HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Kamis, 25 Oktober 2012

BUDAYA KARO : KERJA TAHUN / MERDANG MERDEM

BUDAYA KARO : KERJA TAHUN / MERDANG MERDEM

Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. 
Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acaramenanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanampadi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama danmenghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruhwarga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara
tari tradisional Karo yangmelibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karomerayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdempada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.

Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.
* Hari pertama, cikor-kor.
   Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang      merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang  biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari    itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk  makanan pada hari itu.

*
 Hari kedua, cikurung.
   Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari       kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah    atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.


* Hari ketiga, ndurung.
   Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut,   kaperas, belut.


*
 Hari keempat, mantem atau motong.
   Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. P ada hari itu        penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.

*
 Hari kelima, matana.
   Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu , semua penduduk saling   mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah  dikumpulkan semenjak hari cikor-kor , cikurung, ndurung , dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira.
   Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesaidilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los,   semacam balai tempat perayaan pesta.
   Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang    sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak     hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung    ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat       aturannya wajib makan.


*
 Hari keenam, nimpa.
   Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa    disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan   kelapa parut.

  
 Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak   lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa. Untuk kecamatan lain     di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires   yang dalam bahasa indonesia disebut lemang.Cimpa atau lemang daya tahannya  cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh      karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi  tamu ketika pulang.

*
 Hari ketujuh, rebu.
       Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari       sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu     sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara       kunjung-mengunjungi telah selesai.

      
 Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu     sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri       setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati       masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk kembali  melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.

Poligami dalam Masyarakat Batak



Poligami dalam Masyarakat Batak



DALAM masyarakat Batak zaman dulu, sebelum kekristenan memasuki Tano Batak, poligami atau beristeri lebih dari satu adalah masalah biasa. Alasan utama yang mengabsahkan tindakan poligami dari seorang suami adalah apabila istri pertama tidak atau belum berhasil melahirkan anak setelah beberapa lama perkawinan mereka. Atau istri pertama itu melahirkan anak-anak perempuan tapi tidak dikaruniai anak laki-laki. Dalam situasi demikian, seorang istri akan memberikan persetujuannya, bahkan memberikan dorongan untuk kawin lagi dengan perempuan lain untuk mendapatkan anak-anak ataupun untuk mendapatkan anak laki-laki. Sehingga poligami pada zaman itu adalah sah menurut aturan adat Dalihan Natolu.
Setelah kekristenan menggantikan religi masyarakat Batak kuno, aturan gereja dengan tegas melarang poligami. Warga yang melakukannya akan dikucilkan (dipabali) dari keanggotaan gereja.

Secara umum dapat disaksikan dalam masyarakat kita bahwa poligami selalu menuai masalah, baik dalam berhadapan dengan hukum negara, hukum gereja maupun hukum adat, serta hubungan-hubungan kekerabatan. Penghayatan perumpamaan itu tidak serta-merta menghilangkan masalah yang timbul dalam hubungan poligami.
Dilihat dari segi hukum, masalah yang paling banyak dihadapi dalam kasus poligami adalah menentukan status atau posisi istri-istri sehubungan dengan hak-haknya sesuai dengan hukum adat serta posisi anak-anak yang dilahirkan. Dalam rangkaian itu hukum adat mengenal dua jenis status istri kedua dalam poligami, yaitu:Imbang, di mana status istri-istri itu adalah sama dalam hukum adat; jenis kedua tungkot, di mana istri kedua tidak mempunyai hak apa-apa. Ia sepenuhnya tunduk kepada istri pertama. Anak-anak yang ia lahirkan dianggap sebagai anak-anak dari istri pertama dan menggunakan nama anak pertama menjadi namanya sendiri, yaitu Nai Anu (Mamak Anu).
Masyarakat Batak menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka garis kekerabatan itu akan selalu ditarik dari titik pusat ayah, tidak dari ibu. Oleh karena itu dengan mudah dapat dikatakan bahwa hubungan abang-adik pada anak-anak dari seorang ayah adalah jelas, harus dilihat dari siapa yang lahir lebih dulu. Jika anak yang lahir pertama adalah laki-laki dan ia menjadi panggoaran (pembawa nama) bagi ayahnya (menjadi Ama ni Polan – misalnya), maka anak itulah anak sulung (sihahaan), yang mengemban sahala sihahaan.
Dengan demikian, jika dihubungkan dengan status istri kedua seperti dijelaskan di atas pada status imbang, apabila istri kedua lebih dahulu melahirkan anak, maka anak itulah sihahaan yang menjadi panggoaran ayahnya. Semua anak-anak yang lahir sesudah itu baik dari istri pertama maupun istri kedua adalah adik-adiknya dengan berpatokan pada siapa yang lahir lebih dulu. Sedangkan bagi status tungkot sudah jelas bahwa semua anak-anak yang dilahirkan oleh tungkot diperhitungkan sebagai anak-anak dari isteri pertama. Sehingga hubungan abang-adik dari anak-anak itupun menjadi jelas. Dalam hal ini secara kasar dapat dikatakan bahwa fungsi istri kedua yang berstatus tungkot hanyalah untuk melahirkan anak-anak (child producer) bagi istri pertama.

Dewasa ini, sejak sebagian besar masyarakat Batak memeluk agama Kristen, poligami sudah jarang sekali ditemukan karena gereja memang tidak memberikan toleransi apapun atas kasus demikian .

ASAL MUASAL SUKU BATAK



ASAL MUASAL SUKU BATAK
ASAL-USUL :
Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan sendiri mempunyai 5 (lima) orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.
Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak. Semua marga-marga ini dapat dilihat kedudukan dari Si Raja Batak

Batak adalah nama sebuah suku bangsa di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara. Sebagian orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu).

Suku Batak terdiri dari beberapa sub suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara, khususnya Tapanuli .
Sub suku Batak adalah: Suku Batak Silindung , Suku Batak Samosir , Suku Batak Humbang ,Suku Batak Toba .

Suku-suku lain yang dinyatakan masuk dalam suku bangsa Batak, yaitu: Karo di Kabupaten Karo , Mandailing di Mandailing Natal , Angkola di Tapanuli Selatan , Padang Lawas (Padang Bolak) di Padang Lawas , Pakpak di Dairi, Pakpak Bharat , Simalungun di Kabupaten Simalungun .

WILAYAH BERMUKIM :
Dalam tata pemerintahan Republik Indonesia yang mengikuti tata pemerintahan Kolonial Belanda, setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah menjadi kabupaten setelah Indonesia merdeka.
Sub suku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya meliputi : Balige, Laguboti, Porsea, serta Ajibata (berbatasan dengan Parapat) Nahumaliangna.
Sub suku Batak Samosir berdiam di Kabupaten Samosir yang wilayahnya meliputi : Tele, Baneara, Pulau Samosir, Nahumaliangna.
Sub suku Batak Humbang berdiam di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara bagian utara yang wilayahnya meliputi : Dolok Sanggul, Siborongborong, Lintongnihuta, serta Parlilitan Nahumaliangna.
Sub suku Batak Silindung berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Tarutung, Sipoholon, Pahae, Nahumaliangna.
Suku Batak pun saat ini telah banyak tersebar ke seluruh daerah Indonesia bahkan ke luar negeri .

KEPERCAYAAN :
Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh para Missionaris dari Jerman yang bernama Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)di huta Dame, Tarutung. Sekarang ini gereja HKBP ada dimana-mana di seluruh Indonesia yang jemaatnya mayoritas suku Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba).Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya terwujud dalam Debata Natolu .

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
     Tondi
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

     Sahala
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

     Begu
Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Beberapa begu yang ditakuti oleh orang Batak, yaitu:
     Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan mengerikan.
     Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat tempat tertentu
     Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu marga
     Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut  perintah pemeliharanya.
     Begu Attuk alias ketok magic ( he ..he …. Canda . .)

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha, yang walaupun sudah menganut agama Kristen, dan berpendidikan tinggi. Namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.
Contoh : Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.

TAROMBO :
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum Adam diwajibkan mengetahui silsilahnya  minimal  nenek moyangnya yang menurunkan marganya  dan  teman semarganya (dongan tubu).
Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga .

FALSAFAH BATAK :
Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu paopat Sihal yakni Somba Marhulahula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu(kompak dalam hubungan semarga) , Dan Sihal yaitu ; Dame martetangga jala ringkot mar ale ale  (kompak Dalam kehidupan sehari-hari) , falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak (Samosir , Silindung , Humbang , Toba).

BAHASA BATAK :
Bahasa Batak sebenarnya merupakan nama sebuah rumpun bahasa yang berkerabat yang dituturkan di Sumatra Utara. Mereka menggunakan aksara Batak
Bahasa Batak bisa dibagi menjadi beberapa kelompok: Bahasa-bahasa Batak Utara , Bahasa Alas , Bahasa Karo , Bahasa Simalungun . Bahasa-bahasa Batak Selatan  , Bahasa Angkola-Mandailing , Bahasa Pakpak-Dairi  , Bahasa Toba .


BATAK PADA ERA MODERN :
Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama Samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da'i dari dari negeri Minang. Perluasan penyebaran agama Islam juga pernah memasuki hingga ke daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku Rao dari Sumatera Barat, namun tidak begitu berhasil. Islam lebih berkembang di kalangan Mandailing, Padang Lawas, dan sebagian Angkola.
Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Angkola dan Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba) setelah beberapa kali misi Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.

PENDAPAT LAIN :
Satu suku bangsa berarti memiliki bahasa, kesenian, dan adat istiadat yang sama, serta percaya berasal dari nenek moyang yang sama. Dalam hal ini yang dikatakan suku bangsa Batak berarti memiliki bahasa yang sama bahasa Batak bukan bahasa Toba, kesenian yang sama gondang Batak bukan gondang Toba, dan adat istiadat yang sama adat Batak, serta percaya berasal dari nenek moyang yang sama Si Raja Batak. Perlu juga kita ketahui bersama bahwa hanya suku bangsa Batak (Silindung-Samosir-Humbang –Toba) yang selau memakai identitas “BATAK” pada berbagai hal, seperti: RUMA BATAK, HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN, GONDANG BATAK, BANGSO BATAK, SI RAJA BATAK. Sedangkan suku-suku lain adalah hampr tidak ada memakai identitas “BATAK” ini. Di luar hal tersebut tidak bolehdikatakan suku bangsa Batak.
Bagi sebagian orang ada beberapa suku bangsa yang dimasukkan dalam rumpun suku bangsa Batak. Padahal perlu kita ketahu bersama bahwa sejak zaman Kerajaan Batak hingga pembagian ke”distik”an pada Huria Kristen Batak Protestan selalu membagi Tanah Batak dalam 4 wilayah, yaitu: Silindung, Samosir, Humbang, dan Toba. Suku-suku yang dicaplok oleh sebagaian orang itu pun ternyata mendapat perlawanan dari anggota suku bangsanya sendiri untuk dimasukkan dalam suku bangsa Batak. Oleh sebab itu untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, untuk hari-hari berikut penyebutan suku bangsa Batak hendaknya hanya ditujukan bagi orang Silindung, Samosir, Humbang, dan Toba.
Suku-suku yang bagi sebagian orang dinyatakan sebagai suku bangsa Batak namun tak dapat dibuktikan kebenarannya, yaitu:
Suku Alas (Aceh Tenggara)
Suku Gayo (Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues)
Suku Kluet
Suku Karo
Suku Pakpak
Suku Padang Lawas
Suku Simalungun
Suku Angkola
Suku Mandailing.
Bahkan Suku Nias sempat dinyatakan sebagai bagian suku bangsa Batak
      

KESIMPULAN :
Suku Batak terdapat di  4 (empat) wilayah, yaitu:
  1. BATAK SAMOSIR  (Wilayah Pulau Samosir  Nahumaliangna)
  2. BATAK SILINDUNG (Wilayah Tarutung, Sipoholon, Pahae, Nahumaliangna)
  3. BATAK HUMBANG (Wilayah Siborongborong, Dolok Sanggul, Lintongnihuta , Nahumaliangna)  
  4. BATAK TOBA (Wilayah Balige, Porsea, Laguboti , Nahumaliangna