka pada kepala korban menembus batok akibat peluru keliber 45
Contoh merupakan dua alat bukti :
-       Keterangan Ahli A : Sebab kematian korban karena mati lemas akibat tersumbatnya saluran pernafasan.
-       Keterangan Ahli B : Sidik jari pada leher korban identik dengan sidik jari terdakwa.
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli
1.    Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
2.    Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan
3.    Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim

SURAT
-       Surat Keterangan dari seorang ahli
-       Memuat pendapat berdasarkan keahliannya,
-       Mengenai suatu hal atau suatu keadaan
-       Yang diminta secara resmi dari padanya
-       Dibuat atas sumpah jabatan, atau dikuatkan dengan sumpah
Contoh : Visum et Repertum
Ada 2 bentuk surat :
1.   Surat Authentik/ Surat Resmi
-  Dibuat oleh pejabat yang berwenang, atau oleh seorang ahli atau dibuat menurut ketentuan perundang-undangan
-  Dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah
2.   Surat Biasa/Surat Di Bawah Tangan
-  Hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Contoh : Izin Bangunan, Akte Kelahiran, Paspor, Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, Surat Izin Mengemudi, dll.
Nilai Kekuatan Pembuktian Surat
1.   Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
2.   Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain halnya dalam acara perdata)
3.   Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim :
Dalam Acara Perdata, akta otentik menjadi bukti dari kebenaran seluruh isinya, sampai dibuktikan kepalsuannya. Hakim harus mengakui kekuatan akta otentik sebagai bukti diantara para pihak, sekalipun ia sendiri tidak yakin akan kebenaran hasilnya.
Sifat Dualisme Laporan Ahli, Keterangan ahli dalam bentuk pendapat/ laporan :
a)    Sebagai alat bukti keterangan ahli :
Penjelasan Pasal 186:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyelidik atau penuntu umum yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.
b)    Sebagai alat bukti surat
Pasal 187 c:
Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu hal atau suatu keadaan yang diminga secara resmi daripadanya.

KETERANGAN TERDAKWA
a.   Keterangan terdakwa sendiri :
-  Pengakuan bukan pendapat
-  Penyangkalan
b.   Tentang perbuatan yang ia sendiri
-  Lakukan, atau
-  Ketahui atau
-  Alami
c.   Dinyatakan di sidang :
-  Keterangan yang terdakwa berikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan membantu menemukan bukti di sidang.
Keterangan Terdakwa Diluar Sidang
Dapat digunakan membantu menemukan bukti disidang asalkan:
-    Didukung oleh suatu alat bukti yang sah
-    Mengenai hal yang didakwakan kepadanya
Contoh : Berita Acara Tersangka oleh penyidik.
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa
1.   Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas hakim tidak terikat dengan keterangan yang bersifat pengakuan utuh/ murni sekalipun pengakuan harus memenuhi batas minimum pembuktian
2.   Harus memenuhi asas keyakinan hakim
3.   Dalam Acara Perdata suatu pengakuan yang bulat dan murni melekat penilaian kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan.

PETUNJUK
1.   Perbuatan, atau kejadian atau keadaan
2.   Karena persesuainnya satu dengan yang lain
      3.   Persesuainnya dengan tidak pidana itu sendiri
4.   Menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana, dan
5.   Siapa pelakunya
Sumber Perolehan Petunjuk
Petunjuk hanya diperoleh dari :
-       Keterangan saksi
-       Surat
-       Keterangan terdakwa
-       Keterangan ahli
-       Petunjuk bukan alat bukti yang berdiri sendiri.
Bukti Petunjuk Sebagai Upaya Terakhir
Petunjuk sebagai alat bukti yang sah, pada urutan keempat dari lima jenis alat bukti :
-       Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa (yang diperiksa terakhir)
-       Jadi petunjuk sebagai alat bukti terakhir
-       Petunjuk baru digunakan kalau batas minimum pembuktian belum terpenuhi
- Untuk menggunakan alat bukti petunjuk, hakim harus dengan arif dan bijaksana mempertimbangkannya.
-       Petunjuk diperoleh melalui pemeriksaan yang : Cermat, Seksama, Berdasarkan hati nurani hakim.
9.     TINDAK PIDANA (DELIK)
Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
1.   Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
2.   Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
3.   Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :
-     Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
-     Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
-     Melawan hukum (onrechtmatig)
-     Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
-     Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana,yakni
Unsur Obyektif :
-     Perbuatan orang
-     Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
-     Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur Subyektif :
-     Orang yang mampu bertanggung jawab
-     Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Jenis-Jenis Tindak Pidana
1.   Kejahatan dan Pelanggaran
KUHP tidak memberikan kriteria tentang dua hal tersebut, hanya membaginya dalam buku II dan buku III, namun ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :
a.   Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
1.   Rechtdelicten
     Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).
2.   Wetsdelicten
     Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.
b.   Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.

2.   Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
a.   Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
b.   Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki  (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362. 
 
3.   Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
a.    Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
b.   Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).
c.   Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).

4.   Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
a.   Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP
b.   Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.

5.   Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
a.    Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b.   Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)

6.   Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).

7.   Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a.   Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
b.   Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Delik laporan: delik yang penuntutannya dapat dilakukan tanpa ada pengaduan dari pihak yang terkena, cukup dengan adanya laporan yaitu pemberitahuan tentang adanya suatu tindak pidana kepada polisi.

8.   Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).  

9.   Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.

SUBYEK TINDAK PIDANA
Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan (M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam hukum positif Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakukan tindak pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7 atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi, UU Darurat No. 7 tahun 1955 Pasal 15 dimana dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana.





ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA
Undang-undang Hukum Acara Pidana disusun dengan didasarkan pada falsafah dan pandangan hidup bangsa dan dasar negara, dimana penghormatan atas hukum menjadi sandaran dalam upaya perlindungan terhadap setiap warga negaranya. Sejalan dengan perkembangan pandangan bangsa ini terhadap hak asasi manusia maka materi pasal dan ayat harus mencerminkan adanya perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini tergambar dari sejumlah hak asasi manusia yang terdapat dalam KUHAP yang pada dasarnya juga diatur dalam dua aturan perundang-undangan lainnya yaitu UU No. 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Disamping itu asas-asas ini juga merupakan panduan penting dalam pelaksanaan berjalannya sistem peradilan pidana. Karenanya dengan asas-asas ini mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap berjalannya sistem ini dapat berjalan. Asas-asas ini pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu:
  1. Asas-asas Umum dalam sistem peradilan pidana.
  2. Asas-asas khusus yang berkaitan dengan penyelenggaraan Peradilan.
  3. Asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan terhadap tersangka-terdakwa



Asas-asas umum
  1. Asas legalitas
  2. Peradilan Pidana oleh Ahli Hukum
  3. Jaksa sebagai Penuntut Umum
  4. Oportunitas dalam Penuntutan
  5. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;
  6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
  7. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan Lisan
  8. Peradilan yang terbuka untuk umum;
  Asas-asas khusus
  1. pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan ) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
  2. hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
  3. kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
 Asas-Asas Perlindungan tersangka-terdakwa
  1. Praduga tidak bersalah;
  2. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti kerugian dan rehabilitasi);
  3. Hak untuk mendapat bantuan hukum;
  4. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan.

5.     HUBUNGAN SEBAB AKIBAT

Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP.

Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
1.      Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von Buri
Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.

2.      Teori-teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganut-penganutnya tidak banyak antara lain : Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung); Binding. Teorinya disebut “Ubergewichtstheorie” yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.

3.      Teori-teori generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat : Suatu jotosan yang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa.

Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat dengan nyata teori mana yang dipakai. Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk en rechtsreeks).

a.   Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (147 hal 115) 
     sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa (pengendara mobil).

b.  Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933
      Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya. Anak tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut syarat (voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang langsung.

c.   Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari 1937.
     Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara perbuatan terdakwa dan terjadinya kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang sebagai suatu syarat dan bukan sebab. 

d.   Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
    Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-barang angkutan dalam kapal in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan pada waktu kapal akan berangkat. Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat” dengan “kecelakaan itu”.

Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.



2 komentar: