HUKUM

Manullang

WELCOME TO MANULLANG BLOG ADVOKAT & LEGAL CONSULTANT

Kamis, 25 Oktober 2012

SEJARAH SISINGAMANGARAJA 1



SEJARAH SISINGAMANGARAJA 1

Sebelum sampai kepada Raja Sisingamangaraja, mari kita memulai untuk menelusuri tarombo(silsilah) Raja Sisingamangaraja.
Dimulai dari Tuan Sorimangaraja yg menikah dgn Boru Sanggul Haomasan(Nai Suanon),dari perkawinan mereka lahirlah Tuan Sorbadibanua yg kemudian menikah dgn puteri marga Pasaribu yg bernama Nai Antingmalela. Dari perkawinan Tuan Sorbadibanua dgn Nai Antingmalela lahirlah 5 orang anak, yaitu : Si Bagot Nipohan, Si Paettua, Silahi Sabungan, Si Raja Oloan dan Raja Huta lima.

Dan dari perkawinannya yg kedua, Tuan Sorbadibanua mempunyai 3 orang putra, yaitu: Raja Sumba, Toga Sobu dan Naipospos. Lalu kita dimulai dari Si Raja oloan, Dari istrinya yg kedua Si Raja oloan mempunyai 5 orang anak yaitu: Naibaho , Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite dan Simanullang.
Sinambela mempunyai 3 orang anak yaitu: Raja Pareme, Tuan Nabolas, dan Ompu Raja Bonanionan. Ompu Raja Bonanionan ialah seorang dukun(datu bolon) yang terkenal, Ia sangat dihormati oleh kalangan teman sekampungnya, bahkan sampai ke daerah-daerah lain, kampung tetangganya. Ia sering dipanggil ke tempat lain/kampung tetangganya untuk mengobati orang-orang sakit dan yg mengusir setan(begu).

Dari perkawinan ompu Raja Bonanionan dengan boru Pasaribu, lahirlah seorang putri yg diberi nama Siatnatundal. sampai saat Siatnatundal beranjak gadis, istri Ompu Bonanionan tidak melahirkan lagi, padahal sang datu sangat menginginkan anak laki-laki dari istrinya. Setelah menunggu bertahun-tahun akhirnya sang Datu menjadi putus asa. Ia merasa tidak akan mendapatkan keturunan anak laki-laki dari istrinya. Ia merasa sedih, karena jaman itu sangat rendah diri kalau tidak mempunyai keturunan anak laki-laki sebagai penerus silsilahnya.

Demikian sang istri turut menjadi sedih, dia turut merasakan kegalauan hati sang datu, kadang-kadang ia menangis tersedu-sedu di tempat yg sunyi. Ia merasa belum memenuhi tanggung jawabnya sebagai istri kalau ia belum dapat melahirkan keturunan anak laki-laki bagi suaminya yang akan meneruskan nama silsilah leluhurnya nanti.

Hubungan keduanya suami-istri itu menjadi renggang, dan seolah-olah sang datu kurang menaruh perhatian kepada istrinya. dalam hatinya timbul niat hendak mencari istri lain, karena istrinya yg sekarang semakin tua dan dia berfikir tidak mungkin lagi untuk melahirkan anak.

Raja Ompu Bonanionan memutuskan untuk pergi merantau ke negeri lain, dan meninggalkan anak dan istrinya di Bakkara. sambil mengobatai orang di rantaunya, ia juga mencari istri baru yang kelak dapat membawa namanya.

Setelah Raja Bonanionan meninggalkan kampung halamannya, istrinya bertambah sering menangis tersedu-sedu. Di tempat yg sepi ia sering mengucurkan airmata nya, sambil memohon kepada Mulajadi Nabolon agar ia melihat duka dan kesedihannya.

Pada suatu hari, bersama putrinya pergilah ia ke hutan Tombak Sulu-sulu hendak mencari 'salaon', semacam tumbuhan yg dapat dipakai menjadi cat benang tenunan. istri Ompu Bonanionan suka menenun kain-kain batak(ulos) dgn motif-motif yg indah.

Di tombak sulu-sulu itulah ia kembali mengenang nasibnya sementara keduanya berhenti sejenak, sang istri yg kesepian dalam penderitaan itu menengadah ke atas langit, ditatapnya langit itu, cerah dan indah. pohon-pohon yg tinggi menjulang kelangit. sementara ia terisak dengan senandungnya yang sedih, tiba-tiba tampak disekelilingnya terang benderang. seorang yg seperti manusia secara ajaib muncul di depannya, dan berkata: "Jangan kamu takut, aku datang membawa pesan dari Mulajadi Nabolon".

Ia dan putrinya tersungkur ke tanah karena takut, selanjutnya orang itu berkata: "Mulajadi Nabolon telah mendengar isak tangismu". Ia tau isi hatimu, engkau akan melahirkan seorang putra, dan engkau akan memberinya nama "Sisingamangaraja", Singa Sohalompoan, Singa Sohaliapan, Singa Harajaon. Apabila ia lahir kelak, letakkanlah dia pada pinggan pasu, diatas kain ulos ragidup, dan bantalnya ogung oloan.

Setelah perkataannya selesai, lenyaplah orang itu dari pandangan matanya. 
Ia bersama putrinya amat takut, Ia terheran-heran dengan ucapan orang tsb.. Ia berpikir, apakah orang setua aku ini akan melahirkan anak lagi??

Pada saatnya mengandunglah dia, tanpa hubungan seks dengan pria lain. setelah 3 bulan, kandungannya makin nampak jelas dan orang-orang mulai curiga, dan beritanya ia menjadi bahan gosip di kalangan masyarakat kampungnya. keluarga dekat mulai curiga, siapakah yg akan bertanggung jawab atas anak dlm kandungannya itu. Lama-kelamaan, ia mulai dibenci oleh teman-teman sekampungnya, walaupun ia dan putrinya menceritakan kejadian di tombak sulu-sulu itu, tetapi orang kampung tidak mempercayainya.

Setelah anak kandungannya berumur 6 bulan, kembalilah Raja Bonanionandari perantauan. tiba-tiba ia kaget dan geram melihat istrinya mengandung. Ia menuduh istrinya telah berbuat serong dgn pria lain. ia marah dan membentak-bentak istrinya. ia memarahi famili dekatnya tidak memperhatikan istrinya. Meskipun istrinya menceritakan bahwa kandungannya itu bukan dari hasil persetubuhan, tapi Raja Bonanionan tetap tidak mempercayainya. Ia tetap pd pendiriannya bahwa istrinya telah berbuat serong dgn orang lain.

Kandungan itu sudah berusia 9 bulan, 10 bulan, dan lewat lagi, tetapi belum tampak tanda-tanda anak tsb akan lahir. karena umumnya umur 9-10 bulan bayi akan lahir, Maka istri Raja Bonanionan makin curiga, Ia takut kalau-kalau kandungannya itu bukanlah manusia atau ia mengidap penyakit. Lalu dipanggillah beberapa Datu(shaman), mereka sependapat bahwa anak dalam kandungannya itu benar-benar anak manusia dan akan lahir pd umur 12 bulan.

Setelah tepat 12 bulan, Istri Bonanionan mulai mengidam meminta mentimun muda dan permintaan lainnya, seperti wanita hamil lazimnya.  kemudian Raja Bonanionan mencarikan mentimun tsb. Lalu sang istri meminta hati ular yg dari tombak sulu-sulu, lalu dia meminta suaminya utk segera pergi mencarinya, dan disana Raja Bonanionan bertemu ular besar, lalu membunuh dan mengambil hatinya.

Kemudian diberikan kpd istrinya, setelah ia selesai memakan hati ular tsb, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, dan kilat bersahut-sahutan. kala itu bumi seperti bergoyang, pada hari itulah perut istri Bonanionan mulas dan seperti ingin melahirkan.

Saat guntur menggelegar, memecah langit, saat itulah anak dalam kandungan itu lahir, tapi anak itu masih terbungkus selaput. Kemudian Ia diletakkan ke atas pinggan pasu, sesuai pesan seseorang yg menemuinya di Tombak sulu-sulu setahun yg lalu. ketika itu datanglah guntur menggelegar tiba-tiba dan selaput pembungkus bayi itu pecah, lalu nampaklah seorang anak laki-laki, yg berambut lebat, bergigi seperti anak yg sudah berusia beberapa tahun.  Semua orang terheran-heran melihat bayi tsb dan merasa ajaib melihat proses kelahiran anak tsb. Orang-orang berkata bahwa anak itu seorang yg sakti. Sesuai dgn utusan Mulajadi Nabolon, mereka memberi namanya "Sisingamangaraja", Singa Sohalompoan, Singa Sohaliapan, Singa Harajaon.

Setelah beranjak dewasa, ia mulai mengunjungi dari satu kampung ke kampung lainnya, Ia menemui byk orang tertawan karena pelanggarannya, Ia menanyakan apa sebabnya mereka ditahan?. Ia juga mengunjungi orang-orang miskin dan yg menderita. Ia memberi penerangan2 kepada mereka, memberi mereka nasehat2,  Ia juga tau seluk beluk ttg hukum-hukum dan peraturan2 hidup serta adat-istiadat. Ia dikagumi orang pada jaman itu dan kemudian diangkat menjadi Raja. Menurut penelitian sejarah Sisingamangaraja I memerintah pada awal abak ke 17.
(sumber: "Sekelumit mengenai masyarakat batak toba dan kebudayaannya", hal 154-158, E.H Tambunan)

ADAT BATAK DALAM CARA MENINGGAL DUNIA



 ADAT BATAK DALAM CARA MENINGGAL DUNIA

Kalau kita berbicara tentang kematian, secara tidak langsung itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi.
Kematian itu adalah proses alami yang harus berlaku bagi setiap manusia yang beragama (menurut kepercayaan), dan khususnya Dalihan Natolu, mempunyai arti tersendiri sehingga tidak lepas dari bagian Adat dan Budaya Batak.
Dalam hal ini kita dapat mengamati pada acara dan Upacara yang berlaku di masyarakat Dalihan Natolu khususnya di Jabotabek dalam segala usia dan menurut kebiasaan yang dilakukan. Oleh karena itu perlu kita ajukan suatu acuan pedoman yang diharapkan dapat menjadi tuntunan bagi masyarakat Dalihan Natolu dalam pelaksanaan Adat kematian dimasa mendatang.
Kita dapat membedakan Adat Kematian dalam masyarakat Dalihan Natolu berdasarkan agama  (dapat dijelaskan secara singkat).
Macam atau Ragam Adat bagi warga yang meninggal dunia :
TILAHA : Kematian bagi warga Dalihan Natolu berkeluarga yang biasa disebut NAPOSO dalam hal ini perlakuan.
PONGGOL ULU (SUAMI) : Kematian yang diakibatkan si suami lebih dahulu meninggal dunia daripada si istri, dalam hal ini usia muda dan belum punya cucu atau belum punya keturunan.
MATOMPAS TATARING (ISTRI) : Kematian yang diakibatkan si istri lebih dahulu meninggal daripada si suami, dalam hal ini usia muda dan belum punya cucu atau belum punya keturunan.
SAUR MATUA : Kematian yang diakibatkan meninggalnya salah satu dari suami/istri yang sudah mempunyai cucu dan semua anak-anaknya sudah berkeluarga.
MATUA BULUNG : Kematian yang diakibatkan meninggalnya salah satu dari suami/istri yang telah mempunyai cucu bahkan sudah mempunyai cicit atau disebut Nini/Nono dengan lanjut usia.
Nini : Disebut keturunan dari anak laki-laki
Nono : Disebut keturunan dari anak perempuan
Bagaimanakah hubungannya kematian tersebut dengan Adat Dalihan Natolu, dalam hal ini lebih dahulu kita harus mengetahui yang meninggal termasuk golongan mana dari Ragam kematian tersebut diatas untuk menempatkan Adat juga hubungannya dengan Ulos.

Dalihan Natolu mempunyai 3 hal yang berhubungan dengan Ulos:
Pemberian ULOS SAPUT :
Ulos ini diberikan kepada yang meninggal dunia sebagai tanda perpisahan. Siapakah yang berhak memberikan SAPUT tersebut, dalam hal ini perlu kita mempunyai satu persepsi untuk masa yang akan datang karena hal ini banyak berbeda pendapat menurut lingkungannya masing-masing, misalnya HULA-HULA/TULANG.

Pemberian ULOS TUJUNG :
Dalam hal ini semua dapat menyetujui dari pihak HULA-HULA

Pemberian ULOS HOLONG :
Dari semua pihak Hula-hula , Tulang , Tulang Rerobot , Bona Tulang bahkan Bona ni Ari termasuk dari Hula-hula ni na Marhaha Maranggi , Hula-hula ni Anak Manjae , berhak memberikan kepada Keluarga yang meninggal.
Bagaimanakah hubungannya dengan Adat Dalihan Natolu diluar Ulos tersebut yang mempunyai harga diri (dalam Pesta Adat). Dalam hal ini terjadilah beberapa pelaksanaan setelah adanya Musyawarah atau lazim disebut RIA RAJA oleh beberapa Dalian Natolu disebut Boanna. Boan ini (yang dipotong pada hari Hnya) terdiri dari beberapa macam :
Misalnya :
Babi/Kambing, disebut Siparmiak-miak
Sapi, disebut Lombu Sitio-tio
Kerbau, disebut Gajah Toba
Sesuai dengan Adat Dalihan Natolu tingkatan daripada Boan tersebut disesuaikan dengan Parjambaron.

Fungsi Dalihan Natolu menggunakan istilah Adat :
Pangarapotan : Adalah suatu penghormatan kepada yang meninggal yang mempunyai gelar Sari Matua dan lain-lain sebelum acara besarnya dan penguburannya atau dihalaman (bilamana memungkinkan). Dalam hal ini suhut dapat meminta tumpak (bantuan) secara resmi dari family yang tergabung dalam Dalihan Natolu disebut Tumpak di Alaman.

Partuatna : hari yang dianggap menyelesaikan Adat kepada seluruh halayat Dalihan Natolu yang mempunyai hubunngan berdasarkan adat. Pada waktu pelaksanaan ini pulu Suhut akan memberikan Piso-piso/stuak Natonggi kepada kelompok Hula-hula/Tulang yang mana memberikan Ulos tersebut diatas kepada yang meninggal dan keluarga dan pemberian uang ini oleh keluarga tanda kasihnya.. Juga pada waktu bersamaan ini pula dibagikan jambar-jambar sesuai dengan fungsinya masing-masing dengan azas musyawarah sebelumnya, setelah itu dilaksanakanlah upacara adat mandokon hata dari masing-masing pihak sesuai dengan urutan-urutan secara tertulis. Setelah selesai, bagi orang Kristen diserahkan kepada Gereja (Huria) untuk seterusnya dikuburkan.

BUDAYA KARO : KERJA TAHUN / MERDANG MERDEM

BUDAYA KARO : KERJA TAHUN / MERDANG MERDEM

Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. 
Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acaramenanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanampadi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama danmenghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruhwarga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara
tari tradisional Karo yangmelibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karomerayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdempada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.

Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.
* Hari pertama, cikor-kor.
   Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang      merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang  biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari    itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk  makanan pada hari itu.

*
 Hari kedua, cikurung.
   Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari       kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah    atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.


* Hari ketiga, ndurung.
   Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut,   kaperas, belut.


*
 Hari keempat, mantem atau motong.
   Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. P ada hari itu        penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.

*
 Hari kelima, matana.
   Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu , semua penduduk saling   mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah  dikumpulkan semenjak hari cikor-kor , cikurung, ndurung , dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira.
   Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesaidilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los,   semacam balai tempat perayaan pesta.
   Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang    sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak     hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung    ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat       aturannya wajib makan.


*
 Hari keenam, nimpa.
   Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa    disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan   kelapa parut.

  
 Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak   lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa. Untuk kecamatan lain     di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires   yang dalam bahasa indonesia disebut lemang.Cimpa atau lemang daya tahannya  cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh      karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi  tamu ketika pulang.

*
 Hari ketujuh, rebu.
       Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari       sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu     sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara       kunjung-mengunjungi telah selesai.

      
 Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu     sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri       setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati       masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk kembali  melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.