HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Selasa, 16 Oktober 2012

PEMBUKTIAN TERBALIK KASUS KORUPSI

PEMBUKTIAN TERBALIK KASUS KORUPSI
 
PEMBUKTIAN kasus korupsi baik di Indonesia maupun di beberapa negara asing memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut di samping proses penegakannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan undang-undang yang produknya masih dapat bersifat multi-interpretasi, sehingga relatif banyak ditemukan beberapa kelemahan di dalamnya. Salah satu contoh adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 yo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan undang-undang itu disebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Benarkah pernyataan tersebut dalam implementasinya? Ternyata tidak semuanya benar.
---------------------------
Misalnya, khusus terhadap tindak pidana penyuapan bukanlah merupakan tindak pidana luar biasa akan tetapi merupakan tindak pidana biasa, sehingga tidak diperlukan upaya hukum yang luar biasa. Di samping aspek di atas, opini umum dan para pakar yang menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban pembuktian terbalik.
Ada dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, 38B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban pembuktian terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoretik dan praktik? Tidak.
Secara tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU 31/1999 yo UU 20/2001. Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) berbunyi: ''setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000, (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.''
Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di atas. Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana,  ketentuan tersebut menimbulkan kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang berbunyi, ''...yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi''. Akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional, ''...setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya''. Maka adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan.
Kedua, terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional ''...dianggap pemberian suap''. Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara maka gratifikasi tersebut bukan dikategorikan ''dianggap pemberian suap'' akan tetapi sudah termasuk tindakan ''penyuapan''. Eksistensi asas beban pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional ''...dianggap suap'' akan tetapi harus kepada dua unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan dengan jabatannya dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban.
Ketiga, dikaji dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus dihubungkan dengan Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006. Hakikatnya, dari dimensi ini maka beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar HAM, bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah atau asas praduga korupsi.
Selain itu bersimpangan dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHP, Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf (i) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal court/ICC), Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 40 ayat (2b) butir (i) Konvensi tentang Hak-hak Anak, Prinsip 36 ayat (1) kumpulan prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apa pun atau pemenjaraan, Resolusi Majelis Umum PBB 43/1739 Desember 1988 dan Konvensi Internasional serta asas legalitas. Dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebenarnya beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia ''ada'' di tataran kebijakan legislasi akan tetapi ''tiada'' dan ''tidak bisa'' dilaksanakan dalam kebijakan aplikasinya.

Justifikasi

Dengan tolok ukur konteks di atas maka beban pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan pelaku  korupsi sehingga mempergunakan sistem pembuktian negatif atau asas beyond reasonable doublt. Konsekuensi logis dimensi demikian, beban pembuktian terbalik ini tidak akan bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri, asas untuk diam, hukum pidana materiil serta instrumen hukum internasional.
Di sisi lainnya, pembuktian terbalik dapat dilakukan terhadap harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi sehingga titik beratnya pada pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh pelaku tindak pidana korupsi. Tegasnya, dari dimensi konteks di atas terhadap pelaku orang yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi tetap mempergunakan jalur pidana dengan pembuktian negatif atau beyond reasonable doublt terhadap kesalahan pelaku. Sedangkan terhadap pengembalian harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi dapat dipergunakan beban pembuktian terbalik oleh karena dimensi ini relatif tidak bersinggungan dengan aspek HAM, tidak melanggar hukum acara pidana, hukum pidana materiil maupun instrumen hukum internasional.
Dengan dimensi demikian, maka alternatif pembuktian korupsi yang relatif memadai adalah dipergunakan teori beban pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan. Pada dasarnya, teori ini mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas kepemilikan harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi di sisi lainnya. 

* Pembuktian terbalik tidak akan bersinggungan dengan HAM, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tidak bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri, asas untuk diam, hukum pidana materiil serta instrumen hukum internasional.

* Pembuktian korupsi yang relatif memadai, mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas kepemilikan harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar