Poligami dalam Masyarakat Batak
DALAM masyarakat
Batak zaman dulu, sebelum kekristenan memasuki Tano Batak, poligami atau
beristeri lebih dari satu adalah masalah biasa. Alasan utama yang mengabsahkan tindakan poligami dari seorang
suami adalah apabila istri pertama tidak atau belum berhasil melahirkan anak
setelah beberapa lama perkawinan mereka. Atau istri pertama itu melahirkan
anak-anak perempuan tapi tidak dikaruniai anak laki-laki. Dalam situasi
demikian, seorang istri akan memberikan persetujuannya, bahkan memberikan
dorongan untuk kawin lagi dengan perempuan lain untuk mendapatkan anak-anak
ataupun untuk mendapatkan anak laki-laki. Sehingga poligami pada zaman itu
adalah sah menurut aturan adat Dalihan Natolu.
Setelah kekristenan
menggantikan religi masyarakat Batak kuno, aturan gereja dengan tegas melarang
poligami. Warga yang melakukannya akan dikucilkan (dipabali) dari keanggotaan
gereja.
Secara umum dapat disaksikan dalam masyarakat kita bahwa poligami selalu menuai masalah, baik dalam berhadapan dengan hukum negara, hukum gereja maupun hukum adat, serta hubungan-hubungan kekerabatan. Penghayatan perumpamaan itu tidak serta-merta menghilangkan masalah yang timbul dalam hubungan poligami.
Dilihat dari segi
hukum, masalah yang paling banyak dihadapi dalam kasus poligami adalah
menentukan status atau posisi istri-istri sehubungan dengan hak-haknya sesuai
dengan hukum adat serta posisi anak-anak yang dilahirkan. Dalam rangkaian itu hukum adat mengenal dua jenis status istri
kedua dalam poligami, yaitu:Imbang, di mana status istri-istri itu adalah
sama dalam hukum adat; jenis kedua tungkot, di mana istri kedua tidak mempunyai
hak apa-apa. Ia sepenuhnya tunduk kepada istri
pertama. Anak-anak yang ia lahirkan dianggap sebagai anak-anak dari istri
pertama dan menggunakan nama anak pertama menjadi namanya sendiri, yaitu Nai
Anu (Mamak Anu).
Masyarakat Batak
menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka garis kekerabatan itu akan selalu
ditarik dari titik pusat ayah, tidak dari ibu. Oleh karena itu dengan mudah
dapat dikatakan bahwa hubungan abang-adik pada anak-anak dari seorang ayah
adalah jelas, harus dilihat dari siapa yang lahir lebih dulu. Jika anak yang
lahir pertama adalah laki-laki dan ia menjadi panggoaran (pembawa nama) bagi
ayahnya (menjadi Ama ni Polan – misalnya), maka anak itulah anak sulung
(sihahaan), yang mengemban sahala sihahaan.
Dengan demikian,
jika dihubungkan dengan status istri kedua seperti dijelaskan di atas pada
status imbang, apabila istri kedua lebih dahulu melahirkan anak, maka anak
itulah sihahaan yang menjadi panggoaran ayahnya. Semua anak-anak yang lahir
sesudah itu baik dari istri pertama maupun istri kedua adalah adik-adiknya
dengan berpatokan pada siapa yang lahir lebih dulu. Sedangkan bagi status
tungkot sudah jelas bahwa semua anak-anak yang dilahirkan oleh tungkot
diperhitungkan sebagai anak-anak dari isteri pertama. Sehingga hubungan
abang-adik dari anak-anak itupun menjadi jelas. Dalam hal ini secara kasar
dapat dikatakan bahwa fungsi istri kedua yang berstatus tungkot hanyalah untuk
melahirkan anak-anak (child producer) bagi istri pertama.
Dewasa ini, sejak
sebagian besar masyarakat Batak memeluk agama Kristen, poligami sudah jarang
sekali ditemukan karena gereja memang tidak memberikan toleransi apapun atas kasus
demikian .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar