ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
Asas Legalitas (nullum delictum
nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam
suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam catatan sejarah asas ini
dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang
(paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
- Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
- Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
- Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).
Adagium ini menganjurkan supaya :
- Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
- Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
- Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti
pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
- Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
- Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
- Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci
asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
- Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan (formil).
- Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).
- Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis).
- Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa).
- Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
- Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
- Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.
8. PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA
Pembuktian
adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan (M. Yahya Harahap SH).
Ruang Lingkup Pembuktian
1. Sistem pembuktian
2. Jenis alat bukti
3. Cara menggunakan dan nilai
4.
Kekuatan pembuktian
masing-masing alat bukti
Sistem Pembuktian
1.
Sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim belaka atau ”conviction intime”
2.
Sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif atau ”wettelijk stesel”
3.
Sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis atau ”laconvictioan
raisonel”
4.
Sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif atau ”negatif wettelijk stesel”
Teori/Sistem
Pembuktian
1.
Sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction intime)
Terbukti
tidaknya kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan atas penilaian keyakinan
atau perasaan hakim. Dasar hakim membentuk keyakinannya tidak perlu didasarkan
pada alat bukti yang ada.
2.
Sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijk bewijs theori)
Apabila
suatu perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti sah
menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan terdakwa terbukti bersalah
tanpa mempertimbangkan keyakinannya sendiri
3.
Sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction rasionnee)
Putusan
hakim didasarkan atas keyakinannya tetapi harus disertai pertimbangan dan
alasan yang jelas dan logis. Di sini pertimbangan hakim dibatasi oleh reasoning
yang harus reasonable.
4.
Sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijs theorie)
-
Sistem pembuktian ini
berada diantara sistem positif wettelijk dan sistem conviction
resionnee
-
Salah tidaknya seorang
terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Jadi
sistem pembuktian yang dianut peradilan pidana Indonesia adalah sistem
pembuktian ”negatief wettelijk stelsel” atau sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang harus:
-
Kesalahan terbukti dengan
sekurang-kurangnya ”dua alat bukti yang sah”
-
Dengan alat bukti minimum
yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana
dan terdakwalah pelakunya.
Sistem
Pembuktian Yang Dianut Indonesia
-
Pasal 183 KUHAP ”Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Prinsip
Minimum Pembuktian
Asas
minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi
untuk membutikan kesalahan terdakwa yaitu :
-
Dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup).
-
Kecuali dalam pemeriksaan
perkara dengan cara pemeriksaan ”cepat”, dengan satu alat bukti sah saja sudah
cupuk mendukung keyakinan hakim.
Prinsip
Pembuktian
1.
Hal yang secara umum sudah diketahui
tidak perlu dibuktikan (notoire feiten)
2.
Satu saksi bukan saksi (unus
testis nullus testis).
3.
Pengakuan (keterangan)
terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah.
BUKTI, BARANG BUKTI DAN ALAT BUKTI
BUKTI
KUHAP
tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran
suatu hal atau peristiwa. Tindakan penyidik membuat BAP Saksi, BAP Tersangka,
BAP Ahli atau memperoleh Laporan Ahli, menyita surat dan barang bukti adalah
dalam rangka mengumpulkan bukti.
Dengan
perkataan lain bahwa :
1.
Berita Acara Pemeriksaan
Saksi;
2.
Berita Acara Pemeriksaan
Tersangka;
3.
Berita Acara Pemeriksaan
Ahli/Laporan Ahli;
4.
Surat dan Barang bukti yang
disita, kesemuanya mempunyai nilai sebagai BUKTI.
BARANG
BUKTI
Barang
bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun
yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka
benda-benda ini harus dikenakan penyitaan terlebih dahulu oleh penyidik dengan
surat izin ketua pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya benda yang
dikenakan penyitaan berada. Kecuali penyitaan yang dilakukan oleh penyidik pada
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu ada izin ketua pengadilan negeri
setempat.
Adapun
benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
1.
benda atau tagihan
tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari
tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana,
2.
benda yang telah
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya.
3.
benda yang dipergunakan
menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
4.
benda yang khusus dibuat
atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
5.
benda lain yang mempunyai
hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
ALAT
BUKTI
KUHAP
juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti. Akan tetapi pada
Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Rumusan
pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa :
1.
alat bukti diperoleh dari
hasil pemeriksaan di sidang pengadilan.
2.
hakim mengambil putusan
berdasarkan keyakinannya.
3.
keyakinan hakim diperoleh
dari minimal dua alat bukti yang sah.
Adapun
alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 KUHAP ialah :
1.
keterangan saksi
2.
keterangan ahli
3.
surat
4.
petunjuk
5.
keterangan terdakwa
KETERANGAN
SAKSI
Keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat
sendiri, alami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.
Syarat
Sah Keterangan Saksi
1.
Saksi harus mengucapkan
sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan)
2.
Keterangan saksi harus
mengenaiperistiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri dan yang
dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuannya (testimonium de
auditu = terangan yang diperoleh dari orang lain tidak mempunyai nilai
pembuktian).
3.
Keterangan saksi harus
diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada pasal 162 KUHAP).
4.
Keterangan seorang saksi
saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis).
5.
Pemeriksaan menurut cara
yang ditentukan undang-undang
Nilai
Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
Yang
memenuhi syarat sah keterangan saksi (5 syarat) :
1.
Diterima sebagai alat bukti
sah
2.
Mempunyai nilai kekuatan
pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak mengikat)
3.
Tergantung penilaian hakim
(hakim bebas namun bertanggung jawab menilai kekuatan pembuktian keterangan
saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki).
4.
Sebagai alat bukti yang
berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan
saksi a de charge atau alat bukti lain.
KETERANGAN
AHLI
Keterangan
yang diberikan oleh orang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan membuat
terang suatu perkara pidana untuk kepentingan pemeriksaan.
Syarat
Sah Keterangan Ahli
1.
Keterangan diberikan oleh
seorang ahli
2.
Memiliki keahlian khusus
dalam bidang tertentu
3.
Menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya
4.
Diberikan dibawah sumpah/
janji:
-
Baik karena permintaan
penyidik dalam bentuk laporan
-
Atau permintaan hakim,
dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan
Jenis
Keterangan Ahli
1.
Keterangan ahli dalam
bentuk pendapat/ laporan atas permintaan penyidik)
2.
Keterangan ahli yang
diberikan secara lisan di sidang pengadilan (atas permintaan hakim)
3.
Keterangan ahli dalam
bentuk laporan atas permintaan penyidik/ penuntut hukum
DUA
KETERANGAN AHLI = SATU ALAT BUKTI.
DUA
KETARANGAN AHLI = DUA ALAT BUKTI.
Contoh
merupakan satu alat bukti :
-
Keterangan ahli A : Sebab
matinya korban karena rusaknya jaringan otak
-
Ketarangan ahli B : luka
pada kepala korban menembus batok akibat peluru keliber 45
Contoh
merupakan dua alat bukti :
-
Keterangan Ahli A : Sebab
kematian korban karena mati lemas akibat tersumbatnya saluran pernafasan.
-
Keterangan Ahli B : Sidik
jari pada leher korban identik dengan sidik jari terdakwa.
Nilai
Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli
1.
Mempunyai nilai kekuatan
pembuktian bebas
2.
Tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan
3.
Penilaian sepenuhnya
terserah pada hakim
SURAT
-
Surat Keterangan dari seorang
ahli
-
Memuat pendapat berdasarkan
keahliannya,
-
Mengenai suatu hal atau
suatu keadaan
-
Yang diminta secara resmi
dari padanya
-
Dibuat atas sumpah jabatan,
atau dikuatkan dengan sumpah
Contoh
: Visum et Repertum
Ada
2 bentuk surat :
1.
Surat Authentik/ Surat
Resmi
-
Dibuat oleh pejabat yang
berwenang, atau oleh seorang ahli atau dibuat menurut ketentuan
perundang-undangan
-
Dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah
2.
Surat Biasa/Surat Di Bawah
Tangan
-
Hanya berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Contoh
: Izin Bangunan, Akte Kelahiran, Paspor, Kartu Tanda Penduduk, Ijazah, Surat
Izin Mengemudi, dll.
Nilai
Kekuatan Pembuktian Surat
1.
Mempunyai nilai kekuatan
pembuktian bebas
2.
Tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain halnya dalam acara
perdata)
3.
Penilaian sepenuhnya
terserah keyakinan hakim :
Dalam
Acara Perdata, akta otentik menjadi bukti dari kebenaran seluruh isinya, sampai
dibuktikan kepalsuannya. Hakim harus mengakui kekuatan akta otentik sebagai
bukti diantara para pihak, sekalipun ia sendiri tidak yakin akan kebenaran
hasilnya.
Sifat
Dualisme Laporan Ahli, Keterangan
ahli dalam bentuk pendapat/ laporan :
a)
Sebagai alat bukti
keterangan ahli :
Penjelasan
Pasal 186:
Keterangan
ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyelidik atau
penuntu umum yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.
b)
Sebagai alat bukti surat
Pasal
187 c:
Surat keterangan dari
seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal
atau suatu hal atau suatu keadaan yang diminga secara resmi daripadanya.
KETERANGAN TERDAKWA
a.
Keterangan terdakwa sendiri
:
-
Pengakuan bukan pendapat
-
Penyangkalan
b. Tentang perbuatan yang
ia sendiri
-
Lakukan, atau
-
Ketahui atau
-
Alami
c.
Dinyatakan di sidang :
-
Keterangan yang terdakwa
berikan di luar sidang pengadilan dapat digunakan membantu menemukan bukti di
sidang.
Keterangan
Terdakwa Diluar Sidang
Dapat
digunakan membantu menemukan bukti disidang asalkan:
-
Didukung oleh suatu alat
bukti yang sah
-
Mengenai hal yang
didakwakan kepadanya
Contoh
: Berita Acara Tersangka oleh penyidik.
Nilai
Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa
1.
Mempunyai nilai kekuatan
pembuktian bebas hakim tidak terikat dengan keterangan yang bersifat pengakuan
utuh/ murni sekalipun pengakuan harus memenuhi batas minimum pembuktian
2.
Harus memenuhi asas
keyakinan hakim
3.
Dalam Acara Perdata suatu
pengakuan yang bulat dan murni melekat penilaian kekuatan pembuktian yang
sempurna, mengikat dan menentukan.
PETUNJUK
1.
Perbuatan, atau kejadian
atau keadaan
2. Karena persesuainnya satu dengan yang lain
3. Persesuainnya dengan tidak pidana itu sendiri
4. Menunjukkan telah terjadi suatu tindak
pidana, dan
5.
Siapa pelakunya
Sumber
Perolehan Petunjuk
Petunjuk
hanya diperoleh dari :
-
Keterangan saksi
-
Surat
-
Keterangan terdakwa
-
Keterangan ahli
-
Petunjuk bukan alat bukti
yang berdiri sendiri.
Bukti
Petunjuk Sebagai Upaya Terakhir
Petunjuk
sebagai alat bukti yang sah, pada urutan keempat dari lima jenis alat bukti :
-
Petunjuk dapat diperoleh
dari keterangan terdakwa (yang diperiksa terakhir)
-
Jadi petunjuk sebagai alat
bukti terakhir
-
Petunjuk baru digunakan
kalau batas minimum pembuktian belum terpenuhi
- Untuk menggunakan alat bukti petunjuk, hakim
harus dengan arif dan bijaksana mempertimbangkannya.
-
Petunjuk diperoleh melalui
pemeriksaan yang : Cermat,
Seksama, Berdasarkan hati nurani hakim.
9. TINDAK PIDANA (DELIK)
Menurut Prof.
Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
2. Larangan ditujukan kepada perbuatan
(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
3. Antara larangan dan ancaman pidana ada
hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena
kejadian yang ditimbulkan olehnya.
Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Simons,
unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :
-
Perbuatan
manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
-
Diancam dengan
pidana (statbaar gesteld)
- Melawan hukum (onrechtmatig)
-
Dilakukan
dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
-
Oleh orang yang
mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga
menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana,yakni
Unsur Obyektif :
- Perbuatan orang
- Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
- Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu
seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur
Subyektif :
- Orang yang mampu bertanggung jawab
- Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan.
Kesalahan ini
dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana
perbuatan itu dilakukan.
Jenis-Jenis Tindak Pidana
1. Kejahatan
dan Pelanggaran
KUHP tidak
memberikan kriteria tentang dua hal tersebut, hanya membaginya dalam buku II
dan buku III, namun ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium)
untuk membedakan kedua jenis delik itu.
Ada
dua pendapat :
a. Ada
yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
1. Rechtdelicten
Ialah yang
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan,
pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).
2. Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala
quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan
secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru
disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi
sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan.
Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan
dengan rasa keadilan. Oleh karena
perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.
b. Ada
yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang
dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada
“kejahatan”.
2. Delik formil dan delik materiil (delik
dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
a. Delik formil itu adalah delik yang
perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah
selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.
Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan
kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan
rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah
palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362
KUHP).
b. Delik materiil adalah delik yang
perumusannya dititik beratkan kepada akibat yang tidak dikehendaki
(dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu
telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP).
Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik
commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
a. Delik
commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,
penggelapan, penipuan.
b. Delik
ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang
diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522
KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).
c. Delik commisionis per ommisionen
commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan
tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh
anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga
wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan
wissel (pasal 194 KUHP).
4. Delik
dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
a. Delik
dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245,
263, 310, 338 KUHP
b. Delik
culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,
197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berangkai
(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
a.
Delik tunggal :
delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b. Delik berangkai : delik yang baru
merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481
(penadahan sebagai kebiasaan)
6. Delik yang berlangsung terus dan delik
selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang
berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten
en niet klacht delicten)
Delik aduan :
delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang
terkena (gelaedeerde
partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal
284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2
KUHP jo. ayat 2). Delik aduan
dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. :
pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut
berdasarkan pengaduan.
b. Delik aduan yang relative ialah mis. :
pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa
antara si pembuat dan orang yang terkena.
Delik laporan:
delik yang penuntutannya dapat dilakukan tanpa ada pengaduan dari pihak yang
terkena, cukup dengan adanya laporan yaitu pemberitahuan tentang adanya suatu
tindak pidana kepada polisi.
8. Delik sederhana dan delik yang ada
pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde /
geprevisilierde delicten)
Delik yang ada
pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya
orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal
363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam
keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana;
misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak
pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang
disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun
1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.
SUBYEK TINDAK PIDANA
Bahwasanya yang
menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan
(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya
dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam
hukum positif Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi”
(S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan
yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakukan tindak pidana yang disebut
dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal
25 ayat 7 atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana ekonomi, UU Darurat No. 7 tahun 1955 Pasal 15 dimana dalam ayat 1
dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum
pidana.
ASAS-ASAS
HUKUM ACARA PIDANA
Undang-undang Hukum Acara Pidana
disusun dengan didasarkan pada falsafah dan pandangan hidup bangsa dan dasar
negara, dimana penghormatan atas hukum menjadi sandaran dalam upaya
perlindungan terhadap setiap warga negaranya. Sejalan dengan perkembangan
pandangan bangsa ini terhadap hak asasi manusia maka materi pasal dan ayat
harus mencerminkan adanya perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia. Hal ini tergambar dari sejumlah hak asasi manusia yang terdapat
dalam KUHAP yang pada dasarnya juga diatur dalam dua aturan perundang-undangan
lainnya yaitu UU No. 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dan Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Disamping itu asas-asas ini juga merupakan panduan penting dalam pelaksanaan berjalannya sistem peradilan pidana. Karenanya dengan asas-asas ini mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap berjalannya sistem ini dapat berjalan. Asas-asas ini pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu:
Disamping itu asas-asas ini juga merupakan panduan penting dalam pelaksanaan berjalannya sistem peradilan pidana. Karenanya dengan asas-asas ini mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap berjalannya sistem ini dapat berjalan. Asas-asas ini pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu:
- Asas-asas Umum dalam sistem peradilan pidana.
- Asas-asas khusus yang berkaitan dengan penyelenggaraan Peradilan.
- Asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan terhadap tersangka-terdakwa
Asas-asas umum
- Asas legalitas
- Peradilan Pidana oleh Ahli Hukum
- Jaksa sebagai Penuntut Umum
- Oportunitas dalam Penuntutan
- Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;
- Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
- Pemeriksaan Hakim yang langsung dan Lisan
- Peradilan yang terbuka untuk umum;
Asas-asas khusus
- pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan ) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
- hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
- kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
Asas-Asas Perlindungan
tersangka-terdakwa
- Praduga tidak bersalah;
- Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti kerugian dan rehabilitasi);
- Hak untuk mendapat bantuan hukum;
- Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan.
5. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam
delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang
dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequafili ceerde delicten)
misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3,
334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP.
Teori-teori
Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
1.
Teori
Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori
condition sine qua non dari von Buri
Teori ini mengatakan
: tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau
satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif
maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai
nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat
kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya.
Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin
weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia
kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab
dari matinya A.
2.
Teori-teori
Individualisasi
Teori-teori ini
memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa
kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab
yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya
hanya merupakan syarat belaka. Penganut-penganutnya
tidak banyak antara lain : Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat
yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung); Binding.
Teorinya disebut “Ubergewichtstheorie” yang disebut “sebab” adalah
syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in ihrem Ubergerwicht-bobot
yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah
faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan
faktor positif itu.
3. Teori-teori generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante
factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara serentetan
syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang
layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate
untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat
sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori adequate,
Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab
akibat yang adequat : Suatu jotosan yang mengenai hidung, biasanya dapat
mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu
menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal,
yang tidak biasa.
Dalam
yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu
itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat dengan nyata teori
mana yang dipakai. Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan
tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan pengadilan dapat ditunjukkan
adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang
langsung dan seketika (onmiddellijk en rechtsreeks).
a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23
Juli 1937 (147 hal 115)
sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas
rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda
motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan
segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat
dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa (pengendara mobil).
b. Putusan
Politierechter Bandung 5 April 1933
Seorang ayah
yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya. Anak
tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut syarat
(voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak boleh disebut sebab dari
tabrakan itu, oleh karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada
hubungan kausal yang langsung.
c. Putusan Politierechter Palembang 8
Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari 1937.
Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono
dari tempat kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi tersebut terus menyopir
tidak dianggap sebagai sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara
perbuatan terdakwa dan terjadinya kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang
langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir,
hanya dipandang sebagai suatu syarat dan bukan sebab.
d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7
Mei 1951, dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang
disebabkan oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang
meninggal dunia, oleh karena terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan
barang-barang angkutan dalam kapal in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan
dari berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan pada waktu kapal akan
berangkat. Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa
mempunyai “hubungan erat” dengan “kecelakaan itu”.
Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini
timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per
ommisionem commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini
sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik
omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil,
sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas.
Kesimpulan
mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan
lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak
berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per
omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat”
itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”,
yang diharapkan untuk diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal
“tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat
menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate,
mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya
akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
nice posting
BalasHapusTerima kasih...
BalasHapus