PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UUD YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
A. UU NO 1 TAHUN 1945 TENTANG KOMITE NASIONAL DAERAH
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945
untuk pertama kalinya oleh PPKI sebagai landasan konstitusional
ketatanegaraan.Pada saat itu struktur dan sistem ketatanegaraan RI
masih sangat sederhana bahkan banyak yang belum terbentuk kecuali
Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI untuk sementara menetapkan berbagai hal tentang pemerintah daerah :
- Untuk sementara waktu, daerah negara Indonesia dibagi dalam 8
propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur.
Propinsi-propinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.
- Daerah Propinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh
Residen, Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND).
- Untuk sementara waktu, kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan sampai sekarang.
- Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan sampai sekarang.
Dari konfigurasi tersebut terlihat bahwa
struktur dan sistem pemerintah daerah di Indonesia pada awal kemerdekaan
masih sangat sederhana yaitu terdiri dari Propinsi, Keresidenan, Kooti,
dan Kota ditambah KND.
Untuk mengefektifkan KND dalam membantu
pemerintah daerah, pada tanggal 30 Oktober 1945 BP KNP mengeluarkan
Rancanngan Undang-Undang (RUU) tentang kedudukan KND melalui pengumuman
No. 2 dan disetujui pemerintah tanggal 23 Nopember 1945 yaitu
Undang-Undang No. 1 tahun 1945 tentang KND yang hanya berjumlah 6 pasal.
Atas fakta tersebut tidak heran jika
terdapat banyak kelemahan didalamnya, antara lain adanya dualistik
pemerintah daerah, yaitu :
a. Jenis pemerintah di daerah
Terdapat dua jenis pemerintah di daerah,
yaitu pemerintah di daerah yang memilik KNID dan tanpa KNID.Pemerintah
di daerah yang mempunyai KNID adalah pemerintah daerah otonom yang
berhak mengatur rumah tangga daerah (Keresidenan, Pemerintah Kota,
Kabupaten dan daerah lain yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam
Negeri).
Pemerintah di daerah lainnya seperti
Propinsi,(kecuali Propinsi Sumatera), Kewedanaan, Kecamatan adalah
daerah administratif belaka.
b. Susunan pemerintah daerah ( otonom )
Ada dua penyelenggara pemerintahan dalam
daerah otonom yaitu penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah (KNID,
Badan Eksekutif Daerah dan Kepala Daerah) dan penyelenggara urusan
pemerintah lainnya yang dilakukan Kepala Daerah.
Sifat dualistik terlihat dalam penjelasan
Undang-undang No. 1 tahun 1945 yang tetap mengakui dan memberlakukan
peraturan perundang-undangan pemerintah daerah (Desentralisasi) Hindia
Belanda yang selalu bersifat dualistik yaitu membedakan antara peraturan
perundang-undangan untuk Jawa-Madura dan untuk luar Jawa.
Sifat Dualistik ini sangat ditonjolkan
sebagai salah satu kelemahan utama Undang-undang No.1 tahun 1945 yang
menyebutkan bahwa Kepala Daerah yang memimpin KNID dan Badan Eksekutif
Daerah adalah pejabat pemerintah pusat di daerah.
Dalam penjelasan disebutkan Kepala Daerah
adalah Ketua dan anggota badan eksekutif, sedangkan dalam hubungan
dengan KNID (Badan Legislatif) Kepala Daerah hanya menjadi Ketua
saja.Kedudukan Kepala Daerah dalam dua alat perlengkapan pemerintah
daerah tersebut dapat diperkirakan mempengaruhi dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah karena kedua badan (Eksekutif dan Legislatif daerah) berada pada pada satu tangan.
Disamping itu, Kepala Daerah sebagai pejabat pusat juga menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah pusat di daerah. Dengan
kata lain bahwa dalam diri Kepala Daerah menyatu tugas, wewenang dan
tanggung jawab menyelenggarakan semua urusan, baik urusan rumah tangga
daerah maupun urusan pemerintahan pusat di daerah.
Dengan struktur demikian, jelas kedudukan
KDH adalah sangat dominan dan secara teoretik dan praktik
penyelenggaraan pemerintahanh dapat dikatakan bergantung kepada kemauan
KDH semata, sehingga pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi di daerah
masih jauh dari harapan, begitu pula kontrol dari KDH hampir tidak
terlihat sama sekali dan sangat lemah.
Oleh karena itu, wajar bila ada yang menyimpulkan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1945 mengandung beberapa hal :
1. Disamping sifat dualistik dalam
lingkungan pemerintahan daerah otonom, juga masalah yang mendasar adalah
ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab daerah otonom.
Ketidakjelasan urusan rumah tangga daerah otonom ini menyebabkan tidak
terwujudnya otonomi Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat.
2. Kepala Daerah sebagai pejabat pusat
didaerah, juga sebagai kepala badan legislatif daerah / KND dan badab
eksekutif daerah mempunyai kedudukan yang sangat dominan untuk
mengendalikan pemerintahan daerah otonom agar berjalan sesuai dengan
kebijaksanaan pusat.
3. Dipersatukannya pimpinan
pemerintahan otonom dalam diri Kepala Daerah ditambah ketidakjelasan
urusan rumah tangga daerah sehingga akan mewujudkan kecenderungan
penyelenggaraan pemerintahan sentralistik dan memudarkan unsur-unsur
desentralisasi.
4. Daerah-daerah menjalankan sistem
otonomi formal secara kolegial. Hal itu tersurat dalam ketentuan pasal 2
”Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersama-sama dengan dan dipimpin Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur
rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih luas dari padanya.
5. Hubungan antara DPRD dengan Badan
Eksekutif Daerah dikepalai oleh Kepala Daerah menunjukkan betapa
kuatnya Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat yang juga
mendominasi dua lembaga (organ) daerah lainya (DPRD dan Badan Eksekutif
Daerah).
B. UU RI NO.22 TAHUN 1948 TENTANG POKOK PEMERINTAH DAERAH
Menyadari bahwa Undang-undang
No.1 tahun 1945 masih jauh dari kesempurnaan dan harapan sebagai dasar
dalam menjalankan pemerintahan daerah yang berkedaulatan rakyat. Hal
itu termuat dalam penjelasan umum Undang-undang No. 22 tahun 1948
sebagai berikut :
- Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
merasa akan pentingnya untuk segera memperbaiki pemerintah daerah yang
dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang kolegial
berdaswarkan kedaulatan rakyat (Demokrasi) dengan ditentukan batas-batas
kekuasaannya.
- Karena kesederhanaan Undang-undang No. 1 tersebut, kewajiban dan
pekerjaan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengatur rumah
tangganya sendiri tidak dapat diatur oleh pemerintah pusat dengan baik.
Karena itu DPRD tidak mengetahui batas-batas kewajibannya dan bekerja ke
arah yang tidak tentu. Dewan itu lebih memperhatikan soal-soal politik
mengenai beleid pemerintah pusat daripada kepentingan daerahnya.
c. Pemerintah Kabupaten, Kota,
Keresidenan dan desa yang berotonomi masih meneruskan seperti era
penjajahan, sehingga belum memberikan manfaat yang banyak terhadap
kepentingan rakyat / daerahnya.
Didaerah-daerah, pemerintahan daerah
masih dualistis sebagaimana pada jaman yang lampau, yang harus selekas
mungkin dihindarkan dan pemerintahan kolegial yang berdasarkan
kedaulatan rakyat dapat dilahirkan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar bahwa pentingnya Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang
pemerintahan daerah, selain sebagai
pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1945 yang sangat sederhana dan
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia
Belanda bersifat sentralistis, juga untuk memenuhi tuntutan akan
pemerintahan kolegial yang demokratis beserta pengaturan-pengaturan
lainnya yang belum sempat diatur dalam UU sebelumnya.
Didalam Undang-undang ini dikenal dua
jenis daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah istimewa yang
keduanya berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 23 ayat
(1) dan ayat (2) yang merumuskan bahwa DPRD mengatur dan mengurus rumah
tangga daerahnya dan hal-hal yang masuk urusan rumah tangganya
ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya, maka termuat didalamnya
tentang kewenangan DPRD Untuk melakukan pengaturan dan pengurusan rumah
tangga daerahnya.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, DPRD mengeluarkan berbagai bentuk produk hukum yaitu ”Putusan”,
”Ketetapan”, ”Peraturan”, ”Pedoman”, ”Usul”, ”Menunjuk”, ”Mengatur dan
Mengurus”, ”Mengatur atau Peraturan”, ”Peraturan-Peraturan”, atau
”Peraturan Daerah”, ”Keberatan dan ”Pembelaan”.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang
masih ada dari UU tersebut, tetapi dengan Undang-undang No.22 tahun 1948
merupakan salah satu upaya dalam rangka penataan pemerintahan daerah
yang demokratis dibandingkan yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1945.
C. UNDANG-UNDANG NIT NO. 44 TAHUN 1950 TENTANG PEMERINTAHAN INDONESIA TIMUR
Beberapa hari sebelum
tercapainya persetujuan antara negara RI (Yogyakarta) dengan pemerintah
RIS yang juga bertindak atas nama NIT dan NST untuk membentuk negara
kesatuan dan untuk menyesuaikan pemerintahan daerah dengan keadaan yang
akan datang pada tanggal 15 Mei 1950 ditetapkan Undang-undang No. 44
tahun 1950 yang disebut dengan nama UU Pemerintahan Daerah-daerah
Indonesia Timur. Undang-undang No. 44 tahun 1950 sengaja dipersiapkan
dan ditetapkan untuk menyongsong pembentukan atau reintegrasi Negara
Kesatuan terutama penyesuaian bentuk ketatanegaraan wilayah NIT
terhadap bentuk negara kesatuan.
Berhubung RUU ini disusun
dengan sangat tergesa-gesa dan mengoper saja apa yang terdapat didalam
Undang-undang No. 22 tahun 1948, sehingga isinya tidak jauh berbeda
dengan Undang-undang No. 22 tahun 1948 kecuali terdapat perubahan
seperlunya seperti :
1. Susunan penamaan daerah.
2. Sebutan resmi untuk DPD adalah Dewan Pemerintah dan keanggotaannya diambil dari bukan anggota DPRD.
3. Jumlah anggota DPRD tidak
semata-mata berdasarkan jumlah penduduk, juga mempertimbangkan luasnya
otonomi, kekuatan keuangan, dan suasana politik.
4. Penolakan pengesahan terhadap
putusan DPRD bagian dan anak bagian, keberatan dapat diajukan kepada
Pemerintah Agung, sedangkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 diajukan
kepada DPD setingkat lebih atas dari DPD yang menolak.
5. Undang-undang NIT No. 44 tahun 1950
tidak mengatur tentang Sekretaris Daerah dan pegawai daerah, siapa
mewakili daerahnya didalam dan diluar pengadilan, pajak dan keuangan
daerah, sedangkan anggaran pendapatan dan belanja hanya diulas sekilas
dalam penjelasan.
Kemiripan dan kesamaan substansi
materi antara dua Undang-undang tersebut terjadi pula dalam hal
kewenangan DPRD juga kewenangan Kepala Daerah.
D. UU NO. 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam rangka menyesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan UUDS 1950, pemerintah menganggap perlu untuk
mengundangkan sebuah peraturan perundang-undangan pemerintah daerah
yaitu Undang-undang No. 1tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan
Dearah. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 131 UUDS 1950
yang berbunyi :
1. Pembagian daerah Indonesia atas
daerah besar dan kecil yang erhak mengurus rumah tangganya sendiri,
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dan dasar
perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
2. Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri
3. Dengan undang-undang dapat
diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak
termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Pasal 131 UUDS 1950 ini hanya mengatur
dasar-dasar desentralisasinya yang tidak bermakna ganda sebagaimana
Pasal 18 UUD 1945, yang selain memuat dasar-dasar desentralisasi juga
memuat dasar dasar dekonsentrasi, khususnya yang terdapat dalam
penjelasannya.
Dalam mewujudkan kedudukan DPRD sebagai
pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam pemerintahan daerah, DPRD
mempunyai beberapa kewenangan.
Berpedoman pada beberapa kewenangan
dimaksud, terlihat bahwa kewenangan DPRD berdasrkan Undang-undang No. 1
tahun 1957 lebih luas bila dibandingkan dengan UU terdahulu. Bahkan
didalam UU ini tidak ada pengaturan pengawasan pemerintah terhadap
keputusan-keputusan daerah tingkat II dan III sebab MDN hanya dapat
mengawasi secara langsung sampai pada batas daerah tingkat I. Akibatnya
muncul kekhawatiran akan tumbuh suburnya daerahisme yaitu semangat
menempatkan kepentingan daerah diatas kepentingan nasional.
Selanjutnya kewenangan DPD /
Kepala Daerah adalah terletak dalam wilayah kekuasaan eksekutif yang
merupakan pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah ditetapkan
oleh DPRD. Untuk menjalankan kewenangan tersebut DPD dapat juga diserahi
beberapa kewenangan dibidang perundang-undangan dalam rangka
menjalankan peraturan daerah, misalnya diberikan pula kewenangan di
bidang legislatif , meskipun hanya terbatas pada pembuatan peraturan.
Disamping itu DPD memiliki kewajiban
memberikan keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD sebagai
konsekwensi dari kewenangan yang telah diberikan oleh DPRD dimaksud.
Meskipun Undang-undang No.1 tahun 1957 ini dapat dikatakan sebagai UU
yang cukup demokratis dengan meletakkan beberapa kewenangan yang cukup
kuat terhadap DPRD,disisi lain DPD diberikan fungsi kontrol yang
seakan-akan meniadakan prinsip demokrasi tersebut.
E. UU RI NO. 18 TAHUN 1965 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DAERAH
Undang-undang
No. 1 tahun 1957 dan Undang-undang No. 18 tahun 1965 mempunyai
persamaan mendasar yang bermaksud melaksanakan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah. Akan tetapi keseluruhan urusan yang
diselenggarakan oleh daerah otonomi pada dasarnya bersumber dari
penyerahan urusan dari Pusat.Jadi inisiatif daerah dalam mengurus
urusan-urusan tertentu hampir dapat dikatakan tidak ada.Hal ini antara
lain disebabkan :
1. Otonomi merupakan sesuatu yang baru bagi rakyat Indonesia.
2. Kurangnya tenaga terampil dalam penyelenggaraan otonomi
3. Keuangan daerah tetap bergantung kepada pusat.
Menurut Pasal 5 ayat (1),pemerintah
daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD. Dalam menjalankan
pemerintahan sehari-hari kepala daerah dibantu oleh wakil kepala daerah
dan badan pemerintah harian (BPH).Susunan yang demikian memperlihatkan
bahwa didalam UU ini terdapat dua jabatan yang membantu kepala daerah
dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari yaitu wakil kepala daerah
dan BPH.Walupun keduanya menyandang posisi sebagai pembantu kepala
daerah, terdapat perbedaan yang sangat prinsipil yaitu bahwa kata
’dibantu’ pada wakil kepala daerah secara otomatis dapat melakukan
kewenangan-kewenangan kepala daerah jika kepala daerah tidak dapat
melaksanakan kewenangannya juga dapat menggantikan posisi kepala
daerah jika kepala daerah meninggal dunia atau diberhentikan
(berhalangan tetap) sementara BPH tidak demikian.
Sebagai realisasi dari ketentuan yang memberikan pemusatan kewenangan pemerintah daerah
kepada kepala daerah, tentu kepala daerah
menjadi pusat daya upaya kegiatan pemerintah daerah yang bergerak
dibidang urusan rumah tangga daerah dan menjadi mata rantai yang kuat
dalam organisasi pemerintah pusat. Dengan kata lain bahwa kewenangan
DPRD tidaklah begitu penting karena UU tersebut menganggap DPRD bukanlah
pemegang kekuasaan yang utama dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Kedudukan kepala daerah
adalah sebagai alat pemerintah pusat dan sebagai alat pemerintah daerah
dan mempunyai kewenangan masing-masing.
Dalam melaksanakan kewenangannya, sebagai
alat pemerintah daerah, kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah
Harian (BPH). Tugas BPH ini memberikan pertimbangan kepada kepala daerah
baik diminta atau tidak, dan menjalankan tugas yang diberikan oleh
kepala daerah, sehingga institusi BPH ini hanya bersifat penasehat
belaka. Oleh karena itu sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintah daerah baik dibidang
urusan rumah tangga daerah maupun dibidang pembantuan.
F. UU NO. 5 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAH DI DAERAH
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara wilayah NKRI dibagi atas
daerah-daerah otonom dan wilayah administratif. Adanya wilayah
administratif ditandai dengan adanya/dibentuknya instansi pusat
(Kanwil,Kandep) dari level propinsi hingga kabupaten/kota. Susunan
teritorial daerah menggunakan sistim daerah bertingkat, Provinsi sebagai
Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II.
Didalam
Undang-undang No. 5 tahun 1974, prinsip pemberian otonomi yang
seluas-luasnya telah ditinggalkan dan diubah menjadi prinsip otonomi
daerah yang nyata dan bertanggung jawab dan dapat menjamin perkembangan
dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan
dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi bukan sekedar pelengkap terhadap asas
desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah
di daerah.
Selain itu yang menarik dari UU ini
adalah dari penamaan judul tentang ”Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah”.
Penamaan yang terdapat dalam UU pemerintah daerah yang pernah berlaku
sejak tahun 1948 bernama UU tentang Pokok Pemerintah Daerah, tanpa
imbuhan ”Di” untuk menunjukkan bahwa UU ini tidak semata-mata mengatur
mengenai desentralisasi, dengan kata lain tidak hanya mengatur tentang
pemerintahan otonom dan medebewind juga mengatur tentang pemerintahan
dekonsentrasi.
Dalam UU ini, yang dimaksud
dengan pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan
rekyat daerah. Konstruksi yang demikian tercermin bahwa UU ini
sebenarnya lebih mengutamakan kepala daerah dibanding DPRD.
Asumsi yang demikian ada benarnya bila
dicermati dari esensi Undang-undang No.5 tahun 1974 yang mendudukkan
fungsi-fungsi kepala daerah begitu kuat dan dominan dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah dibandingkan DPRD, baik dalam hal
proses pencalonan dan pengangkatannya, pertanggungjawaban dan
kewenangan-kewenangannya maupun dalam hal fungsinya sebagai Kepala
Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah Administratif sebagaimana yang
terkandung dalam Pasal 81 yakni sebagai penguasa tunggal.
Dalam tataran teoretik
yuridik memang disebutkan bahwa antara kedua lembaga tersebut memiliki
pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukan yang sama tinggi antara
Kepala Daerah dengan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan
DPRD bergerak dalam bidang legislatif, tetapi dalam praktiknya ternyata
Kepala Daerah lebih mendominasi dan seolah-olah mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi daripada DPRD.
G. UU NO. 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Undang-undang No. 22 TAHUN
1999 merupakan upaya terus menerus untuk menata sistem pemerintahan di
Indonesia yang sebelumnya masih mengalami kekurangan, kelemahan, dan
menghambat demoktratisasi di daerah. Oleh sebab itu didalam UU ini
terdapat beberapa perbaikan dan perubahan antara lain menguatnya peran
dan fungsi DPRD, termasuk adanya pertanggungjawaban Kepala Daerah
terhadap DPRD dan dihilangkannya beberapa ketentuan-ketentuan yang
memandulkan prinsip demokrasi di daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan
berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 menganut paham pembagian
wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Hal-hal yang
bukan merupakan wewenang Pemerintah Pusat dengan sendirinya menjadi
wewenang Pemerintahan daerah. Hal tersebut mirip dengan paham negara
federal yaitu hal-hal yang bukan kewenangan konstitusional negara
federal dengan sendirinya menjadi kewenangan negara bagian.
Dalam Undang-undang No.22
tahun 1999 menghapus hierarki antara pemerintah kabupaten / kota dengan
propinsi. Pemerintah kabupaten / kota bukanlah daerah bawahan dari
propinsi. Penghapusan hierarki ini sekaligus mengikis birokratisasi
pelaksanaan pemerintahan yang pada akhirnya akan menciptakan efisiensi
pelayanan kepada masyarakat. Hubungan antara provinsi dengan
kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak memiliki hubungan
hirarki (tidak bertingkat).
Undang-undang No. 22 tahun
1999 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah Kabupaten dan Kota, asas
ini hanya dilaksanakan pada daerah propinsi.
Dari sekian banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan DPRD dan Kepala
Daerah yaitu dimulai dari Undang-undang No. 1 tahun 1945 sampai
Undang-undang No. 22 tahun 1999 dapat dinyatakan bahwa bila di analisis
berdasarkan teori pembagian kekuasaan, terlihat dengan jelas bahwa
kewenangan kedua organ pemerintahan daerah tersebut belum seimbang dan
tidak jarang terlihat monopoli salah satu organ atas organ lainnya.
Kenyataan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
terdapat dalam teori demokrasi.
Didalam Undang-undang No. 22 tahun 1999
kewenangan Kepala Daerah mulai dikurangi, bahkan sebaliknya DPRD yang
mempunyai kewenangan yang cukup kuat. Namun penguatan peran dan fungsi
DPRD yang semula diharapkan dapat menghidupkan demokrasi dan
desentralisasi dalam rangka perwujudan otonomi yang seluas-luasnya
ternyata disalahtafsirkan serta disalahgunakan oleh sebagian besar para
anggota DPRD. Akibatnya demokrasi menjadi kebablasan kearah arogansi,
sementara pengawasan yang lemah dari pemerintah pusat terhadap DPRD dan
Pemerintah Daerah menambah terbengkalainya program otonomi daerah,
sehingga kepentingan rakyat selalu menjadi korban.
Atas pengalaman sejarah yang mengecewakan
tersebut terasa betapa urgennya pemahaman dan penerapan pembagian
kewenangan antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan
yang demokratis dilaksanakan secara proporsional yang dilandasi dengan
semangat keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan setidaknya secara
teoretik akan membuka peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus
memperkuat pelaksanaan desentralisasi, demokrasi dan pembagian kekuasaan
dalam kerangka negara kesatuan yang sejahtera, adil dan teratur.
H. UU NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
Tiga alasan utama mengenai perubahan / revisi secara mendasar terhadap Undang-undang No. 22 tahun 1999 yaitu :
1. Alasan hukum berupa amandemen kedua, khusus terhadap Pasal 18 UU RI tahun 1945.
2. Alasan administratif berupa keadaan ”terlampau luasnya rentang kendali antara pemerintah pusat terhadap kabupaten / kota.
3. Alasan empiris berupa keadaan /
kejadian timblnya masalah aktual yang dapat mengganggu kegiatan
berbangsa serta berpemerintahan dengan berbagai problematika Otonomi
Daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005
mengenal hubungan bertingkat antara provinsi dan kabupaten/kota.
Urusan-urusan kabupate/kota juga merupakan bagian dari urusan-urusan
provinsi.
UU ini meletakkan aspek
demokrasi dan peran serta masyarakat secara mendasar dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah.Karena itu fungsi dan peran DPRD dipisahkan secara
tegas dengan fungsi dan peran Pemerintah Daerah, yang mana dengan UU
sebelumnya sangat jelas berlawanan. Undang-undang No. 22 tahun 1999
mengatur Kepala Daerah Kabupaten / kota dipilih oleh DPRD tanpa melalui
persetujuan Menteri Dalam Negeri dan atau Presiden. Sementara untuk
Gubernur karena fungsi gandanya sebagai kepala daerah propinsi dan wakil
pemerintah pusat , nama-namacalon Gubernur dan Wakil Gubernur yang
telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan Presiden.
Bupati / Walikota dan Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD dan tidak
kepada Menteri Dalam Negeri atau Presiden.
Sementara itu seiring dengan
diberlakukannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 Kepala Daerah tidak lagi
dipilih oleh DPRD melainkan melalui mekanisme pemilihan secara
langsung oleh masyarakat. Dengan demikian Kepala Daerah tidak
bertanggungjawab kepada DPRD tetapi bertanggungjawab kepada rakyat.
Dalam pelaksanaan tugas kepala daerah menyampaikan laporan
petanggungjawaban kepada Pemerintah (pusat) dan menyampaikan laporan
keterangan pertanggungjawaban (LKP) kepada DPRD.
Demikian pula Undang-undang
No.32 tahun 2004 menghapus asas dekonsentrasi pada daerah Kabupaten dan
Kota, asas ini hanya dilaksanakan pada daerah propinsi. Undang-undang
No.32 tahun 2004 tidak lagi mengenal paham pembagian wewenang tetapi
penyerahan/pelimpahan tugas dalam bentuk urusan wajib dan urusan
pilihan. Dengan demikian semua kewenangan pemerintah daerah dan kota
pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan
sebagian dalam rangka tugas pembantuan. Demikian juga makna
desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administratif tetapi dalam
konteks politis, dimana pemerintah daerah kabupaten dan kota berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan
kekuatan sendiri.