HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Kamis, 25 Oktober 2012

KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UU ADVOKAT



KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UU ADVOKAT

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan perkara pengujian UU Advokat yang diajukan tiga kelompok pemohon. Inti putusan MK menyatakan permohonan pengujian aturan pembentukan wadah tunggal organisasi advokat nebis in idem alias perkara pengujian undang-undang ini pernah diputus Mahkamah sebelumnya.

“Permohonan pemohon nebis in idem dan sebagian ditolak,” kata Ketua Majelis MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan pengujian Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (4) UU Advokat yang dimohonkan Frans Hendra Winarta dkk di Gedung MK Jakarta, Senin (27/6).

Pernyataan nebis in idem ini juga termuat dalam diktum putusan No 71/PUU-VIII/2010 yang dimohonkan Abraham Amos dkk (advokat KAI) dan putusan No 79/PUU-VIII/2010 dimohonkan Husen Pelu dkk (calon advokat KAI). Sama halnya dengan Frans, Abraham dkk juga menguji Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (4). Sementara Husen Pelu hanya menguji Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, khususnya terhadap frasa “satu-satunya”.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menegaskan Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Advokat telah diputus lewat putusan No 014/PUU-IV/2006 tertanggal 30 November 2006 yang putusannya menyatakan ditolak seluruhnya. Pada hakikatnya alasan para pemohon dalam perkara No 014/PUU-IV/2006 adalah sama dengan alasan dalam pengujian kali ini.

Mahkamah mengutip pertimbangan putusan No. 014 yang menyatakan bahwa wadah tunggal tidak menutup wadah profesi advokat lain. “Faktanya, saat pembentukan Peradi, delapan organisasi advokat yang ada tidak membubarkan diri dan tidak melebur diri pada Peradi,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

Mahkamah menilai organisasi advokat tunggal tidak menghalangi seseorang untuk melakukan pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, wadah tunggal advokat sama sekali tidak menghalangi setiap orang untuk mengembangkan diri memenuhi kebutuhan dasarnya. Frasa “satu-satunya” juga tidak menyebabkan perlakuan yang diskriminatif.

Sementara, kewajiban menjadi anggota organisasi advokat sesuai amanat Pasal 30 ayat (2) UU Advokat merupakan konsekuensi logis dari Pasal 28 ayat (1). “Pengujian Pasal 32 ayat (4) juga merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat waktu dua tahun dan dengan terbentuknya Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga tidak relevan dipersoalkan konstitusionalitasnya,” kata Sodiki.

Adanya fakta tentang belum disumpahnya calon advokat KAI atau penolakan beracara di pengadilan, menurut Mahkamah, tidak terkait dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, tetapi masalah penerapan atau implementasi oleh pengadilan.

Soal sumpah calon advokat sesuai Pasal 4 ayat (1) UU Advokat juga telah diputus lewat putusan No 101/PUU-VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009. Putusan itu menyatakan pengambilan sumpah advokat adalah sebuah kewajiban undang-undang bagi pengadilan tinggi tanpa melihat dari organisasi mana calon advokat itu berasal.

Tak berikan solusi
Usai persidangan, Frans Hendra Winarta mengaku bisa menghormati putusan MK ini. Namun, ia mengatakan faktanya saat ini ada organisasi advokat lain selain PERADI yang mengklaim dirinya wadah tunggal, yakni KAI dan Peradin. “Saya selalu menentang konsepsi wadah tunggal karena secara faktual tidak ada, belum lagi organisasi advokat sekarang ada sekitar 15,” kata Frans. “Bagaimana yang lain bisa bersaing kalau penyelenggaraan ujiannya dilakukan oleh satu organisasi?”

Selain itu, Frans juga mempersoalkan proses pembentukan PERADI yang dilakukan oleh pengurus delapan organisasi advokat bukan oleh para anggotanya. Hal ini dinilai melanggar konsepsi demokrasi dan konvensi internasional yang menyatakan para pengurus organisasi advokat harus dipilih oleh para anggotanya. “Saya sebenarnya tidak setuju dengan putusan MK ini dengan alasan nebis in idem,” katanya.

Ia mengklaim alasan konstitusional pengujian undang-undang ini berbeda dengan kondisi pengujian undang-undang ini sebelumnya. “Sekarang faktanya ada calon advokat yang tidak bisa disumpah dan beracara di pengadilan dan sering ricuh, yang berbeda dengan perkara pengujian undang-undang tahun 2006,” tegasnya.

Pemohon lainnya, Firman Wijaya menilai putusan ini tidak memberikan solusi yang definitif untuk menyelesaikan masalah. Belum lagi persoalan sertifikasi dan dewan etik bersama. “Soal ini menjadi kebutuhan advokat ke depan, tetapi ternyata tidak dipertimbangkan dalam putusan MK ini. Jadi putusan ini terlalu minim untuk sebuah problem besar, tidak seperti yang kita bayangkan,” kata Firman.

Sementara Ketua Umum PERADI Otto Hasibuan mengatakan pada hakikatnya putusan ini merupakan kemenangan bagi seluruh advokat Indonesia. “Tidak ada yang menang atau kalah di sini, mudah-mudahan dengan putusan ini, menjadikan tonggak advokat Indonesia semakin kuat untuk bersatu dan menata kembali advokat di masa depan,” kata Otto.

Ia sangat berharap putusan ini dapat membuat advokat Indonesia lebih bersatu lagi. “Kita juga sudah menampung dan mengakomodir advokat di luar Peradi, kita lupakan perbedaan yang selama ini terjadi dan mari kita bersama membangun advokat Indonesia,” imbaunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar