HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Kamis, 25 Oktober 2012

SEJARAH SUKU BATAK



SEJARAH SUKU BATAK
oleh : MTLH.Manullang.SH

Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.

Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus.

Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan:
  • Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. •Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).

  • Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya.

Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.

Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu : GURU TETEABULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga-marga Batak.

Sumber:
disarikan dari buku "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" cet. ke-2 (1997) oleh Drs Richard Sinaga, Penerbit Dian Utama, Jakarta.
                                                                                                                                                                                              


SIAPAKAH ORANG BATAK ?

Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb:

1. BATAK TOBA (Tapanuli)
Mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah menggunakan Bahasa
Batak Toba.

2. BATAK SIMALUNGUN :
Mendiami Kabupaten Simalungun dan menggunakan Bahasa Batak Simalungun.

3. BATAK KARO :
Mendiami Kabupaten Karo dan menggunakan Bahasa Batak Karo.

4.  BATAK MANDAILING :
Mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan dan menggunakan Bahasa Batak Mandailing.

5.  BATAK PAKPAK :
Mendiami Kabupaten Dairi dan menggunakan Bahasa Pakpak.


Suku Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak. Namun demikian, mereka mempunyai marga-marga seperti halnya orang Batak.


DALIHAN NA TOLU, TOLU SAHUNDULAN
(The Philosophy of Life)

Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun).
Dalihan dapat diterjemahkan sebagai "tungku" dan "sahundulan" sebagai "posisi duduk".
Keduanya mengandung arti yang sama, 3 POSISI PENTING dalam kekerabatan orang Batak, yaitu:

1.      HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di atas", yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut SOMBA SOMBA MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
2.      DONGAN TUBU atau SENINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya "sejajar", yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut MANAT MARDONGAN TUBU, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
3.      BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut ELEK MARBORU artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.



Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU.
Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.

Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat.
Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya.Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.

MARGA dan TAROMBO :

MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal).
Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki.
Seorang ayah merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya.
Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.

Menurut buku "Leluhur Marga Marga Batak", jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.

TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah.
Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga.
Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo.
Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling "mardongan sabutuha" (semarga) dengan panggilan "ampara" atau "marhula-hula" dengan panggilan "lae/tulang".
Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil "Namboru" (adik perempuan ayah/bibi), "Amangboru/Makela",(suami dari adik ayah/Om), "Bapatua/Amanganggi/Amanguda" (abang/adik ayah), "Ito/boto" (kakak/adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.


ULOS BATAK :

Secara harafiah, ulos berarti selimut, pemberi kehangatan badaniah dari terpaan udara dingin.
Menurut pemikiran leluhur Batak, ada 3 (tiga) sumber kehangatan : (1) matahari, (2) api, dan (3) ulos.

Dari ketiga sumber kehangatan tersebut, ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak kita peroleh malam hari, dan api dapat menjadi bencana jika lalai menggunakannya.
Dalam pengertian adat Batak "mangulosi" (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.
Biasanya pemberi ulos adalah orangtua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru.

Ulos terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dalam upacara adat yang bagaimana.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak" bisa diartikan penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.
Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat diiringi ucapan semoga dalam menjalankan tugas tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.
Ulos juga digunakan sebagai busana, misalnya untuk busana pengantin yang menggambarkan kekerabatan Dalihan Natolu, terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung).



HORAS !

Adalah salam khas orang Batak yang berarti selamat, salam sejahtera, yang kerap diucapkan dalam kehidupan sehari-hari bila 2 orang atau lebih bertemu.
Padanan kata horas adalah Mejuah-juah (Batak Karo, Batak Pakpak), Yahobu dari daerah Nias. Sedangkan Ahoiii! Adalah salam khas daerah pesisir Melayu di Sumatera Utara.
Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak.

LEGENDA SI RAJA BATAK :

Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam bernama Manuk Manuk Hulambujati (MMH) berbadan sebesar kupu-kupu besar, namun telurnya sebesar periuk tanah. MMH tidak mengerti bagaimana dia mengerami 3 butir telurnya yang demikian besar, sehingga ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) bagaimana caranya agar ketiga telur tsb menetas.

Mulajadi Na Bolon berkata, "Eramilah seperti biasa, telur itu akan menetas!" Dan ketika menetas, MMH sangat terkejut karena ia tidak mengenal ketiga makhluk yang keluar dari telur tsb. Kembali ia bertanya kepada Mulajadi Nabolon dan atas perintah Mulajadi Na Bolon, MMH memberi nama ketiga makhluk (manusia) tsb. Yang pertama lahir diberi nama TUAN BATARA GURU, yang kedua OMPU TUAN SORIPADA, dan yang ketiga OMPU TUAN MANGALABULAN, ketiganya adalah lelaki.

Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. MMH kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik : SIBORU PAREME untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki laki diberi nama TUAN SORI MUHAMMAD, dan DATU TANTAN DEBATA GURU MULIA dan 2 anak perempuan kembar bernama SIBORU SORBAJATI dan SIBORU DEAK PARUJAR. Anak kedua MMH, Tuan Soripada diberi istri bernama SIBORU PAROROT yang melahirkan anak laki-laki bernama TUAN SORIMANGARAJA sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama SIBORU PANUTURI yang melahirkan TUAN DIPAMPAT TINGGI SABULAN.

Dari pasangan Ompu Tuan Soripada-Siboru Parorot, lahir anak ke-5 namun karena wujudnya seperti kadal, Ompu Tuan Soripada menghadap Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta). "Tidak apa apa, berilah nama SIRAJA ENDA ENDA," kata Mulajadi Na Bolon. Setelah anak-anak mereka dewasa, Ompu Tuan Soripada mendatangi abangnya, Tuan Batara Guru menanyakan bagaimana agar anak-anak mereka dikawinkan.
"Kawin dengan siapa? Anak perempuan saya mau dikawinkan kepada laki-laki mana?" tanya Tuan Batara Guru.
"Bagaimana kalau putri abang SIBORU SORBAJATI dikawinkan dengan anak saya Siraja Enda Enda. Mas kawin apapu akan kami penuhi, tetapi syaratnya putri abang yang mendatangi putra saya," kata Tuan Soripada agak kuatir, karena putranya berwujud kadal.

Akhirnya mereka sepakat. Pada waktu yang ditentukan Siboru Sorbajati mendatangai rumah Siraja Enda Enda dan sebelum masuk, dari luar ia bertanya apakah benar mereka dijodohkan. Siraja Enda Enda mengatakan benar, dan ia sangat gembira atas kedatangan calon istrinya. Dipersilakannya Siboru Sorbajati naik ke rumah. Namun betapa terperanjatnya Siboru Sorbajati karena lelaki calon suaminya itu ternyata berwujud kadal.
Dengan perasaan kecewa ia pulang mengadu kepada abangnya Datu Tantan Debata.
"Lebih baik saya mati daripada kawin dengan kadal," katanya terisak-isak.
"Jangan begitu adikku," kata Datu Tantan Debata. "Kami semua telah menyetujui bahwa itulah calon suamimu. Mas kawin yang sudah diterima ayah akan kita kembalikan 2 kali lipat jika kau menolak jadi istri Siraja Enda Enda."

Siboru Sorbajati tetap menolak. Namun karena terus-menerus dibujuk, akhirnya hatinya luluh tetapi kepada ayahnya ia minta agar menggelar "gondang" karena ia ingin "manortor" (menari) semalam suntuk.
Permintaan itu dipenuhi Tuan Batara Guru. Maka sepanjang malam, Siboru Sorbajati manortor di hadapan keluarganya.
Menjelang matahari terbit, tiba-tiba tariannya (tortor) mulai aneh, tiba-tiba ia melompat ke "para-para" dan dari sana ia melompat ke "bonggor" kemudian ke halaman dan yang mengejutkan tubuhnya mendadak tertancap ke dalam tanah dan hilang terkubur!

Keluarga Ompu Tuan Soripada amat terkejut mendengar calon menantunya hilang terkubur dan menuntut agar Keluarga Tuan Batara Guru memberikan putri ke-2 nya, Siboru Deak Parujar untuk Siraja Enda Enda.
Sama seperti Siboru Sorbajati, ia menolak keras. "Sorry ya, apa lagi saya," katanya.
Namun karena didesak terus, ia akhirnya mengalah tetapi syaratnya orang tuanya harus menggelar "gondang" semalam suntuk karena ia ingin "manortor" juga. Sama dengan kakaknya, menjelang matahari terbit tortornya mulai aneh dan mendadak ia melompat ke halaman dan menghilang ke arah laut di benua tengah (Banua Tonga).

Di tengah laut ia digigit lumba-lumba dan binatang laut lainnya dan ketika burung layang-layang lewat, ia minta bantuan diberikan tanah untuk tempat berpijak.
Sayangnya, tanah yang dibawa burung layang-layang hancur karena digoncang NAGA PADOHA.
Siboru Deak Parujar menemui Naga Padoha agar tidak menggoncang Banua Tonga.
"OK," katanya. "Sebenarnya aku tidak sengaja, kakiku rematik. Tolonglah sembuhkan."
Siboru Deak Parujar berhasil menyembuhkan dan kepada Mulajadi Na Bolon dia meminta alat pemasung untuk memasung Naga Padoha agar tidak mengganggu. Naga Padoha berhasil dipasung hingga ditimbun dengan tanah dan terbenam ke benua tengah (Banua Toru). Bila terjadi gempa, itu pertanda Naga Padoha sedang meronta di bawah sana.

Alkisah, Mulajadi Na Bolon menyuruh Siboru Deak Parujar kembali ke Benua Atas.
Karena lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus RAJA ODAP ODAP untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di SIANJUR MULA MULA di kaki gunung Pusuk Buhit.
Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar : RAJA IHAT MANISIA (laki-laki) dan BORU ITAM MANISIA (perempuan).

Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki laki : RAJA MIOK MIOK, PATUNDAL NA BEGU dan AJI LAPAS LAPAS. Raja Miok Miok tinggal di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.

Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama ENGBANUA , dan 3 cucu dari Engbanua yaitu : RAJA UJUNG, RAJA BONANG BONANG dan RAJA JAU. Konon Raja Ujung menjadi leluhur orang Aceh dan Raja Jau menjadi leluhur orang Nias. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama RAJA TANTAN DEBATA, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut SI RAJA BATAK, YANG MENJADI LELUHUR ORANG BATAK DAN BERDIAM DI SIANJUR MULA MULA DI KAKI GUNUNG PUSUK BUHIT .

Jumat, 19 Oktober 2012

Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim



                 Hak Ingkar (Wraking) Terhadap Hakim
                          (Lanjutan : UPAYA PERDAMAIAN)

Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
Sesungguhnya tanpa harus menunggu permohonan hak ingkar dari pihak yang berperkara maupun dari ketua pengadilan, hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipuntelah bercerai. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak.
Apabila diketahui hakim yang akan menyidangkan terkait hubungan-hubungan sebagai mana tersebut di atas dengan pihak-pihak yang berperkara dan tidak mengundurkan diri, maka Ketua Pengadilan Agama harus memerintahkan hakim tersebut untuk mundur. Apabila hakim tersebut adalah ketua pengadilan sendiri, maka perintah pengunduran dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding, apabila hakim yang seharusnya mengundurkan diri masih tetap melakukan pemeriksaan dan sampai pada putusan, maka perkara harus segera diperiksa dan diputus ulang dengan susunan majelis yang berbeda, dan putusan yang telah terlanjur diucapkan menjadi batal demi hukum.

F. 3. Perubahan Gugatan
Perubahan bias berarti menambah, mengurangi bahkan bias jadi mencabut gugatan. Hal ini bias dilakukan penggugat, dengan ketentuan harus diajukan pada sidang pertama yang dihadiri pihak tergugat dalam persidangan, namun demikian harus ditawarkan kepada pihak tergugat untuk melindungi haknya, dikecualikan dalam hal pencabutan, yakni gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa, tetapi jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberikan jawaban, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat.
Perubahan yang bersifat menyempurnakan, menegaskan atau menjelaskan surat gugatan adalah diperbolehkan, demikian juga dalam hal mengurangi tuntutan, menurut putusan kasasi Nomor 209 K/Sip/1970 tanggal 6 Maret 1971, bahwa perubahan gugatan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum perdata, dengan catatan tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil, walaupun tidak ada tuntutan subsider.

Beberapa kemungkinan melakukan perubahan dalam suatu gugatan adalah meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Perubahan Total, gugatan diubah baik mengenai positanya maupun petitumnya, hal ini tidak dibenarkan karena mengakibatkan tergugat merasa dirugikan haknya untuk membela diri.
2) Perbaikan, maksudnya adalah melakukan perbaikan surat gugatan yang menyangkut hal-hal yang tidak prinsip hanya terbatas mengenai format, titik, koma atau kata.
3) Pengurangan, mengurangipada bagian-bagian tertentu dalam posita ataupun petitumnya, hal ini diperbolehkan, sebagai contoh semula penggugat menuntut nafkah madhiyah dalam komulasi perkara perceraian, namun hal tersebut dihilangkan karena tidak inginberbelit-belit.
4) Penambahan, melakukan penambahan dalam positaatau petitumnya, hal ini sering terjadi di mana dalam positanya telah diungkap panjang lebar, namun pada petitumnya tidak terdapat tuntutan.

Perubahan gugatan bila dilakukan secara tertulis jugabisa dengan lisan di muka persidangan majelis hakim, perubahan bisa dilakukan sepanjang tergugat belum memberikan jawaban, apabila sudah memberikan jawabannya, maka tergugat berkesempatan untuk setuju atau tidak setuju. Perubahan tidak dibenarkan dilakukan setelah pembuktian, dimana tinggal menunggu putusan majelis hakim.
Apabila penggugat bersikukuh mempertahankan gugatanatau permohonan yang diajukan dan tidak melakukan perubahan dalam surat gugatannya serta tidak mau berdamai, maka sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.

F. 4. Jawaban Tergugat
Jawaban tergugat bisa dilakukan secara tertulis dan bisa dilakukan secara lisan. Di dalam mengajukan jawaban, tergugat bisa hadir secara pribadi atau mewakilkan kepada kuasa hukumnya. Ketidakhadiran tergugat secara pribadi atau wakilnya dalam sidang, walaupun mengirimkan surat jawaban, maka dalam hal seperti ini hakim harus mengenyampingkannya, kecuali dalam hal jawaban berupa eksepsi atau tangkisan bahwa pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara itu.

Pada tahap jawaban tergugat, ada beberapa kemungkinan yang bias dilakukan tergugat, yakni :
a. Eksepsi
Adalah sanggahan atau perlawanan yang dilakukan pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak mengenai pokok perkara dengan maksud agar hakim menetapkan gugatan dinyatakan tidak diterima atau ditolak.
Penggugat yang mengajukan eksepsi disebut “excipien”. Ada 2 (dua) bentuk eksepsi, yakni dalam bentuk “prosesual eksepsi” (eksepsi formil) yakni eksepsi yang berdasar hukum formil dan dalam bentuk “materiil eksepsi” yaitu eksepsi dalam bentuk materiil.

b. Mengakui Sepenuhnya
Apabila seluruh dalil-dalil gugatan yang diajukan penggugat diakui sepenuhnya dalam tahap jawaban tergugat di persidangan, maka perkara dianggap telah terbukti dan gugatan dapat dikabulkanseluruhnya, dikecualikan dalam hal gugatan perceraian.
Khusus perkara perceraian, meskipun mungkin tergugat telah mengakui sepenuhnya mengenai alasan-alasan cerai yang diajukan penggugat, namun hakim tidak serta merta menerimanya, hakim harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai tersebut dengan alat bukti yang memadai. Hal ini mengingat bahwa :
1) Perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah. Karena meskipun perceraian itu telah mencapai suatu kondisi hukum yang halal karena telah mempunyai alasan-alasan yang cukup namun tetap dibenci oleh Allah SWT. Apalagi perceraian yang makruh lebih-lebih yang haram.
2) Undang-undang Perkawinan mempunyai prinsip mempersulit perceraian, karena begitu beratnya akibat perceraian yang terjadi baik bagi bekas suami maupun bekas isteri dan terutama bagi anak-anak mereka.
3) Untuk menghindari adanya kebohongan-kebohongan besar dalam hal perceraian tersebut.

c. Mengingkari Sepenuhnya
Jika tergugat dalam jawabannya mengingkari sepenuhnya dalam alasan-alasan yang diajukan penggugat dalam surat gugatannya, maka pemeriksaan dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai dapat dibuktikan sebaliknya.

d. Mengakui dengan Klausula
Jika alasan-alasan atau sebagian alasan gugatan diakui tergugat, maka pengakuan itu harus seutuhnya diterima dan hakim tidak boleh memisah-misahkan, dan pemeriksaan dilanjutkan sebagaimana biasa.

e. Jawaban Berbelit-belit (Referte)
Jika tergugat memberikan jawaban berbelit-belit atau menyerahkan sepenuhnya (tidak mengingkari juga tidak mengakui) kebijakan majelis hakim, maka pemeriksaan berlanjut sebagaimana biasa.

f. Rekonvensi
Diantara hak tergugat dalam berperkara di muka sidang adalah hak mengajukan gugat balik (rekonvensi) terhadap penggugat. Dalam hal demikian kedudukan tergugat dalam konvensi berubah menjadi penggugat dalam rekonvensi, sebaliknya penggugat dalam konvensi juga berubah menjadi tergugat dalam rekonvensi.


F. 5. Replik Penggugat
Tahapan berikutnya setelah tergugat menyampaikan jawabannya adalah menjadi hak pada pihak penggugat untuk memberikan tanggapan (replik) atas jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya. Kemungkinan dalam tahap ini penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau kemungkinan juga penggugat mengubah sikap dengan membenarkan jawaban atau membantah jawaban tergugat.

F. 6. Duplik Tergugat
Apabila penggugat telah menyampaikan repliknya, dan tergugat dalam tahap ini diberikan kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Isinya membantah jawaban sekaligus replik penggugat. Yang perlu diketahui bahwa acara jawab menjawab (replik-duplik) dapat diulangi sampai ada titik temu atau titik perselisihan antara penggugat dan tergugat, sebagai masalah pokok yang akan dibawa ke tahap pembuktian.

F. 7. Pembuktian
Pada tahap pembuktian, kesempatan untuk mengajukan alat-alat bukti diberikan kepada pihak penggugat maupun tergugat secara berimbang, biasanya dalam praktik perkara perceraian beban pembuktian lebih ditekankan ke[ada pihak penggugat / pemohon dimaksudkan untuk menguatkan gugatannya atau permohonannya.

F. 8. Kesimpulan (Konklusi) Para Pihak
Pada tahap kesimpulan (konklusi), baik pihak penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat sebagai kata akhir dalam proses pemeriksaan, kesimpulan tersebut sesuai dengan pandangan masing-masing pihak, disampaikan dengan singkat.

F. 9. Putusan atau Penetapan Hakim
Setelah melalui tahapan-tahapan dalam pemeriksaan, maka pada tahap akhir yang ditunggu-tunggu kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat adalah adanya putusan atau penetapan. Pada tahap ini hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertimbangan hukum (berdasar pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasan dan dasar hukumnya.

Selasa, 16 Oktober 2012

PEMBUKTIAN TERBALIK KASUS KORUPSI

PEMBUKTIAN TERBALIK KASUS KORUPSI
 
PEMBUKTIAN kasus korupsi baik di Indonesia maupun di beberapa negara asing memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut di samping proses penegakannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan undang-undang yang produknya masih dapat bersifat multi-interpretasi, sehingga relatif banyak ditemukan beberapa kelemahan di dalamnya. Salah satu contoh adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 yo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan undang-undang itu disebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Benarkah pernyataan tersebut dalam implementasinya? Ternyata tidak semuanya benar.
---------------------------
Misalnya, khusus terhadap tindak pidana penyuapan bukanlah merupakan tindak pidana luar biasa akan tetapi merupakan tindak pidana biasa, sehingga tidak diperlukan upaya hukum yang luar biasa. Di samping aspek di atas, opini umum dan para pakar yang menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban pembuktian terbalik.
Ada dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, 38B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban pembuktian terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoretik dan praktik? Tidak.
Secara tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU 31/1999 yo UU 20/2001. Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) berbunyi: ''setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000, (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.''
Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di atas. Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana,  ketentuan tersebut menimbulkan kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang berbunyi, ''...yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi''. Akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional, ''...setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya''. Maka adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan.
Kedua, terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional ''...dianggap pemberian suap''. Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara maka gratifikasi tersebut bukan dikategorikan ''dianggap pemberian suap'' akan tetapi sudah termasuk tindakan ''penyuapan''. Eksistensi asas beban pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional ''...dianggap suap'' akan tetapi harus kepada dua unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan dengan jabatannya dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban.
Ketiga, dikaji dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus dihubungkan dengan Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006. Hakikatnya, dari dimensi ini maka beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar HAM, bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah atau asas praduga korupsi.
Selain itu bersimpangan dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHP, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal court/ICC), Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-hak Anak, Prinsip 36 ayat (1) kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apa pun atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 43/1739 Desember 1988 dan Konvensi Internasional serta asas legalitas. Dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebenarnya beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia ''ada'' di tataran kebijakan legislasi akan tetapi ''tiada'' dan ''tidak bisa'' dilaksanakan dalam kebijakan aplikasinya.

Justifikasi

Dengan tolok ukur konteks di atas maka beban pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan pelaku  korupsi sehingga mempergunakan sistem pembuktian negatif atau asas beyond reasonable doublt. Konsekuensi logis dimensi demikian, beban pembuktian terbalik ini tidak akan bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri, asas untuk diam, hukum pidana materiil serta instrumen hukum internasional.
Di sisi lainnya, pembuktian terbalik dapat dilakukan terhadap harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi sehingga titik beratnya pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku tindak pidana korupsi. Tegasnya, dari dimensi konteks di atas terhadap pelaku orang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif atau beyond reasonable doublt terhadap kesalahan pelaku. Sedangkan terhadap pengembalian harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan beban pembuktian terbalik oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrumen hukum internasional.
Dengan dimensi demikian, maka alternatif pembuktian korupsi yang relatif memadai adalah dipergunakan teori beban pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan. Pada dasarnya, teori ini mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas kepemilikan harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi di sisi lainnya. 

* Pembuktian terbalik tidak akan bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri, asas untuk diam, hukum pidana materiil serta instrumen hukum internasional.

* Pembuktian korupsi yang relatif memadai, mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas kepemilikan harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.

Mengapa Pembuktian Terbalik Diperlukan?



Mengapa Pembuktian Terbalik Diperlukan?



Perilaku korupsi di Indonesia mungkin layak disamakan dengan dunia klenik dan perdukunan. Paling minimal, keduanya sama-sama erat dengan hal yang serba gaib. Cukup aneh memang kedengarannya, tapi itu suatu kenyataan pahit yang harus ditelan bulat-bulat bangsa ini.

Banyak kasus korupsi yang cepat sekali tercium bau busuknya, tapi sulit ditemukan sumber bau atau bangkainya. Sampai hari ini masih banyak kasus mega korupsi yang tak kunjung terselesaikan. Sebut saja, misalnya, kasus bailout Bank Century yang diduga merugikan negara hampir Rp 7 triliun. Dugaan korupsi yang terkait dengan proses bailout tersebut makin menguat menyusul dimenangkannya mantan investor Bank Century, Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi yang melawan pemerintah di dewan Arbitrase Internasional—Internasional Center for Settlement of Investment Disputes (Tribunnews http://www.tribunnews.com/2011/09/10/hesham-rafat-menang-di-pengadilan-arbitrase).

Bukan hanya kasus Bank Century, kasus dugaan mega korupsi lain seperti “rekening gendut” pejabat tinggi Polri, mafia perpajakan yang mengemuka lewat kasus Gayus Tambunan, dan paling mutakhir, dugaan korupsi dalam penetapan APBN di DPR, yang terendus lewat kasus penyuapan pembangunan Wisma Atlet yang melibatkan mantan anggota DPR, Muhammad Nazaruddin, juga belum terungkap atau belum menyentuh otak pelaku atau “pemain” sesungguhnya yang diduga berasal dari para elit partai berkuasa saat ini.



AsasPradugaTidakBersalah


Sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia, selain tentu saja karena lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah dan otoritas hukum, ditengarai juga karena penanganannya yang masih biasa-biasa saja. Maksudnya, belum ada terobosan hukum yang diupayakan oleh pemerintah agar korupsi benar-benar dapat diberantas.

Dalam upaya mencari keadilan, asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) menjadi kredo hukum utama. Prinsip ini menempatkan setiap orang berstatus tidak bersalah di muka hukum sampai ada fakta yang membuktikannya bersalah. Prinsip ini berlaku hampir di belahan bumi mana pun. Tujuannya, untuk melindungi hak azasi manusia seseorang yang tidak boleh dikurangi dalam situasi dan kondisi apa pun. Nilai ini dijamin oleh nilai-nilai agama, budaya, maupun tata pergaulan internasional.

Sayangnya, prinsip tersebut tidak bekerja secara maksimal begitu dihadapkan pada kasus-kasus korupsi di Indonesia yang serba gaib. Para elit pemerintah yang terindikasi korupsi mudah sekali berkelit dari jeratan hukum dengan berbagai cara, termasuk mengorbankan anak buahnya. Hal ini dimungkinkan karena setiap pejabat pemerintah yang terindikasi korupsi tidak punya kewajiban untuk membuktikan bahwa harta yang dimilikinya dan istri atau suami serta anak-anaknya benar-benar didapat dengan cara yang halal, terlepas apakah kekayaannya yang berlimpah ternyata tidak seimbang dengan penghasilan jabatannya, pun meski sudah ditambah dari sumber pendapatan lain jika memang ada.

Hadirnya UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memang sempat memberikan secercah harapan dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Kedua undang-undang tersebut memungkinkan dilakukannya semacam pembuktian terbalik oleh terdakwa di muka pengadilan. Sayangnya, secara operasional undang-undang tersebut berlaku sekadar untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bagi seorang terdakwa. Undang-undang tersebut tentu saja tidak dapat menjerat seseorang yang berstatus sebagai terduga, apalagi jika masih sebagai tersangka.

PembuktianTerbalik
Beberapa pihak memang mengkhawatirkan pemberlakuan pembuktian terbalik akan mengurangi bahkan melenyapkan hak azasi yang dimiliki oleh seseorang. Namun, banyak pula pihak yang menganggap bahwa justru untuk kasus-kasus korupsi, penggelapan, dan pencucian uang yang pembuktiannya kerap sulit dilakukan, hal itu perlu diatur dalam undang-undang yang lebih jelas dan spesifik.

Salah satu pihak yang menganggap perlu diterapkannya asas pembuktian terbalik untuk kasus-kasus kasus korupsi, penggelapan, dan pencucian uang adalah Majlis Ulama Indonesia (MUI). Dalam Musyawarah Nasional VIII, Komisi Fatwa MUI melahirkan fatwa mengenai Penerapan Asas Pembuktian Terbalik (Lihat buku Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011, h. 547-554).

Preseden hukum yang dijadikan referensi oleh MUI adalah kasus dakwaan tindak perkosaan yang dituduhkan kepada Nabi Yusuf AS. Dalam pengadilan, Nabi Yusuf AS pun membuktikan bahwa tuduhan yang dialamatkan kepadanya tidak benar. Koyaknya pakaian beliau di bagian belakang, bukan di bagian depan, memperkuat hal itu. MUI juga mengutip ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ketika pada suatu ketika beliau meminta pembuktian kepada Abu Hurairah atas harta yang dimilikinya, apakah didapat dengan jalan halal atau sebaliknya.

Meski secara umum, seorang terdakwa dalam mekanisme hukum Islam hanya dituntut bersumpah untuk menolak segala tuduhan terhadapnya. Mengacu pada dua preseden hukum di atas, dalam pertimbangannya MUI menilai bahwa pembuktian terbalik sangat diperlukan. Terutama untuk memudahkan pengusutan kasus-kasus yang pembuktian materialnya sulit dilakukan, seperti kasus korupsi, penggelapan, dan pencucian uang. [Andriansyah]